Kecurigaan Amira

1126 Words
Hal yang paling Anisa benci dari hidupnya adalah dirinya duduk di ruang keluarga sambil di temani kedua orang tuanya dengan kasus yang siap membuat dirinya diberi ceramah seharian. Andaikan kakaknya tidak mendiamkannya Mungkin dia akan menelepon kakaknya dan meminta tolong kepada kakaknya untuk menolong dirinya dari ceramahan kedua orang tuanya. karena hanya kakaknya yang bisa membantunya untuk menghindar dari amukan serta kemarahan kedua orang tuanya. "Kenapa wajah kamu bisa begitu?" Bima tengah mengintrogasi anaknya dengan wajah yang sangat datar. Anisa menghela nafas panjang. Semoga alasannya kali ini bisa di terima oleh Papanya tanpa Papanya itu bertanya lebih darinya. "Jadi ketika aku tadi malam ingin pergi ke minimarket untuk membeli makanan buat dijadikan cemilan di rumahnya Jihan, tiba-tiba ada jambret yang ingin mengambil tasku. Tentu saja aku berusaha mempertahankan tasku yang ingin di jambret oleh dua orang lelaki yang tidak aku kenal. Karena di dalam tasku terdapat barang-barang penting seperti ATM, dompet, SIM, dan juga barang-barang berharga lainnya. Aku mencoba melawan jambret itu. Tapi kedua jambret itu menamparku dan mendorong tubuhku sangat keras hingga aku jatuh ke aspal. Tapi aku tidak menyerah begitu saja. Aku terus saja menarik tasku hingga aku luka luka seperti ini. Bahkan kedua jambret itu sempat menggoreskan kukunya di pergelangan tanganku."  Kali ini Anisa benar-benar sangat berharap kedua orang tuanya percaya dengan ceritanya. Dia tidak pintar mengarang cerita seperti kakaknya. Jadi dia mencoba untuk berbohong kepada kedua orang tuanya dengan kemampuan yang tidak seberapa. "Apa setelah itu kamu merasa kalau kamu itu jagoan?" Bima sama sekali tidak merubah ekspresi datarannya kepada anaknya. Hal itu membuat jantung Anisa berdetak kencang. Dia takut Papanya tidak percaya dengan alasannya tersebut. "Seharusnya kamu itu melepaskan tasmu dan membiarkan kedua jambret itu mengambil semua barang-barangmu. Bagaimana jika tadi malam kamu terluka? Kamu itu perempuan Sa, Papa sama Mama takut kalau kamu kenapa-napa." Bima mencoba menasehati anaknya. Kali ini dia menasehati Anisa dengan suara lembut dan ekspresi khawatir. Dia tidak lagi menatap putri keduanya itu dengan ekspresi datar seperti sebelumnya. Anisa sedikit tersenyum, setidaknya papanya itu tidak lagi menatapnya dengan wajah datar melainkan dengan wajah khawatir. Meski begitu hal itu tidak merubah apapun karena papanya tetap saja menceramahi dirinya. "Aku tidak bisa membiarkan barang-barang berhargaku hilang, Pa. Karena itu aku takut pulang ke rumah, sehingga aku memilih menginapnya di rumah Jihan bersama Rani." Anisa berdiri dari sofa single di ruang keluarga atau ruang tengah ini dan duduk di lantai sambil memeluk kaki kedua orang tuanya. Untuk pertama kalinya dia berbohong tentang hal sebesar ini kepada kedua orang tuanya. "Seharusnya kamu mengabari orang rumah kalau kamu itu ingin menginap di rumah Jihan. Papa, Mama, dan Kakak kamu itu sangat khawatir dengan keadaan kamu ketika kami tidak melihat kamu pulang padahal sudah tengah malam." Kini Rahma berbicara dengan sangat lembut kepada Anisa. Dia mengusap rambut Anisa dengan sayang. Tadi dia membentak Anisa karena dia sangat terkejut ketika melihat wajah lebam-lebam anaknya. Sebagai seorang ibu tentu saja Rahma shock melihat anaknya yang berangkat kerja dengan keadaan baik-baik saja tiba-tiba pulang dengan penuh lebam. "Mama takut kalau luka kamu itu bisa infeksi. Bagaimana jika sore ini kita pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan lukamu itu? Bagaimanapun kamu seorang perempuan, Mama tidak mau kamu di omongin orang gara-gara wajah kamu penuh dengan lebam." Sebagai naluri seseorang ibu Rahma sama sekali tidak mau jika anaknya itu sampai di jadikan bahan perbincangan ibu-ibu gosip gara-gara wajahnya yang membengkak biru. "Tidak usahlah, Ma. Aku mau istirahat aja ke kamar." Anisa segera pergi dari hadapan kedua orang tuanya. Badannya remuk, dia ingin tidur. "Aku kok agak gak percaya dengan alasan Anisa ya, Ma. Anak itu benar-benar, perempuan tapi kelakuannya kayak laki-laki." Ucap Bima yang tidak Rahma tanggapi. Rahma sedang memikirkan luka anaknya yang membengkak biru. *** Amira terus saja melamun di dapur restorannya sehingga membuat ikan gurame yang dia masak gosong. Amira terus saja memikirkan tentang heandphone Jordan yang tidak bisa dia hubungi sejak semalam . Hal yang bikin Amira resah adalah malam itu adiknya juga tidak ada di rumah. Amira segera menggelengkan kepalanya. Dia segera membuang jauh-jauh pikirannya tentang adiknya yang selingkuh dengan Jordan. Bukan karena apa-apa, dulu saat hari tunangannya Papa Jordan salah menyebut namanya melainkan nama adiknya. "Yaallah Mbak, kenapa bisa begini? Bagaimana jika dapur kebakaran gara-gara kecerobohan Mbak?" Orang kepercayaan Amira datang menghampiri Amira. Dia terkejut ketika melihat dapur berantakan dan ikan yang sudah gosong. "Mbak Amira kenapa?" Tanya orang kepercayaan Amira setelah mematikan kompor di depannya. "Gak apa-apa." Jawab Amira sambil memberikan senyuman palsunya. Dia tidak mungkin mengatakan orang kepercayaannya tentang dia yang mencurigai adik serta kekasihnya bermain belakang ketika dirinya tidak ada. Amira sudah mencoba membuang pikiran negatifnya jauh-jauh. Tapi semenjak dia melihat calon Papa mertuanya salah menyebut namanya melainkan nama adiknya, serta Gavin yang memeluk Anisa dengan erat, hal itu memicu Amira untuk terus mencurigai Anisa ada apa-apa di belakangnya dengan Jordan. "Lebih baik Mbak Amira duduk dulu, biar saya yang masak." Suruh orang kepercayaan Amira ketika melihat wajah pucat Amira. "Serius? Pelanggan banyak loh, memangnya kamu bisa menghandle dapur sendiri?" Bukan Amira tidak percaya kepada orang kepercayaannya. Hanya saja dia sudah biasa menghandle dapur bersama orang kepercayaannya. Sehingga rasanya Amira sulit percaya jika yang menghandle dapurnya itu hanya orang kepercayaannya saja dan dia malah enak-enakan duduk. "Tenang, saya janji gak akan ngecewain Mbak Amira." Jawab orang kepercayaan Amira dengan wajah meyakinkan. "Baiklah, saya ke ruangan saya dulu." Ucap Amira yang langsung pergi dari dapur. Amira tidak tahu lagi kenapa dia bisa berpikiran negatif seperti ini. Sejak dirinya punya pikiran negatif seperti ini dia jadi sedikit membenci adiknya dan jarang sekali mengobrol dengan adiknya.  "Yaallah, harusnya Aku tidak boleh memiliki fikiran seperti ini. Aku tahu bahwa Anisa tidak mungkin tega untuk mengambil seseorang yang sudah menjadi milik kakaknya sendiri. Kenapa aku jadi seuzon seperti ini kepada adik dan juga calon suamiku sendiri." Amira mengusap wajahnya kasar. Dia benar-benar bingung harus bagaimana. Dia sangat sulit menyikapi dirinya sendiri. Sedangkan di apartemennya, Jordan memegang kemeja yang semalam Anisa kenakan. "Kenapa aku bisa mudahnya membawa dia pergi ke apartemenku? apalagi aku membiarkan dia menginap di kamarku yang sifatnya memang sangat pribadi. Bahkan Amira saja tidak pernah aku perbolehkan untuk masuk ke dalam kamarku." Jordan tidak habis pikir dengan dirinya sendiri yang tiba-tiba berubah begitu sangat baik kepada Anisa yang sebelumnya hanya adik tingkatnya saja. "Aku merasa ada yang salah pada diriku. Karena aku tiba-tiba baik dan juga ramah kepadanya. Seharusnya aku tidak melakukan ini karena dia adalah adik dari calon istriku sendiri." Tambah Jordan. Dia menjambak rambutnya sendiri karena terlalu bingung tentang sikapnya yang terlalu baik kepada Anisa. "Arggg..., Kenapa dengan aku ini?" Teriak Jordan dengan emosi. Dia harap kebaikannya ini tidak memicu dalam hal negatif. "Aku tidak boleh menyukainya. Ingat Jor, dia Anisa adik Amira." Ucap Jordan pada dirinya sendiri dengan wajah marah. Karena kebaikannya kepada Anisa itu aneh. Itu seperti bukan sifatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD