Ucapan Tante Sinta

1289 Words
Pagi ini keluarga Anisa memasak banyak karena setelah resepsi pernikahan, keluarga Jordan tidur di rumahnya. Sehingga untuk sarapan pagi ini Rahma sengaja memasak banyak di bantu oleh Sinta. Anisa yang baru menuruni anak tangga rumahnya dan hendak gabung untuk sarapan langsung di beri sindiran pedas oleh Tantenya. "Aduh Tuan putri baru bangun. Enak tidurnya? Orang tua capek-capek masak, punya anak perawan bangun tidur tinggal makan doang." Anisa yang hendak mengambil nasi langsung mengurungkan niatnya. Dia menatap tantenya sambil mencoba sabar. Dia tidak mau membuat keributan di depan keluarga suami kakaknya. "Maklum lah Bu kalau Anisa jam segini baru bangun, dia juga pasti capek Karena kemarin bantuin ngurus acara pernikahan kakaknya. Gak usah di tegur seperti itu." Mutiara tersenyum kepada Anisa yang sekarang justru sedang menunduk malu. Memangnya siapa yang tidak malu ketika disindir seperti itu oleh tantenya sendiri di depan orang selain keluarganya sendiri? Anisa rasa tantenya itu sudah keterlaluan. Sedari kecil tantenya selalu membedakan antara dirinya dan juga kakaknya. Tantenya selalu menyalahkan dirinya ketika terjadi apa-apa kepada kakaknya ketika dirinya sedang main berdua dengan kakaknya. Padahal tidak semua yang terjadi kepada kakaknya itu dia tahu. Tidak semua kejadian yang menimpa kakaknya itu salahnya. Apapun yang terjadi kepada kakaknya, tantenya selalu menyalahkannya dan menganggapnya tidak pecus menjaga kakaknya. Padahal seharusnya kakaknya yang menjaganya, karena kakaknya lebih tua darinya. "Iya Mbak, jangan seperti itu. Anisa pasti tadi kecapean, makanya telat bangun. Iya kan sayang?" Tanya Rahma sambil mengambilkan anaknya makanan. Anisa hanya diam. Dia makan dalam diam tanpa membalas atau menjawab ucapan siapapun. Dia terlalu capek jika harus meladeni mereka. Semuanya sibuk makan, sebelum suara Tante Sinta kembali terdengar. "Tante ada hadiah spesial untuk pernikahan kalian," Ucap Tante Sinta kepada Jordan dan Amira. Anisa yang duduk di depan tantenya mencoba untuk menulikan telinganya. Sudah biasa ini terjadi. Tantenya memang sering memberikan hadiah untuk kakaknya dan jarang sekali memberi hadiah untuknya. Tante Sinta mengeluarkan voucher liburan ke Paris untuk kedua pasangan baru yang duduk tidak jauh dari Anisa. "Ini voucher liburan ke Paris untuk bulan madu kalian. Gimana? Kalian suka atau tidak?" Tanya Tante Sinta yang langsung membuat Anisa menatapnya. Anisa rasa jika dirinya yang berada di posisi kakaknya, tantenya tidak akan memberikan hadiah untuknya seperti apa yang tantenya berikan kepada kakaknya. Untuk sekian kalinya Anisa iri atas pemberian tantenya kepada kakaknya. Tapi dia hanya diam dan tidak berkata apapun. Meski di dalam hatinya dia berteriak tidak terima. Sama-sama keponakan, tapi tantenya lebih memilih kakaknya untuk di sayang dari pada berbuat adil dengan cara menyayanginya dan kakaknya. "Wih Paris, aku ikut dong." Seru Gavin yang sepertinya mengira Bahwa kakaknya akan liburan. Anak kecil seperti dia pasti tidak tahu tentang pengantin baru. "Lain kali ya Dek, besok kakak perginya sama Kak Amira dulu." Balas Jordan dengan suara lembut. "Tapi aku mau ikut." Gavin terlihat lesu. Kemudian dia meletakkan sendok dan juga garpu yang dia pegang keatas piringnya. "Kalau kamu ikut yang ada nanti kamu ganggu mereka hanymoon." Ketus Sinta yang sepertinya tidak memperdulikan bahwa Gavin itu masih kecil. Anak seusia Gavin mana ngerti hanymoon. "Tante, jangan gitu." Tegur Amira yang dia rasa ucapan tantenya itu kelewatan. "Kak Amira janji, kalau kakak pulang dari Paris sama Kak Jordan, kakak akan kasih kamu hadiah." Ucap Amira yang sepertinya berhasil merebut hati Gavin yang sedang marah. "Hadiah apa?" Tanya Gavin sambil menatap Amira dan Jordan bergantian. "Hadiah yang buat kamu dan semua orang disini senang." Jawab Amira. Dia yakin bahwa dia akan pulang dengan kabar garis dua yang tentu saja hal itu akan membuat semua keluarganya ataupun keluarga suaminya senang, termasuk Gavin. "Oke, aku gak akan ikut kalian pergi ke Paris. Tapi kalian jangan lupa bawa hadiah yang banyak buat aku." Gavin tersenyum lebar, hal itu membuat semua orang yang berada di meja makan gemas dengan tingkahnya. Tentunya kecuali Tante Sinta. "Nyusahin," Cibir Tante Sinta dengan cukup keras. Sehingga suaranya mampu di dengar oleh semua orang yang berada di meja makan ini. Mutiara yang tidak terima putranya di bilang nyusahin oleh perempuan di depannya hendak berdiri dan memberi peritungan kepada Sinta. Tapi Rafi segera menahan tangan istrinya agar tidak terjadi pertengkaran diantara keduanya. "Biarkan saja, sabar Ma. Wataknya memang seperti itu." Ucap Rafi yang mencoba menenangkan istrinya. *** Selepas serapan tadi Anisa langsung duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Tante Sinta yang sedang ingin keluar untuk membeli keperluan mandinya yang sedang habis kembali menyindir Anisa. "Teman-teman seusia kamu itu udah pada nikah. Kamu mau jadi prawan tua gara-gara nolak laki-laki?" Tante Sinta yang entah mempunyai maksud apa tiba-tiba mengatakan hal itu. Dia berbicara kepada Anisa mengenai perempuan yang tidak laku atau prawan tua. Padahal umur Anisa baru 23 tahun. Menurut Anisa dia masih termasuk dewasa, bukan perawan tua. Memang dia sadar dia sudah tidak muda lagi, tapi prawan tua itu adalah ucapan menyakitkan yang sangat keterlaluan di ucapkan oleh tantenya untuknya. "Tante kenapa sih gak bisa ngelihat aku tenang sedikit? Mau aku jadi prawan tua atau bagaimana itu urusan aku, bukan urusan Tante. Tante urus aja anak Tante sendiri, siapa tahu dia jadi Jaka tua." Teriak Anisa yang mulai leleh karena terus terusan bertengkar dengan tantenya. Dia sudah mempunyai firasat buruk sejak mamanya mengatakan kepada dirinya kalau tantenya akan tinggal disini selama beberapa waktu setelah tantenya selesai liburan ke Bali bersama teman-teman sosialitanya. Karena rumah Tantenya sedang di renovasi. Bagi Anisa mendengar tantenya akan tinggal di rumahnya adalah bencana. Hidupnya tentu tidak akan setenang dulu. Tantenya pasti akan mengatur hidupnya dan menjadi orang paling berkuasa di rumah ini. "Kamu tuh dasar keponakan tidak tahu diri, di bilangin tantenya baik-baik malah ngebentak tantenya dan teriak-teriak. Andai kamu semalam menerima laki-laki yang mau nikahin kamu, pasti____" Ucapan Tante Sinta terhenti ketika Anisa menunjuk wajah tantenya menggunakan jarinya dengan gigi menggertak marah. "Kalau Tante suka sama lelaki tadi malam, kenapa tidak tante saja yang nikah sama dia? Kenapa harus aku yang Tante paksa nikah sama dia? Tante itu bukan ibu aku, bukan orang yang ngelahirin aku, Tante itu gak pantas ngatur hidup aku. Tante paham?!" Teriak Anisa dengan d**a naik turun. Dia sangat benci hidupnya diatur oleh seseorang. Misal dia menerima lelaki itu di hidupnya, dan terjadi sesuatu kepada rumah tangganya dengan lelaki itu, apa tantenya mau tanggung jawab? Tidakkan?! Air mata Anisa jatuh membasahi kedua pipinya. Dia sadar apa yang dia lakukan itu tidak sopan. Tapi tantenya sungguh sangat memancing emosinya. Hingga tanpa sadar dia membentak tantenya. "Maaf Tante, aku kelepasan." Ucap Anisa yang langsung keluar dari ruang tengah. Sangking seriusnya dia berantem dengan tantenya sampai dia tidak menyadari bahwa di ruang tamu ada seseorang yang menjadi topik permasalahan ini. Zidan, lelaki itu menatapnya dengan bibir tersenyum. Anisa mencoba tidak perduli dan hendak kembali ke kamarnya. Namun suara Papanya membuat dia menghentikan langkah kakinya. "Sa, ada Nak Zidan yang mau ketemu kamu. Kamu ngomong dulu gih ke dia. Papa mau ngecek restoran sama Mama." Suruh Bima yang membuat Anisa mau tidak mau langsung menghampiri Zidan.  "Papa tinggal dulu." Ucap Bima sambil berlalu. Anisa dan Zidan mengangguk. Sepeninggalnya Bima, keduanya sama-sama diam. "Ada apa nyari aku?" Tanya Anisa kepada lelaki di depannya. "Kamu ada waktu gak? Aku mau ngajak kamu beli hadiah buat Mama." Ajak Zidan yang membuat Anisa bingung apakah dia harus menolak atau menerima ajakan pergi Zidan. Dia tidak mau memberi harapan kepada Zidan jika terus merespon Zidan. "Mamaku ulang tahun. Aku tidak tahu mau ngasih hadiah dia apa." Ucap Zidan yang membuat Anisa tidak mungkin menolak ajakan pergi Zidan. Ini perihal orang tua, dia juga kadang kesulitan mencari hadiah ketika mama ataupun Papanya ulang tahun. Jadi dia sering mengajak kakaknya kerja sama untuk mencari hadiah buat kedua orang tuanya. "Tunggu disini, aku ganti baju dulu." Ucap Anisa sambil berjalan pergi menaiki anak tangga rumahnya menuju kamarnya. Zidan tersenyum, kemudian dia loncat kegirangan. "Yes, akhirnya aku bisa ngajak jalan dia." Ucap Zidan sambil tersenyum senang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD