bc

Cerpen SwaSan / HelVar

book_age12+
7
FOLLOW
1K
READ
time-travel
second chance
drama
heavy
city
cruel
selfish
stubborn
Neglected
like
intro-logo
Blurb

SEBELUM BACA DI FOLLOW DULU AKUN AUTHORNYA!!

INI CUMA KUMPULAN CERPEN YANG AUTHOR BUAT!!

#PLAGIAT_MUNDUR!!

#BERKARYA_SENDIRI!!

#11JULI2021

chap-preview
Free preview
?Bukan. Keinginanku?
✧(HAPPY READING)✧ Kebahagiaanku hancur begitu saja setelah aku melakukan sebuah kesalahan. Cabang bayi yang umurnya kurang-lebih 7 bulan, suami dan kedua keluarga yang selalu perhatian. Kini tidak ada lagi yang peduli ketika aku melakukan pekerjaan berat. Semua perhatian mereka berganti pada saudara kandung ku yang tengah hamil. Dahulu aku selalu berada di samping kalian untuk mendengarkan obrolan hangat kalian dan sekarang semuanya berbeda. Aku hanya bisa mendengar obrolan hangat kalian dari belakang. Bahkan ketika ingin melihat senyuman kalian saja rasanya sangat susah. Kalian selalu menjauh saat aku mendekat. Senyuman kalian langsung luntur saat aku bergabung. Aku bagaikan sampah yang harus di singkirkan. Aku mematung saat kedua mata kami bertemu. Seperti yang aku katakan, senyumannya langsung memudar saat melihat diriku. Aku menelan saliva dengan susah payah. Aku biarkan pandangan ku ke bawah dengan jantung yang berdegup kencang. Kedua mata yang selalu menatap diriku kagum berganti menjadi kebencian. "Kamu harus jaga kandungan kamu. Terkadang ada yang tidak bersyukur dengan kehamilannya. Padahal banyak wanita di luar sana yang tidak bisa mengandung. Setidaknya biarkan bayi yang tidak bersalah itu hadir di dunia. Setelahnya kalau tidak menginginkan kehadirannya, kita bisa menitipkannya pada orang lain." Tenang tapi menyakitkan bagiku. Aku tahu kalau dia lagi menyindir ku. Bukan. Keinginanku. Untuk melakukan itu. Awalnya aku memang tidak menginginkan kehadirannya. Bukannya tidak ingin, tapi merasa belum siap. Coba kalian bayangkan, secara tiba kalian di berikan sebuah anugerah dan kalian merasa minder dengan diri sendiri. Aku hanya takut jika aku belum bisa menjadi Ibu yang baik untuknya. Lambat laun aku menerima kehadirannya, tapi Tuhan berkehendak lain. Aku jatuh dari tangga ketika aku sedang sendirian di rumah. Mungkin sudah balasan karena aku sempat menolak kehadirannya. Jujur, aku sebagai orang yang mengandung dirinya juga merasakan sakit. Tapi kenapa mereka seperti mengatakan akulah penyebab kepergiannya? Mereka seolah mengatakan aku sengaja melakukan hal sejahat itu. "Maaf, Mas," ucapku begitu pilu. Aku berbalik dan segera mungkin naik ke lantai dua letak kamar aku dan suami ku berada. Setelah menutup pintu, tubuhku merosot ke lantai. Aku letak kan wajahku di kedua paha dengan punggung yang mulai bergetar hebat. "Bukan aku yang membuat dia pergi. Kenapa kalian selalu memaksa aku untuk jujur, hiks?!" Aku menghirup udara dengan kasar. "Kalian boleh membenciku, tapi harus ingat kalau aku masih ada di sisi kalian. Sakit rasanya ketika tidak dianggap. Terutama kamu, Mas. Tidak bisakah kamu percaya padaku? Aku ini istri kamu, hikshiks!" "Are you, okey?" Bukan kedua keluargaku yang bertanya, melainkan sahabat kecilku. Namanya Nikita Prasetya. Aku selalu memanggilnya Niku. Hanya dia yang percaya padaku. Aku yang berada di atas ranjangnya hanya menggeleng kecil dengan senyuman tipis, "Fine. Sangat baik." Di iringi dengan air mata, lalu terisak pilu. Niku membawaku ke dalam pelukannya. Dia mengelus punggung ku dengan hati-hati. Layaknya aku adalah debu yang baru saja ia lukis. "Maaf kalau gue tidak ada di saat lo kesepian," ucapnya ikutan menangis. "Setidaknya lo masih bisa gue jadiin pelarian. Gue mau lo jadi rumah gue untuk selamanya. Di saat gue susah maupun senang. Gue tidak tahu lagi mau kemana, Niku. Semuanya menghakimi gue, hikshiks!" balas ku tak kuat lagi. "Gue akan selalu jadi rumah lo. Gue akan menerima keadaan lo yang lagi rapuh maupun bahagia. Gue sayang lo, Hellu," balasnya membuat hatiku sedikit tenang. Setidaknya dia masih bisa menerima diriku. Sebelumnya aku ingin memperkenalkan diri, namaku Helly Nasywah. Aku sering di panggil Hellu. Aku putri sulung dari Pari Karmila dan Sachin Fachri. Aku punya Adik satu, namanya Teja Azhura. Aku istri dari Varun Aska. Menantu pertama dari Sonica Aglasia dan Amar Barki. Terakhir, aku memiliki Adik Ipar yang bernama Namish Alfayyadh, suami Teja. "Mas, kita salat isya dahulu, ya," ucapku setelah mengumpulkan keberanian. "Kamu saja. Aku nanti," balas Mas Varun dengan dingin. Dia baru saja mandi. Terlihat dari rambutnya yang basah. "Tapi aku mau kamu menjadi imamku. Sudah lama kita tidak salat bareng lagi," ucapku penuh permohonan dan berakhir mengeluh. "Tidak perlu manja. Kamu masih bisa salat sendiri," ucapnya sambil keluar dari kamar. Mas, aku rindu tatapan hangat kamu. Setidaknya lihat aku ketika bicara. Jerit batinku. Aku usap pipiku yang basah. Aku berbalik dan masuk ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Aku turun ke bawah. Keadaan sudah sepi dan semuanya tidur dengan tenang. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.57. Namun, Mas Varun belum juga pulang. Aku menunggunya dengan gelisah. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan di luar sana. Apa dia menghindar dariku? Memang bukan untuk pertama kalinya aku menunggunya pulang tengah malam. Sejak kejadian cabang bayi kami pergi, Mas Varun selalu pulang tengah malam. Bukan apa-apa, aku hanya mengkhawatirkan dirinya saja. Aku tidak mau dia menyiksa tubuhnya. Disini aku yang salah dan bukan dia. Ya Allah, tolong jangan sakitin Mas Varun. Di mana pun dirinya, aku berharap Mas Varun masih berada di bawah perlindunganmu. Aku menunggunya dengan kedua mata yang hampir terpejam. Beberapa kali kepalaku merosot dengan kedua mata yang hampir tertutup. Berusaha mungkin aku menahan kantuk itu. Namun, semuanya langsung membisu begitu saja. Dengan samar aku mendengar suara pintu utama terbuka. Setelah itu, aku tidak mendengar apapun lagi. Mataku terbuka saat aku mendengar suara azan subuh berkumandang. Aku menoleh ke samping dan mendapatkan Mas Varun tertidur di seberang sana. Tepatnya di atas sofa. Seketika mataku memanas melihat pemandangan itu untuk kesekian kalinya. Bahkan untuk tidur disampingku saja kamu merasa tidak pantas, Mas. Aku memang sampah yang harus di buang secepatnya. Kalian tidak menganggap diriku ada lagi, Mas. Sakit rasanya dijauhkan begini, hikshiks! Lagi dan lagi aku hapus pipiku yang basah. Aku orangnya memang mudah tersentuh. Aku akan merasakan sakit ketika orang yang aku cinta mulai menjauh dariku. Mas Varun seakan menjaga jarak dariku. Aku turun dari ranjang dan berjalan menuju sofa. Tanganku mengudara begitu saja ketika aku ingin membangunkan Mas Varun. Kamu kalau mau salat, salat aja. Jangan terlalu manja. Biasakan hidup mandiri. Perkataan Mas Varun beberapa hari yang lalu bermain lagi di kepalaku. Aku memejamkan mata erat dengan kepala menggeleng sampai tidak sadar air mataku jatuh lagi tepat di lengan Mas Varun. Mas Varun benar. Aku tidak boleh manja. Aku harus belajar mandiri, walaupun hidup dengan keluarga suami ku sendiri. Aku biarkan kakiku berjalan menuju ranjang hanya untuk mengambil selimut yang aku gunakan semalam. Aku membiarkan selimut tebal dan lembut itu mendarat di tubuh Mas Varun untuk menutupi tubuhnya yang kekar. Aku berjongkok tepat di wajah Mas Varun, lalu mendekatkan wajahku padanya. Cup! Aku jauhkan lagi wajahku darinya setelah aku mengecup bibir manisnya. "Setidaknya izinkan aku untuk memulai semuanya dengan baik. Ana Uhibbuka Fillah, Mas," ucapku sambil tersenyum pedih. "Aku akan menunggu balasan kamu. Walaupun dahulu aku sering mendapatkan balasan dari cintaku," ucapku sebelum masuk ke kamar mandi. Setelah aku masuk ke kamar mandi, Mas Varun membuka matanya pelan. Ia menatap langit kamar dengan tatapan kosong. Shodaqallahul Adzim... Kataku selesai membaca Al-qur'an. Sebelum bangkit dari duduk, aku mengecup kulit Al-qur'an itu. Aku menoleh ke belakang dan mendapatkan Mas Varun dengan mata yang masih tertutup. Apakah dunia mimpinya lebih menarik dari pada dunia aslinya? Sampai sekarang ia belum bangun juga. Biasanya Mas Varun terbangun lebih awal ketika azan subuh berkumandang. Tidak mau menambah beban di kepala lagi, aku menyimpan balik semua perlengkapan salat yang baru saja aku gunakan. Aku mengayunkan kakiku menuju Mas Varun. Aku meraih tangannya, lalu mengecupnya. Cup! Aku mengecup keningnya. Cup! Lalu turun di kedua pipinya. Cup! Terakhir di bibir manisnya. "Aku minta izin keluar, Mas. Aku mau ke rumah Niku. Aku tidak mau membuat pagi kalian hancur hanya karena melihat aku di sisi kalian. Mas tenang saja. Sampai di rumah Niku, aku akan sarapan. Mas juga harus sarapan, ya. Jangan tinggalkan sarapan, Mas. Maaf kalau aku tidak bisa melayani Mas dengan baik. Aku hanya tidak mau membuat pagi Mas hancur. Aku pergi dahulu," ujarku pamitan pada Mas Varun yang sedang tertidur. Mungkin kalau orang lain melihat aku bicara sama orang tidur, maka mereka akan mengira aku gila. Tapi aku cuma ada waktu bicara ketika Mas Varun tidur. Aku bangkit dari posisi duduk ku. Ingin melangkah, namun seperti ada yang menahan. Aku menoleh ke belakang dengan jantung berdegup kencang. Aku pikir Mas Varun yang menahan langkahku. Ternyata cincin pernikahan yang aku gunakan sangkut dikancing kemeja putih yang di gunakan Mas Varun. Aku biarkan diriku duduk di sofa kembali. Aku berusaha melepaskan cincin pernikahan ku dikancing kemeja Mas Varun. "Kenapa susah sekali?" gerutuku saat cincin itu tak mau lepas dari kancing kemeja Mas Varun. Aku menyelipkan rambutku yang sedikit mengganggu penglihatan ke telinga. Tanpa sadar aku membungkuk sampai keningku mendarat di bibir Mas Varun. Aku sedikit mendongak dengan bibir mengerucut. "Kalau kamu lagi tidak marah, sudah aku ganggu kamu tidur, Mas. Cincin nya tidak mau lepas," gerutuku yang akhirnya dapat melepaskan cincin itu dari kancing kemeja Mas Varun. "Ah, akhirnya! Untung saja tidak rusak. Cuma ini yang bisa aku harapkan ketika kamu menatap ku benci, Mas," Tanpa aku sadari, Mas Varun bangun dari tidurnya. Dia menatap punggung ku dengan dingin. Mengusap wajahnya kasar, lalu pergi menuju kamar mandi. "Lo dalam beberapa hari ini muntah-muntah terus lho. Yakin tidak mau ke rumah sakit?" ucap Niku kukuh sambil memijat tengkuk ku. Aku menggeleng lemah sebelum mencuci wajahku, "Lo kayak tidak tahu kalau gue ada mag. Terlambat makan sedikit aja pasti udah kambuh. Malas gue ke rumah sakit. Tidur di rumah lebih nyaman dari pada berbaring di atas ranjang rumah sakit." Niku berdecak kesal, " Istrinya siapa sih lo? Keras kepala banget." "Istrinya Mas Varun," balas ku dengan tenang. "Cinta banget ya sama Mas Varun?" ucap Niku bertanya sambil memapahku menuju ranjang miliknya. "Banget. Bahkan sampai mengalahkan cintanya diriku sendiri," balas ku. "Bagaimana kalau sama Allah?" "Allah yang pertama, kedua baru Mas Varun dan keluarga." "Sekarang lo harus banyak-banyak istirahat. Lihat tuh! Wajah lo pucat banget. Kayak mayat hidup. Gue ke bawah dahulu mau ambil obat mag untuk lo," ucap Niku setelah membiarkan gue berbaring di atas ranjangnya. Aku hanya mengangguk lemah. Sampai di depan pintu, aku memanggil Niku. Dia berbalik dengan kedua alis ke atas seakan bertanya; Ada apa? "Terima kasih," ucapku sambil tersenyum tipis. "Apa sih yang tidak untuk lo?" ucapnya dan berlalu dari kamar. Niku membuka pintu rumahnya yang berkali-kali diketuk, "Lo? Kok ada disini?" "Gue lihat status lo. Hellu masih di rumah lo kan? Gue bisa ketemu Hellu tidak?" ucapnya berturut-turut. Niku memang sempat memfoto kan aku yang lagi berbaring, tapi tidak tahu untuk apa. "Hellu lagi sakit," balas Niku. "Gue tahu. Makanya itu gue kesini mau menjenguk Hellu," "Cuma menjenguk kan?" Pria itu mengangguk cepat. Niku menghela napas. Dengan setengah hati ia membiarkan pria itu masuk ke dalam. Niku mengikutinya dari belakang. "Lo kayak Mama gue tahu tidak? Semuanya harus dipikirkan. Jatuh sakit kan lo jadinya," ucap pria itu langsung mencerocos ketika melihat aku berbaring lemah. Aku hanya membalasnya dengan kekehan kecil, "Kalian terlalu berlebihan. Gue tidak apa-apa. Cuma pusing sama mual doang. Setelah istirahat mungkin gue segar kembali." "Coba lo berkaca, bagaimana pucat nya wajah lo sekarang," cerocosnya lagi membuat aku terkekeh saja. "Gue udah berkaca berulang kali. Gue masih tetap cantik kok," gurau ku dan mendapatkan decakan dari keduanya. "Ah! Mas, tanganku sakit! Tolong lepaskan dahulu," ucapku memohon pada Mas Varun. Namun bukannya mendapatkan kelonggaran, Mas Varun makin mengencangkan tarikannya. Aku hanya bisa menatap nanar punggung Mas Varun. Kamu salah paham, Mas. Aku tidak melakukan apa yang kamu katakan, hikshiks! Batinku menangis. Aku tidak tahu kalau Mas Varun datang untuk menjemputku. Di saat itu, aku berusaha bangkit dari ranjang dan menuju ke kamar mandi dengan kepala yang makin memberat. Baru beberapa langkah, aku hampir terjatuh kalau saja pria itu, Zain Alfathah tidak sigap menahan pinggang ku. Bersamaan dengan itu, Mas Varun datang. Jujur, aku tidak melakukan apapun bersama Zain. Pria itu hanya ingin menolong ku saja. Tapi Mas Varun terlanjur tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Tidak, Mas Varun memang sudah tidak percaya lagi padaku. "Aku bersumpah dengan nama Allah, jika aku tidak melakukan hal sekotor itu dengan Zain, Mas," ucapku menangis setelah Mas Varun melepaskan tanganku dengan kasar. Aku terjatuh tepat di samping ranjang. Tanganku meremas seprai dengan kuat dan berganti pada lengan Mas Varun ketika ia menarik kasar dagu ku. Mas, hiks! Panggil ku di hati. "Jangan menyebut nama Allah dengan mulutmu yang kotor itu. Kamu pikir aku pria bodoh, hm? Selama ini aku sudah tahu kelakuan kamu dengan pria itu. Berjalan berdua selayaknya sepasang suami-istri? Saling tatap-tatapan? Mengumbar senyuman padanya? IYA?!" Hiks! Aku menggeleng lemah. Bibirku terbungkam begitu saja ketika mendengar suara tinggi Mas Varun. Selama kami menikah, Mas Varun tidak pernah membentak ku. "Masih punya mulut kan? JAWAB SEKARANG?!" Aku tersentak untuk kedua kalinya, lalu menggeleng makin lemah. "Mas, pusing," aduku yang tak peduli ia akan percaya atau tidak. Sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, aku mendengar suara decakannya. Dasar menyusahkan! Lalu dia membawa ku ke ranjang. Saat tidak mendengar apapun lagi, aku masih bisa meneteskan air mata. Bukan fisik ku yang sakit, melainkan batinku yang tersakiti. Allah seakan tidak mengizinkan batinku hidup dengan tenang lagi. Cepat sembuh. Itu yang aku dengar sebelum benar-benar tersadar dari mimpi ku. Dapat aku rasakan gerakan tangan Mas Varun pada rambutku berhenti di saat aku menatapnya dengan sayu. Apalagi wajahnya yang sudah berubah menjadi dingin. "Aku mengatakan itu biar kamu tidak menyusahkan ku terus. Aku capek punya istri yang bisanya hanya menyusahkan diriku," ucapnya menjelaskan. Aku tersenyum tipis. Hatiku berdenyut nyeri, "Maaf, Mas. Aku hanya menyusahkan kamu saja. Aku memang tidak pantas bersanding dengan kamu." Mas Varun menegakkan tubuhnya yang tadi setengah berbaring, "Bagus kalau kamu sadar diri." "Mas mau mengabulkan satu permintaan ku tidak?" tanyaku sedikit memohon meminta balasan tatapan darinya. "Diam berarti mau," ucapku menyimpulkan sendiri. "Aku sakit, Mas. Tapi bukan raga ku, melainkan jiwaku," ucapku begitu lirih. Tapi aku yakin Mas Varun masih dapat mendengarnya dengan baik, "Aku tidak akan pernah diinginkan oleh mu lagi kan, Mas? Biarkan aku pergi. Aku tidak mau menyusahkan kamu terus. Aku memang sampah yang seharusnya di buang secepatnya. Aku-." Berusaha mungkin aku menjaga nada bicara ku yang bergetar, "Aku bukan istri yang baik untuk kamu. Aku sangat buruk. Bahkan aku membunuh cabang bayi yang tidak berdosa, hiks!" Sebaik apapun aku menahan semuanya, isakan itu akan keluar begitu saja ketika aku merasakan lelah. Tepatnya lelah batin. Aku bangkit dari baring dan berjalan menggunakan kedua lutut. Aku langsung memeluk leher Mas Varun dengan erat seakan tidak mau lepas barang sedetikpun. Tangisan ku kembali pecah saat tidak mendapatkan balasan dari Mas Varun. Memang benar, aku harus melepaskan nya sebelum Mas Varun yang melepaskan ku. Akan lebih sakit kalau Mas Varun yang melepaskan ku. "Mas harus jaga diri, ya. Mas tidak perlu mencariku lagi. Karena akan lebih sakit kalau aku berada di sisi Mas terus. Pembunuh dan penghianat seperti ku tidak pantas berada di samping kamu, Mas," ucapku lirih tepat di telinganya. "Ana Uhibbuka Fillah, Mas Varun," lanjut ku setelah mengecup pipinya untuk terakhir kali. Aku berjalan di tengah malam dengan ditemani semilir angin. Aku biarkan rambutku beterbangan bersamaan angin malam yang menerjang kulit telanjangku. Tanpa sadar, tanganku naik menuju perut rataku, "Maafkan Bunda yang sudah membuat kamu jauh dari Ayah. Bunda selalu menyusahkan Ayah, sayang. Bunda tidak ingin melakukannya lagi." "Bunda berjanji ketika kamu lahir, kamu akan mendapatkan kasih sayang yang begitu besar dari Bunda. Sampai kamu tidak merasakan kekurangan. Bunda sayang kamu. Bunda akan menjaga kamu sebaik mungkin." Keadaan rumah hancur begitu juga hati mereka. Beberapa fakta yang baru saja mereka dengar dari Niku membuat mereka merasa bersalah. Niku membeberkan semua yang selama ini aku ceritakan padanya. Tentang betapa cintanya aku sama mereka sampai aku merasa bersalah dengan kehilangan cabang bayi kami. Bahkan Niku juga membeberkan rahasia ketika aku berusaha membunuh diri di saat merasakan putus asa. Memang setelah kepergian cabang bayi kami, aku sempat berniat untuk membunuh diri sendiri. Namun Niku datang dan mengatakan; Tidak baik membunuh diri sendiri. Memang nanti mau dibalas dengan Allah di saat kematian mendatang? Membayangkan nya saja sudah membuat bulu tengkuk ku bergidik. Apalagi kalau benar-benar dibalas di saat kematian mendatang. Tapi, bukankah aku sudah membunuh cabang bayiku sendiri? Apa mungkin di saat kematian mendatang semuanya akan dibalas oleh Allah? Niku juga sudah mengatakan pada semuanya, jika aku lagi hamil muda. Semalam Niku dan Zain memaksa diriku untuk diperiksa ke rumah sakit. Terpaksa aku mengiyakan dengan malas. Setelah diperiksa, Dokter wanita itu menyuruh aku untuk diperiksa sama Dokter kandungan. Aku hanya menatapnya bingung dan kami pergi ke Dokter kandungan. Dokter itu mengatakan kalau aku lagi hamil muda. Perkiraan kurang lebih tiga minggu. Pantas saja aku merasakan sedikit ada perubahan pada tubuhku. Seperti berat untuk dibawa kemana-mana. Padahal aku pernah merasakan semua itu di kehamilan pertama, tapi kenapa tidak sampai kepikiran ke sana? Dia adalah darah daging kamu, Mas! Perkataan terakhir Niku sebelum Mas Varun pergi keluar. Aku tidak tahu mau pergi kemana Mas Varun. Keesokan harinya... Dengan samar aku melihat Mas Varun di hadapanku. "Mas, Mas disini?" ucapku lirih sedikit menghalau pancaran sinar matahari yang masuk ke dalam retina. "Mas mohon jangan tutup mata kamu," ucap Mas Varun memohon sambil membuat ku bangkit dari baringan ku. Semalam karena tidak sanggup berjalan lagi, aku membiarkan diriku istirahat di bangku halte yang tidak jauh dari rumah. "Mas, aku mual," ucapku makin lirih menahan kemualan itu. "Sebentar, sayang. Mas bantu kamu duduk," Mas Varun memeluk pinggang ku agar tidak terjatuh. Aku segera muntah-muntah yang tidak mengeluarkan apapun kecuali air bening. Mas Varun mengusap tengkuk ku dengan lembut. "Sudah mendingan?" tanya Mas Varun, aku mengangguk. Mas Varun tiba-tiba saja menyodorkan sebotol air mineral padaku. Aku minum dibantu Mas Varun. Selesai minum, Mas Varun mengusap bibirku yang basah dengan jarinya sendiri. Aku sedikit terkejut dengan perlakuan Mas Varun pagi ini. Tiba-tiba datang menemui diriku dan perhatian padaku. Apalagi di saat ia berjongkok di depan perut rataku. "Mas, apa yang kamu lakukan?" tanyaku terkejut bukan main. "Mas mau menyapa dia," ucap Mas Varun sambil mengusap perut rataku. "Apakah salah seorang Ayah menyapa anaknya sendiri?" Kali ini pandangan Mas Varun berganti padaku. Aku membatu melihat senyuman tulusnya. Senyuman itu adalah senyuman yang sudah membuat aku jatuh cinta untuk kesekian kalinya. "Mas tahu kalau aku lagi hamil?" tanyaku pelan. "Kenapa kamu tidak jujur sama Mas?" dibalas dengan pertanyaan lagi. Aku menunduk karena tidak berani menatap dirinya, "Aku takut menyusahkan kamu, Mas. Bukankah aku adalah istri yang banyak maunya?" Genggaman hangat itu dapat aku rasakan lagi, "Mas minta maaf. Mas yang buruk. Mas gagal menjaga kamu dan cabang bayi kita." "Tidak, kita sama-sama buruk," ucapku makin pelan. "Iya, kita sama-sama buruk. Sekarang lihat, Mas. Jangan menunduk begitu. Nanti kelapa kamu sakit," ucap Mas Varun sambil menarik lembut dagu ku, namun aku menahannya. Aku menggeleng pelan, "Mas, bagaimana kalau aku melakukan kesalahan itu lagi? Apakah Mas akan meninggalkan aku untuk kesekian kalinya?" Bau obat-obatan tercium di hidungku. Ah, aku tidak suka bau ini. Kenapa aku harus berada di rumah sakit? Aku baru ingat, terakhir kali aku pingsan ketika bersama Mas Varun. Mas Varun? Di mana dirinya sekarang? Aku hanya sendirian di ruangan ini. Apakah aku bermimpi terakhir kali bersama Mas Varun? "Jangan ditutup lagi matanya," ucap suara familier milik Mas Varun. Seketika itu, aku yang niatnya ingin menutup mata membuka nya kembali. Mas Varun ada di hadapanku dengan senyuman hangatnya. Aku mengerjap berkali-kali hanya untuk memastikan bahwa penglihatan ku tidak lah salah. "Mas disini? Aku tidak bermimpi kan?" ucapku rendah. "Mas sejak tadi bersama kamu. Maaf kalau Mas sempat meninggalkan kamu. Mas lagi mengurus kepulangan kamu," ucap Mas Varun sambil mengusap pucuk kepalaku. "Kenapa aku ada disini?" "Kamu pingsan, sayang. Mas khawatir makanya langsung membawa kamu ke rumah sakit," "Mas khawatir banget, ya? Takut kehilangan bayinya, hm?" "Lebih tepatnya takut kehilangan kalian berdua," koreksi Mas Varun. Aku tersenyum cerah mendengarnya, "Mas minta maaf ya, sayang. Mas sudah berpikir buruk tentang kamu." "Jangan minta maaf terus. Aku tidak suka mendengarnya," ucapku cemberut. Apalagi di saat ia terkekeh. Sudah lama rasanya aku tidak mendengar ketawa Mas Varun. "Mas, terima kasih karena sudah mau menerima diriku kembali," "Seharusnya Mas yang mengatakan itu. Terima kasih karena kamu selalu sabar dengan sikap Mas. Ana Uhibbuki Fillah, sayang." "Ahabbakilladzii Ahbabtani Lahu, Mas." Aku memejamkan mata saat Mas Varun mengecup kening ku sangat dalam dan berakhir mengecup bibirku. "Aku mau pulang, Mas," ucapku baru saja menunjukkan sikap asliku. Betapa terkejutnya aku ketika ingin masuk ke rumah. Rumah berubah layaknya istana di dalam film. Aku menatap Mas Varun yang terlihat tenang. "Mas, ini-," "Untuk kalian, sayang," ucap Mas Varun langsung menyela perkataan ku. "Aku takut, Mas," ucapku lirih saat Mama dan yang lainnya menghampiri kami yang masih berada di depan pintu. "Sayang," panggil Mama langsung memeluk tubuhku yang terdiam kaku. "Maafkan Mama, ya. Mama belum bisa menjadi mertua yang baik. Mama terlalu jahat buat kamu," ucap Mama di iringi tangisan pilu. "Ma, jangan begitu," ucapku langsung menahan tubuh Mama yang akan berlutut padaku. "Maaf, sayang. Hikshiks!" "Bunda minta maaf juga ya, sayang. Bunda sempat memikirkan yang tidak-tidak tentang kamu," ucap Bunda langsung memeluk ku. Bergantian dengan yang lainnya dan terakhir adalah Teja. Dia menangis di pelukanku. "Maaf, Kak. Aku sudah membuat Kakak menangis. Aku mengambil semua perhatian mereka dari Kakak," ucap Teja penuh rasa bersalah. "Tidak, kamu lagi hamil. Jadi kamu pantas mendapatkan perlakuan hangat mereka," ucapku berusaha menenangkan Teja. "Kita berdua akan di berikan perlakuan hangat mereka. Iya kan?" ucap Teja berakhir bertanya pada yang lainnya. Kami tertawa bahagia. Malamnya, kedua keluarga merayakan kehamilan ku dan Teja yang masih sangat kecil. Ngomong-ngomong kehamilan Teja lebih tua empat minggu dari kehamilan ku yang masih tiga minggu. Selama hamil, kami tidak pernah dibeda-bedakan lagi. Apalagi sesudah hamil, perhatian mereka masih tertuju pada kami dan kedua cucu mereka. 3 tahun kemudian... Aku terkekeh saat putriku, Zahra Maysaroh, jatuh menghampiriku. Saat ini aku, Zahra dan Mas Varun berada di halaman rumah yang satu tahun lalu dibeli Mas Varun dengan hasil keringatnya sendiri. Kami lagi melatih Zahra berjalan sambil menunggu yang lainnya datang. Aku melambaikan tangan pada Zahra untuk menyuruhnya menghampiri diriku. "Ayo, sayang! Sini sama Bunda!" ujarku sambil melangkah mundur dengan pelan. Aku melihat Zahra terkekeh dengan gigi susunya yang belum tertata rapi, "Bua! Tunggu Aya!" (Bunda! Tunggu Zahra!) Putri kami memang pintar. Di usianya yang masih dua tahun, ia sudah bisa bicara walaupun tidak terlalu jelas. Tapi, aku dan Mas Varun sangat bersyukur dengan kehadiran putri sepintar Zahra. Zahra adalah jiwa dan raga kami. Zahra akan ikutan sakit ketika kami sakit. Bahkan ketika jidat ku tidak sengaja kejedot dengan pintu kamar, Zahra langsung menangis pilu. Bruk! Zahra jatuh untuk kedua kalinya, tapi ia langsung bangkit dan mengejar ku lagi. Aku dan Mas Varun terkekeh melihat betapa semangatnya Zahra ingin menghampiri diriku. Aku dan Mas Varun langsung menahan tubuh Zahra yang akan terjatuh lagi. Cup! Zahra tertawa geli saat aku dan Mas Varun mengecup pipinya bersamaan, " Ayah, Bua natay. Aya disuyuh Bua jayan, tapi Bua mayah jauh." (Ayah, Bunda nakal. Zahra disuruh Bunda jalan, tapi Bunda malah jauh.) Aku cemberut, tapi bukan karena nakal yang dimaksud Zahra melainkan panggilan untuk ku yang tidak lengkap. Aku selalu cemburu mendengar panggilan Ayah dari Zahra. Kenapa Zahra sangat susah untuk memanggilku Bunda? "Zahra juga nakal. Masa panggil Bua," ucapku sedikit protes, lalu mengecup bibirnya. "Tidak bisa. Aya kan masih kecil." "Sudah, besok lagi belajar jalannya. Lihat tuh! Nenek dan lainnya sudah datang," ucap Mas Varun sambil menunjuk rombongan Mama. Seketika wajah Zahra langsung suram melihat Muhammad Aldiansyah putranya Namish dan Teja berada di dalam gendongan Namish. "Ayah, gendong." Aku tersenyum geli. Zahra dan Aldi kalau bersatu seperti bertemu musuh. Aldi yang selalu jahil sambil memamerkan kedekatannya dengan sang Ayah membuat Zahra tak mau kalah. "Assalamu'alaikum, Zahla. Aldi ganteng datang lagi belsama Papa ganteng," ucap Aldi dengan percaya dirinya. "Aydi peycaya diyi kali. Aydi tidak anteng. Papa doang yang anteng." (Aldi percaya diri kali. Aldi tidak ganteng. Papa doang yang ganteng.) Aldi cemberut, lalu tersenyum jahil, "Aldi balu saja dibelikkan Papa bulung. Zahla tidak punya bulung kan?" Zahra langsung menoleh ke Mas Varun dengan wajah memelas nya, "Ayah, anti kita beyi buyung, ya." (Ayah, nanti kita beli burung, ya.) Mas Varun hanya bisa mengangguk. Aku menunggu Aldi yang ingin bicara lagi. "Papa juga belikan Aldi bola basket. Papa mengajalkan Aldi main bola basket," "Anti Aya uga mau beyi boya basket," adu Zahra pada Mas Varun lagi. "Iya, sayang." "Aya uga mau main boya basket sama Ayah." (Zahra juga mau main bola basket sama Ayah.) "Iya." "Aldi balu dapat hadiah dali Papa. Hadiahnya sepatu kelualan balu." "Aya uga mau beyi sepatu, Ayah." (Zahra juga mau beli sepatu, Ayah.) "Hm." "Papa semalam beli kan Aldi baju couple-an untuk Aldi dan Papa." "Anti Aya dan Ayah uga mau beyi baju capeyan. Iya kan Ayah?" "Sudah?" tanya Varun mulai lelah mendengar pertengkaran kecil mereka. Aldi dan Zahra sama-sama tidak mau kalah. Zahra mengerucutkan bibirnya gemas, "Biyang udah nya sama Aydi. Dayi tadi Aydi memameykan semua bayangnya ke Aya." "Aldi udah, ya. Tidak baik memamerkan barang-barang yang Aldi punya," ucap Namish mulai menasehati Aldi. "Aldi gemas sama Zahla yang selalu ili sama Aldi," balas Aldi dengan kekehannya. Zahra menatap tajam Aldi, "Aya tidak iyi sama Aydi." "Buktinya Zahla mengikuti semua balang yang Aldi punya," ucap Aldi. Zahra yang tak terima pun ingin protes, namun langsung di sela Teja. "Bertengkarnya nanti aja di dalam, oke!" Cup! Aku terbangun saat dua kecupan mendarat di bibirku. Zahra dan Mas Varun tersenyum di atas ku. "Ayah? Zahra? Kalian belum tidur?" tanyaku bingung pada keduanya. Selama Zahra hadir di sisi kami, aku mengubah panggilan ku untuk Mas Varun menjadi Ayah. Begitu juga dengan Mas Varun. Berbeda lagi ketika kami hanya berdua saja. Maka aku akan tetap memanggilnya Mas dan Mas Varun memanggilku Adik. "Happy Birthday, Bua!" ucap keduanya setelah aku duduk dibantu Mas Varun. Aku mengucek mataku, namun langsung ditahan Mas Varun. Mas Varun mengusap mataku dengan lembut. "Jangan dikucek," ucap Mas Varun memperingati. "Anti pedih," timpal Zahra membuat ku gemas. "Kalian berjaga hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun?" tanyaku dengan kue ulang tahun di depan wajah. "Iya, Bua," balas Zahra. "Make a wish dahulu," ucap Mas Varun ketika aku akan meniup lilinnya. Aku memejamkan mata, lalu membukanya lagi. Lilin itu mati saat aku meniupnya di iringi dengan kecupan pipi dari keduanya. Aku membawa Zahra ke dalam pangkuan. Mengecup pipinya bertubi-tubi tanpa ampun sampai membuat Zahra tertawa geli. "Bua, udah. Aya mau bicaya," ucap Zahra dengan cara bicaranya yang sangat menggemaskan. "Tidak mau. Zahra nakal sama Bunda," ucapku menggigit gemas pipi gembul Zahra. "Sayang, udah," ucap Mas Varun mengambil alih Zahra dari ku. Zahra tersenyum geli di balik d**a bidang Mas Varun yang sedang memotong kue, "Sayang, udah." Seketika itu, potongan kue yang baru saja aku kunyah langsung memuncrat kemana-mana. Aku menerima selembar tisu yang baru saja Mas Varun sodorkan. "Zahra nakal, ya," ucapku sambil mengambil ancang-ancang untuk menggelitiki Zahra. "Sayang," ucap keduanya bersamaan membuat tanganku mengambang. "Kalian serentak sekali sampai-sampai membuat Bunda kesal," ucapku berlagak merajuk. Zahra terkekeh, "Anti kalau Aydi mau jahilin Aya, Aya akan memanggilnya sayang. Biay Aydi tidak jadi jahilin Aya." Aku langsung melotot, "Jangan mencobanya Zahra." Mendapatkan larangan dariku, Zahra menatap Mas Varun, "Ayah, boyeh kan?" "Boleh, sayang." "Mas, bicaranya." "Sudah terbiasa memanggil kamu sayang." "Tapi jangan di hadapan Zahra. Bagaimana kalau seterusnya Zahra memanggilku sayang? Panggil Bunda aja tidak lengkap, jika panggil sayang baru lengkap," ucapku memprotes keduanya. "Soyyi, sayang," balas Zahra dengan ketawanya. Aku cemberut dan Mas Varun ikutan terkekeh. Ayah dan Anak memang tidak ada bedanya. Bisa aja membuat ku kesal ditambah cinta. "Kami mencintai Bua," ucap Zahra dan Mas Varun berakhir dengan mengecup pipiku sekali lagi. Tuhan itu memang adil. Dia selalu membuat kita menderita dan berakhir bahagia. -TAMAT- 4775 kata Tokoh Utama : Varun Aska Helly Nasywah Tokoh Pembantu : ❤Namish Alfayyadh❤ Teja Azhura ❤Muhammad Aldiansyah❤ Zahra Maysarah ❤Zain Alfathah❤ Nikita Prasetya ❤Amar Barki❤ Sonica Aglasia ❤Sachin Fachri❤ Pari Karmila Nama-nama tokohnya sengaja diletakkan paling bawah. Biar penasaran gimana gitu wkwk. Ketiknya juga gregetan karna takut ada yang salah dengan kata-katanya. Maklumin aja ya kalau banyak 'typo bertebaran'. Maaf juga kalau ceritanya kurang kenak di hati. Soalnya masih belajar Terakhir cuma mau ingetin kalau ini 'CERPEN'. Jadi nggak ada kelanjutannya. Cerpen pertama di akun ini, responnya ya!! Biar semangat lagi buat cerpen yang lainnya. Ditunggu aja cerpen selanjutnya dari aku, oke! Baybay guys! Sampai jumpa di cerpen selanjutnya!! #Cerpen_Ke1 #Bukan_Keinginanku #12Juni2021 linar_jha2

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Time Travel Wedding

read
5.4K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.1K
bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
4.0K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook