Bab 3. Pramugari Menyebalkan Vs Pilot Kulkas

2339 Words
Malam harinya, Meliza masuk ke dalam kamar adik tirinya dengan wajah yang memerah karena amarahnya yang bisa meledak kapan saja. "Sini kamu!" teriak Meliza sambil menunjuk Majarani setelah ia masuk ke dalam kamar adik tirinya. Majarani pun segera pergi menghampiri Meliza yang berdiri di depan pintu, menatapnya dengan tatapan penuh amarah. "Ada apa, Mbak?" tanya Majarani pada Meliza. "Aku peringatkan sama kamu jangan pernah mendekati Arsen karena dia milikku!" ucap Meliza dengan nada tinggi. "Aku nggak pernah mendekatinya, Mbak. Dia saja dingin padaku dan aku nggak tertarik padanya!" jawab Majarani. "Ini apa, hah?!" bentak Meliza seraya menyodorkan sebuah foto pada Majarani. Majarani terkejut kala Meliza menunjukkan fotonya yang sedang berpelukan dengan Arsen di bandara Prancis. Inilah hal yang paling ia takutkan sejak awal pulang dari Prancis, ia takut kejadian tak sengaja di Prancis itu diketahui oleh kakak tirinya yang mungkin akan mengadu pada sang ayah. "Ini nggak seperti yang mbak lihat, jadi tadi itu kakiku terkilir dan kebetulan pilot itu lewat dan—" "Jangan banyak omong! Pokoknya, jauhi dia!" bentak Meliza seraya memotong jawaban Majarani. "Dari mana mbak dapat foto ini?" tanya Majarani pada Meliza. "Aku sudah lebih dulu menjadi pramugari dan tentu banyak pramugari di sana yang merupakan temanku. Jadi, sangat mudah bagiku untuk mendapatkan informasi!" jawab Meliza dengan nada tinggi. "Biar Maja jelaskan semuanya, Mbak." Majarani mencoba menjelaskan semuanya. "Kalung emas dari siapa itu?" tanya Meliza setelah melihat kalung emas yang melekat di leher Majarani. "Ini dari—" "Dari Arsen 'kan?" Meliza langsung menuduh Majarani tanpa mau mendengar penjelasan adik tirinya itu. "Bukan, ini dari Kak Richo!" jawab Majarani. Meliza tersenyum miring dan kemudian hendak merampas kalung emas yang dipakai oleh Majarani, namun tangan kekar seorang pria tiba-tiba mencekal tangannya. "Jangan merampas milik adikku!" ucap Richo seraya menatap tajam ke arah Meliza dan tangan kanannya masih menahan tangan kanan sang adik tiri yang nyaris menampar pipi Majarani. "Kakak membelikannya hadiah kalung emas, tapi mengapa nggak membelikanku? Pilih kasih? Mentang-mentang dia adik kandung kakak, iya?" tuding Meliza seraya melepaskan tangannya dari genggaman Richo. "Jangan serakah, Liza! Kemarin ayah sudah membelikan kalung untukmu, kalung berlian. Jadi, jangan iri pada Majarani yang hanya punya kalung emas!" Kesal Richo pada adik tirinya yang memiliki sikap egois dan suka merampas milik adik kandungnya. "Mengapa selama ini kakak lebih sayang dia daripada aku? Mengapa? Apa karena dia adalah adik kandung kakak?" tanya Meliza dengan nada tinggi. "Liza, kamu masih punya ayah dan ibu dan dia hanya punya kakak. Jadi, tolong jangan iri padanya!" Richo menjelaskan semuanya pada Meliza. Tanpa sepatah kata apapun, Meliza bergegas keluar dari kamar adik tirinya kala ia sudah kalah debat. "Terima kasih kakak sudah membelaku," Majarani berterima kasih pada kakaknya. "Hm, sekarang kamu istirahat ya!" titah Richo. Majarani pun segera pergi ke arah ranjang untuk beristirahat. "Pasti Liza akan mengadu pada ayah," batin Richo yang kemudian bergegas keluar dari kamar adiknya. Setibanya di luar kamar, Richo melihat sudah ada Saka dan Meliza yang berdiri di depan kamar, dugaannya ternyata benar jika Meliza akan mengadu pada sang ayah. "Apa maksudnya semua ini Richo? Lagi-lagi kamu pilih kasih!" ucap Saka. "Lalu apa bedanya dengan ayah? Ayah juga pilih kasih, kan?" jawab Richo sambil tersenyum kecut. "Asal kamu tahu ya, dia juga adik tirimu sebab almarhum bundamu telah berseling—" "Cukup! Jangan pernah menuduh bundaku lagi, dia nggak pernah selingkuh dari ayah dan Majarani bukan adik tiriku tapi adik kandungku!" Richo menyangkal tuduhan yang ditujukan pada almarhumah bundanya. "Kamu harusnya lebih sayang pada Meliza sebab dia adik sedarahmu, sementara kamu dan Majarani nggak sedarah, kalian hanya seibu tapi bukan seayah!" jawab Saka yang masih percaya pada berita perselingkuhan beberapa tahun silam. "Semua itu hanya rekayasa yang dibuat oleh Tante Vina, bunda nggak pernah selingkuh!" Richo masih menyebut ibu tirinya dengan sebutan Tante sebab ia masih sangat membenci Vina yang menjadi penyebab kematian Maharani, ibu kandungnya. *** Keesokkan harinya, keluarga besar Saka sedang sarapan bersama di meja makan. "Tiga hari lagi weekend, kan?" tanya Saka pada keluarganya. "Iya, lalu kenapa?" tanya Vina pada suaminya. "Aku sudah memesan empat tiket untuk liburan ke Ancol!" jawab Saka. "Hah? Liburan? Wah, pasti seru deh!" sahut Meliza sambil tersenyum bahagia. "Hanya empat? Lalu Majarani?" tanya Richo pada ayahnya. "Dia nggak perlu ikut, biar jaga rumah aja!" jawab Saka. "Baik, kalau gitu aku juga nggak ikut!" ucap Richo tanpa menatap ayahnya, ia tentu tak suka pada keputusan sang ayah. "Ini liburan keluarga, Ric! Dan semua anak keluarga Saka harus ikut!" jawab Saka. "Majarani juga putri di keluarga ini!" ucap Richo. "Enggak, dia bukan putriku, dia adalah—" "Ayah, jangan berkata lagi!" pinta Richo, tentunya Richo tak ingin adiknya mengetahui kebenaran tentang kematian almarhumah bundanya dan skandal perselingkuhan yang tidak benar itu. "Sudah nggak apa-apa, Kak!" ucap Majarani. "Enggak bisa gitu, Maja. Selama ini ayah selalu bertindak nggak adil padamu, jadi kamu harus menentangnya!" jawab Richo. "Maja, kamu sudah selesai makan 'kan? Jadi, cepat cuci pakaian kotor di kamar ayah!" titah Saka pada putrinya yang baru menghabiskan makanannya. "Baik, Ayah!" jawab Majarani yang kemudian hendak pergi namun tangannya dicekal oleh Richo. "Selama ini Majarani patuh pada semua perintah Ayah sebab Ayah adalah orangtuanya, tapi sekarang nggak lagi! Majarani adalah putri keluarga ini, dia bukan pelayan!" Richo membela Majarani. "Sudah, Kak, jangan menentang ayah! Lagipula ini tugasku sebagai seorang anak perempuan, kan?" Majarani pun segera beranjak bangkit dari tempat duduknya dan ia pergi dari sana. "Pokoknya kalau Majarani nggak diajak, aku nggak akan pergi bersama kalian!" ucap Richo yang kemudian bergegas pergi dari sana untuk melaksanakan tugasnya di Polres. "Ayah, bagaimana ini?" tanya Meliza pada ayahnya. "Ayah akan membuat Richo mau ikut liburan!" jawab Saka. "Kamu mau ajak Majarani?" tanya Vina pada suaminya. "Enggak, anak itu nggak boleh ikut!" jawab Saka. Siang harinya, Majarani pergi ke toko buku untuk membeli novel-novel karya seorang penulis yang ia gemari sejak dulu. Majarani pergi langsung ke toko buku Gramedia Jakarta guna mendapatkan buku kesukaannya, sejak kecil Majarani memang suka sekali membaca novel ketimbang menonton film di televisi. Ketika hendak masuk ia melihat ada seorang pria yang sudah ia kenali, tak lain dan tak bukan adalah Arsen sang pilot muda yang terkenal dingin dan irit bicara. "Mengapa Kapten Arsen ada di sini?" tanyanya pada dirinya sendiri. Ia membulatkan matanya kala melihat seorang wanita muslimah berjalan ke arah Arsen dan kemudian mengajak Arsen ke arah sofa. "Itukan Azura Nadia!" ucapnya dengan sangat antusias sebab bisa bertemu dengan penulis yang ia gemari. Tanpa berpikir panjang, Majarani pun bergegas pergi menemui Azura yang sedang duduk bersama dengan Arsen di sofa. "Kak Azura?" panggilannya pada Azura sambil berjalan ke arah sofa. "Em, iya. Maaf Anda siapa ya?" tanya Azura pada Majarani. "Aku pengemar novel-novelmu, Kak. Puluhan novel kakak sudah aku baca!" jawab Majarani sambil tersenyum. "Mengapa ada pramugari menyebalkan ini sih?" ucap Arsen dengan suara lirih seraya memasang tatapan kesalnya pada Majarani. "Oh, kamu pengemar ya! Makasih, sudah membaca novel-novel saya!" ucap Azura sambil berdiri dari duduknya dan bersalaman dengan pengemar novelnya. "Novel kakak yang paling aku sukai adalah novel yang mengisahkan seorang bos gang motor yang jatuh cinta pada seorang wanita bercadar, em ... apa ya judulnya …?" Majarani tampak berpikir, mengingat novel karya Azura yang sangat ia sukai. "Biar Kutatap Matamu!" jawab Azura sambil tersenyum. "Ah, iya. Itu judulnya, aku suka banget loh, Kak!" ucap Majarani sambil tersenyum. "Boleh minta foto, Kak?" lanjut Majarani yang meminta berfoto. "Boleh!" jawab Azura sambil tersenyum. Majarani pun segera merogoh tas selempangnya untuk meraih ponsel miliknya dan setelah dapat ia langsung membuka kamera dan mulai berfoto bersama dengan Azura. "Terima kasih, Kak. Ternyata kakak baik dan nggak sombong!" ucap Majarani setelah berfoto dengan Azura. "Sudah selesai lebaynya?" tanya Arsen dengan wajah datarnya. "Oh, maaf! Aku menganggu kalian ya?" Majarani meminta maaf sambil menundukkan kepalanya. "Kamu nggak ganggu kok! Lagipula dia kakakku bukan pacarku!" jawab Azura sambil tersenyum. "Oh, jadi dia …." "Iya," Setelah puas berkomunikasi dengan penulis yang ia gemari, bergegas pergi ke arah dalam untuk mencari novel–karya baru dari Azura Nadia. *** Malam harinya, Majarani keluar dari rumahnya kala sang ayah menyuruhnya ke mall untuk membeli sesuatu, namun di tegah jalan ia berpapasan dengan tiga orang pria yang sedang mabuk berat. "Hai gadis manis, mau ke mana?" tanya salah satu dari pria itu sambil membawa botol wine. "Jangan ganggu saya!" ucap Majarani seraya memasang ekspresi takutnya. "Yuk temenin kami, Neng!" pinta mereka sambil menyentuh dagu Majarani. "Jangan kurang ajar!" Marah Majarani yang kemudian bergegas lari dan dengan segera mengeluarkan ponsel miliknya. Ketiga pria itu tak mau kalah, mereka juga berlari mengejar Majarani hingga di gang sempit dan sepi. "Harusnya aku nggak lewat jalan pintas! Harusnya aku lewat jalan raya aja!" ucap Majarani sambil mencoba menghubungi nomor Richo namun Richo tak menjawab telepon darinya. "Please angkat, Kak! Maja takut!" ucap Majarani sambil terus berlari dan mencoba menghubungi sang kakak. Majarani terus berlari hingga tiba di jalan raya dekat mall. "Ayo sini, Neng. Layani kita dong, cantik!" panggil para pria mabuk itu pada Majarani. Majarani yang ketakutan pun terus berlari tanpa melihat kondisi sekitarnya, karena tak fokus, akhirnya Majarani hampir tertabrak mobil, beruntung sang pengemudi mobil segera menginjak rem. Seorang pria kemudian segera keluar dari mobil itu dan langsung memasang ekspresi marahnya. "Dasar nggak punya mata!" bentak pria itu pada Majarani. "Kapten Arsen, maaf, saya nggak sengaja, para pria itu mengejar saya!" ucap Majarani sambil menunjuk ke arah tiga pria pembawa botol wine tersebut. "Hey, jangan ikut campur ya! Wanita itu milik kami!" Salah satu dari pria itu memperingatkan Arsen. "Tolong bantu saya, Kapten. Bawa saya ke lokasi aman!" mohon Majarani pada Arsen seraya memasang tatapan takutnya. "Apa urusan saya? Memangnya kamu siapa saya, hah?" ucap Arsen dengan wajah datarnya. "Ayo sini!" ucap salah satu dari pria itu yang dengan tak sopan menyentuh tangan Majarani. "Yuk ke gubuk, kita sayang-sayangan!" sahut pria yang lain. "Cantik sekali, sih!" ucap pria mabuk itu sambil membelai rambut Majarani. Salah satu dari pria itupun hendak mencium Majarani, namun ia terjatuh kala sebuah tendangan tiba-tiba mengenai tubuhnya. "Enyah darinya, b******n!" ucap Arsen seraya menarik Majarani agar terlepas dari para b******n itu. "Hey, jangan ikut campur!" Marah salah satu dari pria itu. "Masuk ke mobil!" titah Arsen pada Majarani. Majarani kemudian patuh dan segera masuk ke dalam mobil Arsen agar selamat dari para pria jahat itu. "Pergi atau aku patahkan tangan kalian!" ancam Arsen pada ketiga pria itu. Ketiga pria itu pun secara spontan langsung menyerang Arsen, namun Arsen berhasil mengalahkan mereka dengan mudah. "Pergi kalian!" teriak Arsen. Ketiga pria itu pun lari kocar-kacir karena takut pada Arsen. Arsen tak mengejar mereka, pria itu memilih untuk pergi menemui Majarani. "Keluar dari mobilku!" titah Arsen pada Majarani. Majarani pun bergegas keluar dari sana kala sang pemilik mobil memintanya untuk keluar. "Para penjahat itu sudah aku usir, jadi pergilah!" usir Arsen di akhir kalimatnya. "Baiklah, terima kasih sudah menolongku," jawab Majarani seraya menatap sendu ke arah Arsen. Ia pun segera melangkahkan kakinya untuk pergi namun tiba-tiba Arsen menghentikannya. "Kembali! Masuklah! Aku akan mengantarmu!" ucapnya. "Pria ini sangat aneh, kadang baik dan kadang buruk, nggak punya hati!" batin Majarani. "Jangan Gr ya! Aku melakukan ini bukan karena peduli tapi karena aku adalah seorang pria dan tugas seorang pria adalah melindungi kaum lemah sepertimu!" ucap Arsen seraya memasang tatapan kesalnya. "Dia mulai berbicara banyak padaku, Biasanya irit bicara, dasar pria membosankan!" batin Majarani yang kemudian segera bergegas masuk ke dalam mobil Arsen. *** Di sepanjang perjalanan hanya ada keheningan, Arsen tak mau mengajak ngobrol gadis muda yang duduk di sebelahnya sejak tadi. "Sudah sampai, ada baiknya kamu hubungi keluargamu, minta jemput!" ucap Arsen dengan wajah datarnya dan tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Hm, terima kasih ya, Kapten!" jawab Majarani. Majarani pun tersenyum dan kemudian bergegas turun dari mobil Arsen. Setelah Majarani turun, Arsen bergegas pergi dari sana. *** Setelah mengemudi cukup jauh, Arsen mengernyitkan dahinya kala mendengar nada dering ponsel yang tidak ia kenali. "Pasti ponsel pramugari itu!" ucap Arsen yang kemudian menepikan mobilnya dan segera mengangkat panggilan masuk dari ponsel Majarani yang tak sengaja tertinggal. "Halo, ada apa tadi menghubungi ka—" "Anda siapa?" tanya Arsen seraya memotong ucapan Richo dari seberang teleponnya. "Kamu yang siapa? Kenapa ponsel Maja ada padamu dan di mana Maja sekarang?" tanya Richo dari seberang teleponnya. Arsen segera menutup teleponnya tanpa menjawab pertanyaan Richo. Arsen kemudian balik arah untuk kembali ke mall guna mengembalikan ponsel milik Majarani. "Kenapa sih si pramugari menyebalkan itu sudah pikun, belum tua tapi pikun, bikin susah orang aja!" ucap Arsen dengan wajah datarnya. Arsen pun memutuskan untuk putar arah. *** Tak beberapa lama kemudian ia tiba di mall dan tanpa pikir panjang ia masuk ke dalam mall untuk menemui Majarani. Setelah beberapa menit memutari mall, akhirnya Arsen menemukan keberadaan Majarani yang sedang berada di toko makanan. "Nih ponselmu, tertinggal di mobil tadi, dasar pikun!" ejek Arsen. "Eh, iya. Maaf, aku lupa!" jawab Majarani sambil tersenyum dan seraya mengambil ponselnya dari tangan Arsen. "Pramugari menyebalkan!" ejek Arsen. "Wait, pramugari menyebalkan?" tanya Majarani. "Iya, kamu pramugari menyebalkan!" jawab Arsen seraya memasang tatapan kesalnya pada Majarani. "Pilot kulkas!" balas Majarani. "Apa?" tanya Arsen seraya memasang tatapan marahnya. "Pilot kulkas tujuh pintu!" jawab Majarani sambil tersenyum kecut. "Dasar menyebalkan!" Kesal Arsen yang kemudian pergi dari sana. *** Beberapa jam kemudian, Majarani menghubungi kakaknya untuk minta dijemput. Namun, Richo tak menjawab telepon darinya sebanyak tiga kali. "Kenapa sulit banget sih!" ucap Majarani. "Ada apa pada Kak Richo sebenarnya?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Hai, kenapa?" tanya seorang pria muda pada Majarani. "Oh, nggak kok! Nggak apa-apa!" jawab Majarani sambil tersenyum. "Kayaknya kamu butuh jemputan ya?" tanya sang pria pada Majarani. "Em, iya!" jawab Majarani sambil tersenyum canggung. "Ayo saya antar!" tawar sang pria. "Enggak usah!" tolak Majarani. "Ini malam dan akan banyak bahaya di luar sana, jadi ayo saya antar!" bujuk sang pria. Mendengar hal itu, Majarani kembali mengingat kejadian tadi kala ia diganggu oleh tiga orang pria. "Baiklah!" jawab Majarani yang akhirnya menyetujui tawaran sang pria. "Sempurna, semua akan berjalan sesuai rencana, sungguh sangat mudah menipu gadis polos!" batin sang pria sambil mengukir senyuman miring di bibirnya, senyuman yang tentunya tak ada satu orang pun yang melihatnya. "Ya sudah, ayo!" ajak sang pria sambil tersenyum pada Majarani.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD