Bab 4. Pria Suruhan

2021 Words
Beberapa saat kemudian, mata Majarani melihat ke arah kanan dan kiri setelah menyadari rasanya ia semakin jauh dari arah rumahnya, ia mulai menaruh curiga pada Ares. "Em, ini bukan jalan yang aku tunjukkan tadi, Mas?" "Ini jalan pintas agar lebih cepat sampai, Mbak." Jawaban Ares membuat Majarani terdiam, ia sungkan bertanya banyak pada pria asing yang sudah menolongnya itu. Namun jantungnya berdetak tak karuan kala motor yang dikendarai oleh sang pria berhenti di depan sebuah rumah. "Maaf, ini bukan rumahku?" "Kita rehat sejenak di sini ya!" ajak Ares sambil tersenyum pada Majarani. "Maaf, sepertinya Anda bukan pria baik-baik." Majarani menaruh curiga pada pria itu sehingga ia memilih untuk pergi, namun pria itu langsung mencekal tangannya. "Ayo masuk ke rumahku, tenang! Nggak ada siapa-siapa kok di dalam, hanya ada kita berdua!" ajak sang pria sambil mengukir senyuman miringnya. "Enggak! Tolong! Tolong!" teriak Majarani kala ia merasa tak nyaman lagi. "Teriak lah sesuka hatimu, nggak akan ada yang bisa mendengar teriakkan kamu di sini!" Ares terus menarik tangan Majarani. "Aku mau pulang!" pinta Majarani dengan tegas, seraya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Ares. "Layani aku dulu baru kamu boleh pulang!" Ares mengukir senyuman jahat di bibirnya. "Enggak! Lepaskan aku, lepas!" mohon Majarani dengan air mata yang mengalir membasahi pipi mulusnya. "Kamu sangat cantik, aku ingin mencicipi tubuhmu!" Ucapan Ares membuat Majarani semakin takut dan terus berusaha melepaskan tangannya dari tangan Ares. Majarani melayangkan tamparan ke wajah Ares kala Ares hendak menciumnya. Ares yang merasa tak terima pun langsung memelototi Majarani. "Oke, nggak mau masuk ya? Baiklah, akan aku lakukan di sini, lagipula nggak akan ada yang lihat!" ucap Ares seraya menarik Majarani sampai ke bawah pohon jeruk yang ada di depan rumahnya. "Tolong! Tolong!" teriak Majarani dengan sangat putus asa. Ares tersenyum miring dan kemudian hendak merobek pakaian Majarani, namun ia menghentikan aktivitasnya kala tiba-tiba ada motor dengan plat nomor polisi berhenti di depan halaman rumahnya. "Hei, lepaskan adikku!" teriak Richo seraya turun dari motor dinasnya dan bergegas pergi ke arah Ares dan adiknya. Ares yang takut kemudian memilih untuk kabur dari sana, Richo tidak mengejarnya sebab yang terpenting saat ini adalah adiknya. "Kakak!" panggil Majarani seraya beranjak berdiri dan menyambar tubuh sang kakak, gadis itu memeluk tubuh kakaknya dengan tubuhnya yang gemetar karena takut. Majarani menangis tersedu-sedu di dalam pelukan pria yang masih menggunakan seragam kepolisian tersebut. "Tenang, kamu sudah aman, kakak akan melindungimu!" Richo menenangkan Majarani seraya mengelus kepala belakang Majarani. Beberapa menit kemudian, Majarani melepaskan pelukannya kala ia sudah merasa tenang. "Mengapa kakak sulit dihubungi?" tanya Majarani seraya memasang tatapan nanarnya. "Maaf, Maja. Ponsel kakak tadi habis baterai dan setelah kakak melihat bekas panggilan darimu kakak segera menelepon balik, tapi sayang yang mengangkat adalah seorang pria." "Tapi setelah itu Maja menghubungi kakak lagi, kan?" "Apa?" Richo terlihat terkejut dan kemudian segera mengambil ponselnya untuk mengecek, ternyata benar bahwa ada beberapa panggilan tak terjawab dari Majarani. "Mungkin kamu menghubungi kakak pada saat kakak ada di perjalanan, Maja?" Richo menerka. "Ya sudah, ayo pulang!" "Wait! Mengapa kamu ada di luar malam-malam begini?" "Ayah memintaku membeli ayam krispi di mall, jadi aku hanya mematuhi perintahnya saja." Majarani menjawab pertanyaan Richo dengan sejujur-jujurnya. "Oh, baiklah jika begitu, ayo pulang!" ucap Richo yang kemudian bergegas pergi ke arah motornya sambil mengandeng Majarani. *** Di sepanjang perjalanan hanya ada keheningan, Majarani nampaknya masih sangat syok atas apa yang ia alami tadi sehingga ia tak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun. "Maja, lupakan semuanya! Ingatlah satu hal, kakak akan selalu ada untukmu jadi jangan takut!" ucap Richo seraya mengunakan tangan kirinya untuk memegang kedua tangan adiknya yang melingkar di perutnya. "Terima kasih karena datang tepat waktu, bila nggak, entah bagaimana nasib Maja!" Majarani menyandarkan kepalanya ke punggung Richo. "Maafkan Richo, Bun. Richo nyaris gagal melindungi amanahmu, tapi Richo janji bahwa Richo nggak akan kecolongan lagi!" batin Richo yang seolah meminta maaf pada almarhumah bundanya. *** Di sebuah tempat, seorang pria paruh baya menemui seorang pemuda yang tak lain adalah Ares sang pria yang nyaris menghancurkan masa depan Majarani. "Mana bayaranku!" "Kamu gagal dan mau minta bayaran? Yang benar saja!" jawab sang pria paruh baya sambil tersenyum kecut. "Aku tadi sudah hampir berhasil, namun polisi sialan itu malah datang menghancurkan segalanya!" ucap Ares seraya memasang tatapan kesalnya. "Apapun alasannya kamu tetap gagal dan aku nggak mau membayar atas kegagalanmu itu, paham!" Kekeh sang pria paruh baya itu. Tanpa ia sadari, seorang pria berseragam hitam berada di balik pohon—tepi jalan, pria berseragam hitam itu merekam semuanya. *** Di tengah malam, Richo hendak keluar dari kamar Majarani setelah Majarani tertidur pulas. Dering ponsel membuat Richo tak jadi beranjak dari ranjang dan memilih untuk membuka layar ponselnya terlebih dahulu. "Aku ada sebuah rekaman yang kebetulan aku rekam, ini tentang ayahmu, Ric," ucap seseorang melalui pesan audio di aplikasi hijau. Tanpa pikir panjang, Richo segera mengeluarkan earphone tanpa kabel dan lantas memasangkan earphone tersebut ke telinga kanannya. Setelah selesai, ia memutar rekaman video yang sudah didapatkan oleh rekannya itu. "Ayah?!" Richo memasang raut terkejutnya kala ia mengetahui sebuah fakta bahwa Saka adalah dalang dari peristiwa tadi, peristiwa yang nyaris merenggut kesucian Majarani. "Ada apa, Kak?" tanya Majarani yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya kala ia mendengar sang kakak memangil ayahnya. "Em, nggak ada apa-apa, kok. Kembalilah tidur!" jawab Richo sambil mencoba menutupi ekspresi kagetnya. "Baiklah," ucap Majarani yang kemudian kembali menutup kedua matanya. Richo memilih untuk merahasiakan hal itu dari Majarani, namun bukan berarti ia ingin melindungi ayahnya, namun ia tak ingin menghancurkan hati Majarani. "Aku harus menemui ayah!" ucap Richo di dalam hatinya dan kemudian ia beranjak turun dari ranjang. Setelah memakai sandal rumah, ia bergegas pergi keluar. Setelah tiba di depan pintu kamar, ia bergegas pergi menghampiri sang ayah yang kebetulan sedang menuju ke arah lantai dua. "Apa maksud ayah?" Richo langsung bertanya pada Saka dengan sangat tegas. "Apa maksudmu?" "Richo sudah tahu semuanya, ayah telah menjebak Majarani dan ayah telah membayar pria untuk menodainya, kan?" "Ayah terpaksa melakukannya karena Liza nggak ingin dia merebut Arsen!" Saka mencoba membela dirinya dan seolah membenarkan tindakannya. "Ayah adalah pria yang sangat b***t, Richo kecewa pada ayah. Seorang ayah harusnya melindungi putrinya, bukan malah membiarkan putrinya dinodai!" "Apa kamu memberi tahu Majarani tentang ini?" tanya Saka pada putra sulungnya. "Enggak, Richo nggak mau buat dia bersedih, Richo nggak mau hatinya hancur setelah mengetahui fakta bahwa ayahnya sendiri ingin menghancurkan masa depannya!" "Ayah bisa melakukan apapun untuk Meliza, termasuk mengorbankan Majarani!" Ucapan Saka membuat Richo semakin marah dan lantas pergi meninggalkannya. Di bawah tangga ia berpapasan dengan Meliza yang hendak pergi ke kamar. "Aku nggak menyangka kamu bisa melakukan hal ini pada Majarani." "Aku cemburu padanya dan aku takut Arsen akan terpikat padanya, sama seperti pria-pria lain!" "Cemburu bukan alasan untuk menghancurkan kehidupan seorang gadis, Liza!" bentak Richo pada adik tirinya, pria itu tampaknya sudah sangat marah. "Terus saja bela dia! Silahkan!" marah balik Meliza yang kemudian bergegas pergi meninggalkan kakaknya. "Maja, maafkan kakak! Kakak terpaksa merahasiakan kebenaran ini, kakak hanya nggak mau membuat hatimu hancur, tapi kakak berjanji akan memberi keadilan serta perlindungan untukmu!" ucap Richo yang kemudian pergi dari sana. *** Di dalam sebuah kamar, seorang pria melamun di samping jendela kamarnya. "Mengapa hatiku gelisah dan mengapa aku memikirkan si pramugari menyebalkan itu?" tanya seorang pria berusia sekitar 28 tahun yang tak lain adalah Arsen sang pilot muda. "Dia bukan siapa-siapaku dan nggak ada gunanya aku memikirkannya!" Arsen kemudian beranjak dari duduknya dan pergi ke arah ranjang untuk beristirahat. *** Keesokkan harinya, Majarani terbangun dari tidurnya, ia mengingat jelas bahwa ini adalah hari keduanya menjadi seorang pramugari. Namun, ia merasa sangat terkejut kala melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 08.30 Wib. "Mengapa aku bisa kesiangan? Aku emang terlambat tidur semalam, tapi biasanya Kak Richo akan membangunkan diriku di pagi hari, kenapa sekarang nggak?" tanyanya pada dirinya sendiri. Gadis cantik itu kemudian beranjak turun dari ranjang sambil memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing. "Apa kamu tahu satu hal, Maja?" Pertanyaan Saka yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Majarani membuat Majarani terkejut. "Hal apa, Ayah?" tanya Majarani pada ayahnya yang kini sedang menuju ke arahnya. "Richo memang sengaja nggak membangunkan dirimu, supaya Liza bisa menggantikanmu terbang ke Spanyol bersama dengan Arsen!" jawab Saka sambil tersenyum miring "Bukan hanya itu alasannya! Richo ingin membantu Liza untuk menyingkirkan kamu dari sana karena Liza nggak mau satu tempat kerja denganmu!" lanjut Saka. "Enggak! Nggak mungkin Kak Richo begitu padaku!" sangkal Majarani dengan sorotan mata yang penuh keyakinan. "Apa kamu tahu bahwa hal yang menimpamu kemarin itu semua di sengaja?" tanya Saka pada putrinya. "Di sengaja?" Majarani belum mengerti apa yang dikatakan oleh ayahnya. "Ada orang yang menyewa Ares untuk menodaimu dan apa kamu tahu siapa orangnya?" tanya balik Saka pada putrinya. Majarani hanya diam, ia membiarkan ayahnya untuk mengatakan semua kebenaran yang belum ia ketahui. "Aku, ayahlah yang telah membayar orang untuk menodaimu!" jawab Saka sambil tersenyum. Mendengar hal itu, jantung Majarani seakan berhenti berdetak, ia tak percaya bahwa ayah kandungnya sendiri bisa melakukan hal sejahat itu padanya. "Kenapa a—ayah melakukan itu pada Maja? Kenapa?" tanya Majarani sambil menahan air matanya yang hendak jatuh. "Karena Liza takut kamu akan merebut Arsen, jadi dia ingin kamu dinodai oleh pria lain sehingga Arsen atau pria manapun tak tertarik padamu!" Jawaban Saka membuat Majarani tak bisa membendung air matanya lagi, hatinya sudah sangat hancur saat ini. "Setelah kamu tahu tentang ini, apa yang mau kamu lakukan? Mengadu pada Richo? Dia bahkan sudah tahu ini sejak semalam dan dia merahasiakannya darimu karena dia melindungi ayahnya, ayah kandungnya!" Ucapan terakhir Saka membuat hati Majarani semakin terasa sakit, ia hancur sehancur-hancurnya kala ternyata kakaknya juga bersalah telah menyembunyikan fakta besar ini darinya. "Kakakmu sudah nggak ada di sisimu lagi, dia nggak mendukung dirimu!" lanjut Saka sambil tersenyum. Setelah merasa puas menghancurkan hati putrinya, Saka bergegas pergi dari sana, tanpa memperdulikan tangisan dan duka yang putrinya alami. "Enggak! Aku harus bicara dengan Kak Richo!" ucap Majarani yang kemudian beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Meski dalam kondisi sakit kepala, Majarani memaksakan diri untuk berjalan karena ia sangat ingin menemui Richo, satu-satunya orang yang ia punya, satu-satunya harapannya. *** Di dalam pesawat, Arsen hanya diam sambil terus mengemudikan pesawatnya. "Kenapa pramugari menyebalkan itu nggak ada dan kenapa malah ada Meliza di sini, sih?" batin Arsen yang bertanya-tanya. "Aku benci Meliza!" *** Di sebuah Polres, seorang gadis berwajah pucat dengan Hoodie tebal yang melekat di tubuhnya sedang berjalan ke arah SPKT. "Permisi!" "Iya, ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang polisi pria pada Majarani. "Em, saya hanya mau bertanya, di mana ruangan Bripda. Richo Saka?" tanya Majarani pada sang penjaga SPKT. "Oh, maaf. Tapi dia sedang nggak ada di sini!" jawab polisi pria berpangkat Briptu itu. "Em, dia ada di mana?" tanya Majarani pada polisi tersebut. "Dia sedang keluar, ada tugas di lapangan, sudah dari tadi kok! Paling sebentar lagi kembali ke Polres!" "Oh, baiklah! Saya akan menunggu." "Silahkan duduk di sana!" Sang polisi mempersilahkan Majarani untuk duduk di kursi tunggu yang berada tak jauh dari ruang SPKT. Majarani pun hendak pergi ke arah sana namun ia mengurungkan niatnya kala melihat ada lima orang anggota kepolisian berjalan ke arahnya dan salah satu dari mereka adalah Richo. "Kakak?" Panggilan Majarani membuat Richo yang sedang bercengkrama dengan rekannya langsung menatap ke arah SPKT. Majarani kini segera pergi ke arah kakaknya dan langsung mengajak kakaknya untuk menjauh dari keramaian. "Kamu kenapa ke sini?" tanya Richo pada adiknya. "Kenapa Kakak melakukan hal itu pada Maja?" tanya balik Majarani pada Richo. "Hal apa?" "Tentang keterlibatan ayah dalam peristiwa kemarin dan kenapa tadi pagi kakak nggak membangunkan Maja? Apa karena kakak membantu Liza untuk menyingkirkan Maja?" Majarani bertanya seraya menatap nanar ke arah kakaknya. "Maaf, kakak nggak berniat merahasiakan hal itu, kakak hanya nggak ingin membuat hatimu hancur semalam!" jawab Richo dengan jujur. "Lalu tadi pagi itu apa?" tanya Majarani pada kakaknya. "Tadi pagi kakak hendak membangunkanmu, namun ternyata kamu demam. Jadi, kakak memilih untuk nggak membangunkan dirimu!" Majarani terdiam karena memang benar bahwa jika dia sedang tak enak badan hari ini. "Untuk hal ini Maja bisa mengerti karena kakak nggak mungkin membiarkan Maja bekerja dalam kondisi sakit, tapi untuk hal semalam, berat bagi Maja memaafkan kakak!" ucap Majarani yang merasa kecewa pada sang kakak yang telah membohonginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD