Hanya dianggap adik

1261 Words
"Yaampun Han rasanya leherku seperti hampir patah gara-gara tidur di dalam mobil." Rani berjalan kedalam butik miliknya sambil menyeret kedua kakinya yang sulit sekali untuk dibuat jalan. Dia dan Jihan sudah menyerah untuk mencari Anisa yang sampai pagi belum juga di temukan. Jihan masih diam di depan mobil. Dia masih kepikiran dengan Anisa yang sampai sekarang belum ketemu. Tapi disaat Jihan terus memikirkan Anisa, tiba-tiba heandphone miliknya bergetar. 082345456... Jihan yang melihat nomor asing tertera di layar handphone miliknya hanya mengerutkan keningnya saja. Dia tengah pusing memikirkan keberadaan sahabatnya. Rasanya sangat malas ketika dia hendak mengangkat panggilan teleponnya. Tapi dia takut jika itu adalah claennya. "Hallo," Sapa seseorang yang menelpon Jihan. "Yaampun Sa, kamu dimana? Kenapa gak ada di bar? Aku dan Rani sampai panik nyari kamu." Jihan terlihat sangat panik ketika tidak kunjung mendengar suara Anisa kembali. "Hallo Sa, kamu masih disanakan? Ini yang nelpon aku benar kamu kan? Sa, hallo!" Kali ini Jihan tidak sedang bercanda. Dia benar-benar sangat panik ketika tidak kunjung mendengar suara Anisa. Pagi ini Anisa segera menelpon Jihan ketika melihat ada telepon rumah di kamar apartemen Jordan. "Iya, ini aku Han. Semalam kepalaku pusing, makanya aku cari hotel terdekat. Tadinya aku mau nelpon kamu, tapi heandphoneku ada di tas, jadi aku pakai telepon hotel. Maaf sudah membuat kamu dan Rani khawatir." Anisa merasa bersalah kepada Rani dan Jihan karena dia sudah membuat kedua sahabatnya itu panik. Dia tidak mungkin mengatakan kepada Jihan ataupun Rani kalau dia sekarang tengah berada di apartemen Jordan. Bisa-bisa Jihan dan Rani datang ke apartemen Jordan dan mengintrogasinya dengan macam-macam pertanyaan. "Syukurlah, gak apa-apa Sa. Yaudah aku mandi dulu, lengket semua badanku." Balas Jihan sambil menghela nafas lega. Dia lega karena Anisa ternyata tidak kenapa-kenapa. "Iya, Han. Aku tutup teleponnya, aku juga mau mandi." Setelah sambungan telepon tertutup, Jihan segera berjalan masuk kedalam butik untuk menyusul Rani yang sedang tiduran di sofa pengunjung. Bisa-bisanya perempuan itu tidak mandi dulu melainkan langsung tidur. "Ran, Ran, bukannya mandi dulu malah tidur dulu." Jihan menggelengkan kepalanya pelan ketika melihat Rani tidur di sofa pengunjung. *** Tidak jauh beda dari Rani dan Jihan, tubuh Anisa juga lengket. Dia ingin mandi, tapi dia tidak mempunyai baju ganti. "Sa, udah bangun belum? Baju ganti kamu aku taruh di depan pintu." Anisa yang semula tengah memikirkan pakaian gantinya langsung tersentak kaget ketika mendengar suara Jordan dari luar pintu kamarnya. Lelaki itu sangat baik. Dia menolongnya dari lelaki berhidung belang yang hampir memperkosanya, lalu Jordan membawanya ke apartemennya untuk membiarkan dirinya bermalam disini. Dan terakhir Jordan memberikan dirinya pakaian ganti. Entah Jordan dapat pakaian itu dari mana, dirinya sendiri tidak tahu. "Iy_iya." Jawab Anisa gugup.  Memangnya siapa perempuan yang tidak gugup ketika dia di perhatikan oleh laki-laki yang perempuan itu cintai sedari dulu! "Andai dia memang benar-benar milikku." Ucap Anisa sambil membuka pintu kamarnya. Anisa mengambil tas belanjaan yang berisi baju pemberian Jordan. Tidak perlu waktu lama untuk Anisa bersih-bersih, hanya butuh waktu 15 menit dia sudah selesai mandi, berpakaian, dan juga___ "Laper," Lirih Anisa sambil berjalan keluar dari kamarnya. Anisa mencium bau masakan yang berasal dari dapur. Apartemen Jordan memang sangat luas dan juga mewah. Wajar saja jika Jordan sangat kaya, karena keluarga Mahendra memiliki aset perusahaan di bidang kuliner yang tidak bisa di remehkan. Terlebih sebelum adanya Gavin, Jordan menjadi anak satu-satunya di keluarga kaya raya itu. "Aku tahu kamu lapar. Karena orang yang habis minum biasanya tenaganya terkuras." Jordan memberikan Supit kepada Anisa. Dia tersenyum kepada Anisa yang hanya menunduk sambil menatap spageti. "Apa makanan itu lebih tampan dariku?" Tanya Jordan sambil menaik turunkan kedua alisnya secara bergantian. Anisa terkejut dengan ucapan Jordan. Dia tidak menyangka Jordan si dingin itu bisa bercanda seperti itu. "Sebentar lagi aku akan menikah dengan Amira, jadi kamu harus terbiasa dengan kehadiranku sebagai kakakmu. Kamu tidak punya kakak laki-lakikan? Sekarang kamu boleh menganggapku sebagai kakak laki-laki." Jordan mulai memakan spageti buatannya. Dia juga sangat lapar karena semalam tenaganya habis gara-gara berantem sama orang.  Anisa yang mendengar ucapan Jordan sontak langsung berhenti mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya. Entah kenapa ucapan Jordan kali ini sangat menyakitkan untuk dirinya dengar. Menurutnya ucapan Jordan kali ini lebih sakit dari pada ketika dirinya semalam di tampar oleh laki-laki yang hampir saja memperkosanya. "Kalian akan menikah kapan?" Anisa memang tidak tahu tentang tanggal pernikahan kakaknya. Karena tanggal pernikahan mereka itu sudah ditentukan oleh kedua pihak keluarga mereka sejak Jordan beserta keluarganya datang ke rumahnya untuk makan malam. dan Saat itu dirinya tidak ikut makan malam bersama karena pergi berpura-pura mengantar telepon Jihan. "1 Minggu lagi. Karena aku dan juga Amira sepakat untuk tidak menunda pernikahan kita karena umur kita ya memang sudah dewasa. Kau sendiri, kapan ingin mengenalkan kekasihmu ke keluargamu ?" Kali ini kedua mata Jordan memang terfokus menatap kearah Anisa yang hanya diam ketika mendengar pertanyaan Jordan mengenai kapan perempuan itu akan mengenalkan kekasihnya ke rumah. Jordan yang tidak kunjung mendengar jawaban dari Anisa langsung meruntuki kebodohannya. Tidak semua orang memang memiliki kekasih. Untuk kali ini Jordan benar-benar menyesali pertanyaannya. "Lupakanlah saja, mari kita lanjutkan makan. Aku tahu kamu pasti kaget karena mendengar aku yang tiba-tiba cerewet. Sebelumnya aku memang tidak mau berbicara kepada orang asing. Tapi berhubung sebentar lagi kita akan menjadi keluarga, jadi aku ingin memulai menjalin hubungan baik dengan calon adik iparku sendiri." Jordan mengulurkan tangannya kepada Anisa sambil tersenyum tipis. Bahkan Jordan sendiri saja bingung kenapa dirinya bisa begitu sangat murah senyum kepada perempuan yang tidak terlalu dirinya kenal. Karena Anisa dan dirinya itu hanya sebatas kakak dan juga adik tingkat semasa kuliah dulu. Hati Anisa seperti di tikam berkali-kali ketika mendengar pengakuan Jordan. Ternyata lelaki itu berbuat ramah kepadanya karena dirinya adalah adik dari Amira yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Anisa pikir Jordan itu benar-benar baik kepadanya. Tapi ternyata pikirannya itu salah. Ternyata rasanya seperti ini. Di buat terbang tinggi tapi di jatuhkan kembali. *** Anisa berjalan mengendap-endap masuk kedalam rumahnya. Tadi Jordan mengantarkannya sampai ke depan komplek rumahnya. Karena Jordan takut ketahuan kakaknya dan membuat kakaknya berfikir yang tidak-tidak mengenai dirinya dan juga Jordan. "Sa," Panggil Rahma, mama Anisa dari belakang tubuh Anisa. Anisa meringis pelan. Mati dia jika sampai mamanya itu memergoki dirinya dengan wajah lebam-lebam. "Anisa, mama panggil kok tidak kamu sahuti? Kata Jihan semalam kamu tidur di rumahnya, benar?" Tanya Rahma sambil berjalan menghampiri Anisa. Anisa tersentak kaget ketika mamanya memegang pundak kirinya. "Aku harus ngomong apa sama Mama kalau dia tanya kenapa wajahku lebam-lebam seperti ini?" Batin Anisa sambil meremas bawah bajunya takut.  Dia tidak seperti kakaknya yang pintar mencari alasan dan berbohong. "Anisa, mama itu tanya sama kamu. Apa tadi malam kamu tidur____" Rahma segera membekap mulutnya dan sepertinya dia sangat shock ketika dia berhasil membalikkan badan Anisa dengan paksa. Anisa memejamkan kedua matanya erat. Tamatlah riwayatnya kali ini. Siap-siap siang ini dia di interogasi oleh sang Mama. "Astaghfirullah Sa, wajah kamu kenapa? Pa, papah..." Teriak Rahma panik. Bahkan dia sampai menjatuhkan belanjaannya ketika melihat wajah memar-memar anaknya. "Darimana saja kamu semalam? Ini kenapa? Mama gak percaya kalau kamu tidur di rumah Jihan terus pulang lebam-lebam begini. Ngaku kamu sama Mama, kamu kenapa? Siapa yang ngelakuin ini sama kamu?" Tanya Rahma sambil memegang pipi Anisa dengan lembut. Dia sangat panik melihat wajah menakutkan Anisa. "Pah, papa, sini Pa!" Teriak Rahma histeris. "Kenapa sih Ma teriak-teriak siang-siang begini. Malu dilihat tetangga." Ucap Bima dari arah samping rumahnya. Anisa melirik papanya, sepertinya papanya habis berkebun. "Lihat ini anak Papa, astaghfirullah Pa." Rahma memutar tubuh Anisa dengan paksa kearah Bima. Bima sampai memegang dadanya karena sangar terkejut ketika melihat wajah Lebam putrinya. Sedangkan Anisa hanya pasrah ketika mendapat tatapan khawatir dari kedua orang tuanya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD