Dua hari kemudian, Majarani pergi ke bandara dengan diantar oleh Richo.
"Kakak harap kamu hati-hati dan jangan lupa makan ya!"
"Iya, Kak. Maja sudah membawa bekal kok dan semua yang Maja butuhkan," jawab Majarani sambil tersenyum.
Tak beberapa lama kemudian, mobil yang dikendarai oleh Richo telah tiba di bandara.
Beberapa jam kemudian, Majarani sedang melakukan penerbangan ke Prancis bersama dengan ratusan penumpang.
"Kamu pramugari baru yang kemarin nggak sengaja nabrak pak Arsen, kan?" tanya seorang pramugari muda bernama Amara pada Majarani.
"Eh, iya. Saya baru jadi pramugari dan dua hari yang lalu saya nggak sengaja nabrak pak Arsen!" jawab Majarani menjelaskan.
"Pak Arsen itu pilot yang sangat tampan dan dia selalu jadi incaran pramugari yang bekerja di sini."
"Oh, jadi dia masih lajang?"
"Iya, dia terkenal dingin dan irit bicara hingga detik ini pun, dia belum menentukan siapa pasangan hidupnya."
"Oh, begit–" Majarani menghentikan kalimatnya kala merasakan ada getaran yang tak biasa di dalam pesawat.
"Perhatian! Kepada seluruh penumpang harap mempererat tali pengamanannya!" ucap seorang pramugari lainnya.
"Ada apa ini?" tanya Majarani mulai merasa takut, apalagi penerbangan ini adalah pengalaman pertamanya bertugas.
Sementara itu, di dalam kopit, Co-pilot yang berada di samping Arsen sedang panik sebab pesawat akan melewati badai di depan sana.
"Kapt, ada bad–."
"Diam! Kamu tenang saja! Percayakan semuanya pada saya!" Arsen tampak tenang saat menjawab apa yang dikatakan Co-pilot yang bernama Pambudi.
Mendengar jawaban Arsen, pria itu pun hanya diam, sebagai Co-pilot yang sudah lama bersama Arsen, tentu ia tahu bahwa Arsen adalah pria yang dingin dan pemarah.
Tatapan Arsen lurus ke depan memantau semuanya. Sementara kedua tangannya tampak sibuk mengatur laju pesawat.
"Fokus pada peta!" titah Arsen pada Pambudi dengan tegas.
"Ba—baik!"
Arsen terus berusaha menjaga pesawat agar baik-baik saja dan bisa landing di sebuah bandara yang berada di dekat posisi mereka dengan keadaan selamat.
Suasana yang hening seketika menjadi sangat mencekam kala para penumpang histeris setelah menyadari pesawat tengah menerjang badai.
"Harap kepada seluruh penumpang untuk tenang dan jangan beranjak dari tempat duduknya!" ucap seorang pramugari memberi arahan lewat announcement.
Beberapa menit kemudian, pesawat sudah melewati badai dan sang pilot muda itu sudah berhasil menyelamatkan semua penumpang yang ada di dalam pesawat. Seluruh penumpang pun tampak merasa tenang dan tak lagi menampilkan raut ketegangan di wajah mereka.
"Tuh, untung pilot kita pak Arsen. Selain tampan, dia juga cerdas dan sudah punya jam terbangnya tinggi, makanya dia bisa tetap tenang dalam keadaan segenting tadi," ucap Amara sambil tersenyum, merasa tenang, walau ia sendiri juga sempat khawatir saat pesawat mengalami guncangan waktu melewati badai.
"Aku sangat takut tadi, aku kira penerbangan pertamaku sebagai pramugari akan berakhir tragis!" ucap Majarani.
"Hei, sudah! Jangan membicarakan kapten, nanti dia nggak nyaman dan marah!" Devika – pramugari lain yang juga mendengar pembicaraan mereka mulai memperingatkan Amara dan Majarani untuk tidak membicarakan Arsen.
***
Di sebuah rumah mewah berlantai dua, tiga orang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menonton televisi.
"Pemirsa, pesawat yang sedang melakukan penerbangan ke Prancis hampir kehilangan kendali karena badai dan cuaca buruk. Namun, kapten penerbangan dengan nama, Arsenio Kusuma Wardhana berhasil melaluinya, hal ini diinformasikan oleh pihak penerbangan Indonesia beberapa menit yang lalu."
"Andai saja pesawat itu kecelakaan, maka aku akan sangat bahagia karena Majarani nggak akan selamat!" bisik Meliza pada Vina sang ibu.
"Jangan bodoh, Liza! Apa kamu nggak dengar tadi? Ada Arsen di dalamnya!" jawab Vina dengan suara lirih.
"Aku nggak peduli karena aku sudah nggak punya perasaan sama Arsen!" jawab Meliza.
"Bagaimana jika adik tirimu itu menjadi kekasih Arsen? Apa kamu mau kalah darinya?" tanya Vina pada Meliza.
Meliza pun terdiam, Arsen sebenarnya adalah mantan kekasihnya waktu di SMA. Namun, ia meninggalkan Arsen hanya demi pria lain.
"Bagas sekarang hanya menjadi DJ jalanan, tapi Arsen sudah sukses dan berhasil jadi seorang pilot. Pokoknya aku nggak mau kalah dari Maja, aku harus mulai mendekati Arsen lagi!" batin Meliza memutuskan karena tiba-tiba ia merasa takut jika Majarani dan Arsen akan punya hubungan yang lebih dari rekan kerja.
***
Di sebuah mall, seorang pria berseragam polisi berusia sekitar 28 tahun sedang membeli sesuatu.
"Maja pasti suka ini!" ucapnya seraya berjalan ke arah kasir. Namun, ia tak sengaja menabrak seorang wanita yang sedang membawa banyak buku.
Buku-buku yang dibawa oleh sang wanita berusia 25 tahun itu jatuh berserakan di atas lantai.
"Maaf, saya nggak sengaja!" ucap sang polisi muda yang kemudian segera berjongkok untuk membantu mengambil banyak buku yang jatuh.
"Iya, nggak apa-apa, Pak. Lagi pula saya juga salah karena fokus pada barang bawaan!" jawab sang gadis dengan hijab pashmina yang melekat di kepalanya.
"Sekali lagi maaf!" ucap sang polisi seraya berdiri bersama dengan gadis muslimah tersebut.
"Iya, maaf. Saya harus segara pergi!" Setelah mengatakannya, gadis cantik itu bergegas pergi.
Sang polisi muda yang tak lain adalah Richo pun melangkahkan kakinya menuju kasir. Namun, ia malah menginjak sebuah kartu yang tergeletak di atas lantai.
"Kartu apa ini?" Rico membungkukkan tubuhnya, mengambil kartu yang tak sengaja diinjaknya.
"Azura Nadia, 25 tahun, penulis novel Gramedia Jakarta. Ah, mungkin ini milik gadis tadi!" ucapnya yang kemudian segera mencari keberadaan gadis yang tadi sempat ia tabrak.
"Ke mana perginya?" tanya Richo masih melihat sekeliling, coba mencari sosok wanita yang tadi ditemuinya.
"Lebih baik aku bawa saja dulu, pasti dia tahu jika aku polisi dan mungkin dia sudah membaca nama yang ada di seragamku ini, dia pasti akan datang ke kantor polisi untuk mencari kartu ini!" Richo kemudian berbalik menuju kasir.
Setelah berada di dalam mobil, Richo kembali melihat kartu pengenal itu. Memikirkan bagaimana cara agar kartu itu bisa kembali pada pemiliknya.
"Dia memang tahu profesi dan namaku, tapi dia nggak tahu aku dinas di mana. Ah, lebih baik aku ke tempat kerjanya saja!" ucap Richo seraya menaruh barang belanjaannya di kursi samping kemudi.
***
Di tempat lain, gadis bernama Azura itu tampak menghentikan langkah kakinya setelah menyadari ada barangnya yang hilang.
"Ke mana kartuku?" Azura tampak berpikir, mengingat kartu miliknya ia jatuhkan atau mungkin tertinggal di mana.
"Apa mungkin jatuh ya saat aku tertabrak polisi tadi?" Azura pun sebenarnya ingin kembali ke tempat di mana ia bertemu Richo, tetapi itu urung dilakukan karena ia mendapat telepon dari atasannya untuk mengantarnya pergi ke toko buku.
***
Keesokkan harinya, Richo menjemput adiknya di bandara. Pria berjaket coklat itu menatap lurus ke arah para pramugari yang turun dari pesawat, ia melihat satu-persatu untuk menemukan keberadaan adiknya.
Setelah menemukan keberadaan sang adik, ia pun bergegas pergi menemui adiknya.
"Majarani!" panggilnya.
"Kakak!" jawab Majarani setelah turun dari pesawat.
"Ayo pulang!" ajak Richo pada adiknya.
Para pramugari melihat ke arah mereka berdua.
"Em, Majarani, kamu itu kan pramugari baru dan masih muda, seharusnya belum boleh pacaran!"
"Iya, itu benar!" sahut Devika.
"Cih, pramugari baru tapi sudah melanggar aturan! Sangat buruk, telat di hari pertama dan sekarang malah …." ucap pramugari bernama Astavia sambil tersenyum kecut ke arah Majarani.
"Buruk!" batin Arsen setelah melihat dan mendengar pembicaraan Majarani dan beberapa pramugari.
Arsen kemudian pergi dari sana untuk beristirahat agar bisa melakukan penerbangan lagi di esok hari.
"Maaf, tapi aku belum punya pacar!" jawab Majarani menjelaskan tuduhan dari pramugari lain.
"Terus, pria ini siapa?"
"Saya kakaknya bukan pacarnya!" Richo yang tak suka jika adiknya diperlakukan seperti itu pun menjawab dengan tegas.
"Wah, menarik sekali pria ini, wajahnya tampan mirip aktor drama China!" batin Astavia seraya tersenyum menatap Richo.
"Em, saya harus segera pulang untuk istirahat, maaf!" ucap Majarani yang kemudian pergi dari sana diikuti oleh Richo.
***
Di sepanjang perjalanan hanya ada keheningan karena Majarani hanya diam.
"Kamu kenapa, Maja?" tanya Richo pada adiknya.
"Enggak apa-apa!"
"Serius, Kakak tanya kenapa? Biasanya kamu akan cerita pada Kakak setelah pertama kali masuk sekolah atau kuliah, sekarang kenapa hanya diam? Bagaimana hari pertamamu menjadi pramugari?"
"Nggak apa-apa, Kak. Semua baik-baik aja kok." Tanpa bercerita, Majarani menjawab dengan singkat.
"Apa yang terjadi padanya ya? Kenapa banyak diamnya?" batin Richo penasaran dengan apa yang dialami Majarani.
***
Setibanya di rumah, Majarani hendak masuk. Namun, tangannya langsung dicekal oleh Richo.
"Ada apa, Kak?"
Richo merogoh saku seragamnya dan kemudian mengeluarkan sebuah kotak berukuran lumayan besar dan lantas memberikannya pada Majarani.
"Apa ini?" tanya Majarani sambil menerima pemberian Richo padanya.
"Buka saja!"
Majarani pun segera membuka kotak tersebut dan ia melihat ada sebuah kalung emas yang sangat indah di dalamnya.
"Untuk apa ini? Maja nggak sedang ulang tahun, Kak?" tanya Majarani.
"Memangnya ngasih hadiah harus menunggu ulang tahun? Beri hadiah 'kan bisa kapan aja!"
"Terus kenapa tiba-tiba Kakak ngasih aku hadiah ini?"
"Kemarin itu kan ayah ngasih Meliza kalung berlian, jadi–"
"Oh, jadi Kakak takut aku iri? Aku nggak akan iri kok! Lagi pula sudah biasa aku melihat ayah membelikan barang-barang dan juga perhiasan untuk Meliza, 'kan?" ucap Majarani seraya memotong jawaban kakaknya.
"Bukan begitu, Maja, kamu 'kan tahu selama ini Kakak sering membelikan barang-barang untukmu agar kamu nggak ngerasa sendiri atau hancur sebab ayah hanya menyayangiku dan Meliza!"
Majarani pun terdiam. Selama ini, ia memang selalu diperlakukan tak adil oleh keluarganya. Ia sering menerima barang bekas Meliza dari ayahnya, entah itu sepatu ataupun pakaian tanpa pernah sekalipun dibelikan barang-barang yang baru.
"Maaf karena Kak Richo hanya mampu membelikan kalung emas ini dan bukan berlian seperti yang ayah kasih sama Meliza karena gaji Kakak hanya cukup membelikan ini!"
Melihat raut murung di wajah Richo, Majarani pun menggenggam kedua tangan sang kakak. Menatapnya dalam dan mulai tersenyum. "Kak, hadiah itu bukan dilihat dari seberapa mahal harganya, tapi dari ketulusan hati sang pemberi, Kakak tulus memberikan hadiah ini. Jadi menurut Maja, hadiah ini lebih berharga dari kalung berlian itu."
Mendengar perkataan adiknya, Richo pun tersenyum. Tentu saja ia merasa senang saat melihat adiknya bahagia atas pemberiannya.