Anisa tengah berada di apartemen milik Jordan. Jordan tidak tahu lagi harus membawa adik tunangannya kemana, Karena dia tidak mungkin membawa Anisa pulang ke rumahnya. Kedua orang tuanya sedang berada di rumah, pasti kedua orang tuanya akan bertanya banyak hal kepada dirinya mengenai apa yang terjadi kepada Anisa dan dirinya. Karena meski dirinya tidak terlalu mempunyai luka separah Anisa, setidaknya wajahnya juga penuh dengan lebam-lebam.
"Kamu perempuan, tidak seharusnya kamu berpakaian seperti itu." Jordan tengah mengompres wajah sudut bibir dan pipi Anisa yang terluka karena tamparan Zidan. Sekarang Anisa tengah tidur di Kamarnya dan memakai kemeja miliknya yang kebesaran. Setidaknya itu jauh lebih baik dari pada baju Anisa tadi.
Anisa hanya diam, dia tahu tentang kesalahannya. Mau membela diri seperti apa itu tidak akan bisa.
"Aku lebih suka melihatmu ketika kuliah dulu, polos dan tidak banyak tingkah. Jangan seperti ini, ini bisa membahayakan dirimu sendiri." Jordan memberikan obat merah pada pergelangan tangan Anisa yang terluka seperti goresan kuku panjang.
"Kamu bilang kamu menyukai sikapku ketika kuliah dulu, tapi tidak pernah sekalipun kamu melirikku." Ucap Anisa di dalam hati. Dia tidak mungkin berkata seperti itu kepada calon kakak iparnya sendiri.
"Selesai, sekarang tidurlah. Jangan pikirkan kejadian tadi, pejamkan matamu dan anggap tadi hanyalah mimpi." Jordan kembali berbicara dan mengusap rambut Anisa. Entah kenapa dia perduli kepada perempuan di depannya, apa karena Anisa itu calon adik iparnya? Karena sebelumnya dia tidak terlalu suka berinteraksi kepada perempuan lain hingga sedekat ini kecuali dengan Amira, kekasihnya.
Anisa mengangguk. Setelah dia mencoba memejamkan kedua matanya, tubuhnya tersentak ketika merasakan Jordan menaikkan selimutnya.
Ketika Anisa merasakan Jordan sudah pergi dari kamarnya, segera dia bangun dari posisi tidurnya. Tubuhnya remuk gara-gara kejadian malam ini. Anisa hendak mengabari kedua temannya kalau dia itu sedang berada di apartemen seseorang, setidaknya kedua temannya itu tidak cemas ketika mencarinya yang ternyata sudah tidak ada di bar. Meski Anisa tidak akan menyebutkan bahwa dia bersama Jordan, cukup dia saja yang tahu keberadaannya sekarang, kedua temannya jangan.
Anisa menepuk keningnya lupa. Tasnya masih berada di depan meja bartender bersama dengan Rani.
"Ah, sudahlah. Mereka pasti mengira aku sudah pulang kalau aku tidak ada di bar." Ucap Anisa yang kembali tidur dan mematikan lampu kamarnya.
Dilain tempat Jihan dan Rani tengah saling salah menyalahkan ketika hampir 2 jam mereka mencari sahabatnya itu tetapi sahabatnya masih tidak ketemu. Bahkan Tas milik Anisa saja ada pada Rani.
"Dasar bodoh, kenapa kamu malah ikut berjoget bersamaku? Bukankan aku sudah mengatakan kalau kamu duduk saja dengan dia sambil minum di meja bartender." Jihan memukul lengan Rani kesal. Rani bilang dia tidak mau berjoget bersama orang-orang di bar ini karena dia ingin minum saja. Tetapi temannya itu malah ikut berjoget bersama pria tampan di belakangnya.
Sekarang Anisa hilang, bagaimana dia harus mencari perempuan itu?
"Aku sudah tidak melihat Anisa ketika aku ikut berjoget di belakangmu. Aku dengar dia tadi ijin ke toilet, tapi sampai sekarang dia tidak kembali." Rani membela diri. Memang kenyataannya ini tidak sepenuhnya salahnya. Masa iya dia harus mengikuti Anisa sampai ke toilet!
Drett!!
Jihan menatap Rani, "Dering heandphoneku tidak seperti itu." Ucap Jihan sebelum Rani menyuruhnya mengangkat telepon.
"Dering heandphoneku juga tidak seperti itu." Tambah Rani yang membuat mereka berdua seketika panik. Kalau bukan dering heandphone dari mereka berdua, lalu dering heandphone dari siapa?
Papa calling!
"Mati aku!" Umpat Rani sambil menatap wajah Jihan.
"Kita keluar dulu dari bar ini, kalau sampai Om Bima tahu kita mengajak Anisa ke bar, tamat riwayat kita." Jihan segera menarik tangan Rani menuju parkiran. Meski jalan mereka sedikit sempoyongan, setidaknya mereka masih ingat dimana mereka memarkiran mobil.
"Angkat atau tidak?" Tanya Rani panik. Jihan segera mengambil heandphone Anisa dari tangan Rani dan menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya, pertanda Rani harus diam.
"Hallo, Om. Ini Jihan," Ucap Jihan sambil menyapa Papa Anisa.
"Hallo Han, Anisa mana? Kenapa kamu yang ngangkat teleponnya?" Tanya Bima yang sepertinya sedang panik.
Jihan segera memutar otaknya agar bisa mencari alasan yang logis untuk membuat papa dari sahabatnya tidak curiga kenapa anaknya sampai tengah malam belum juga pulang ke rumah.
"Aduh Om, maaf. Anisanya sudah tidur sama Rani. Mereka lagi nginep di rumah saya. Apa Om mau saya bangunkan Anisa?" Tanya Jihan dengan jantung berdetak kencang. Dia berharap kalau Papa dari sahabatnya itu percaya bahwa Anisa memang sedang tidur di rumahnya.
Rani menendang kaki Jihan. "g****k, kalau Om Bima minta di bangunkan Anisa bagaimana?" Tanya Rani dengan suara berbisik. Jihan kembali meletakkan jari telunjuknya ke bibirnya seakan mengisaratkan Rani untuk diam.
"Tidak usah, Nak. Dia pasti kecapean karena abis kerja seharian di butik. Besok kalau Anisa bangun bilang aja kalau semalam Om telepon. Om khawatir anak Om kok tengah malam belum pulang. Om pikir ada apa-apa di jalan. Yasudah, Om matikan teleponnya, selamat malam."
Jihan bersandar di samping mobilnya sambil menghela nafas lega. Untung saja Papa Anisa tidak terlalu banyak tanya kepadanya.
"Apa mungkin Anisa sudah pulang lebih dulu?" Tanya Rani kepada Jihan.
"Gak mungkin, kalau Anisa sudah pulang lebih dulu papanya tidak akan telepon dia dan cemas seperti itu. Apalagi dia gak bawa mobil, dia kan berangkat bareng kita. Pasti ada yang tidak beres." Jihan yang merasakan pusing di kepalanya akibat terlalu banyak minum alkohol langsung menggelengkan kepalanya pelan. Dia tidak boleh lemah, Anisa belum ketemu. Prinsipnya jika pergi ke bar bertiga pulang juga harus bertiga. Dia tidak akan pulang kalau hanya berdua dengan Rani. Bagaimana kalau Anisa berada dalam bahaya?
"Kita sudah memeriksa satu persatu kamar diatas. Kita juga sudah memeriksa toilet cewek ataupun cowok. Kita juga udah mencari dia di dalam. Lalu dimana sebenarnya dia berada?" Rani memijat keningnya sendiri. Kepalanya pusing memikirkan Anisa yang mendadak menghilang seperti ini.
"Kita tunggu aja dia di dalam mobil. Kita jangan meninggalkan dia pulang. Mungkin dia ada di dalam tapi kita tidak melihatnya karena kita mabuk. Jadi apa yang kita lihat itu tidak jelas." Jihan membuka pintu depan mobilnya. Dia menyenderkan punggungnya ke kursi kemudi mobilnya. Pikirannya entah tengah terbang kemana, Anisa tidak seperti dirinya dan Rani yang memiliki sikap bar-bar. Senakal-nakalnya Anisa, Anisa tidak mungkin aneh-aneh di dalam.
"Aduh Han, aku gak bisa tenang kalau Anisa belum ketemu." Ucap Rani panik. Dia takut terjadi apa-apa dengan Anisa.
Sedangkan Zidan yang datang ke kamarnya tadi dan hendak membunuh Jordan merasa kesal karena dia sudah tidak melihat Jordan berada di kamarnya.
"b******k, bisa-bisanya dia membawa kabur mengsaku. Seharusnya jika dia ingin menikmati tubuhnya juga, aku bisa membaginya dengannya. b******n! Arrgg..." Zidan marah dan melempar pisaunya ke lantai. Hal itu menimbulkan suara berisik.
Zidan mengunci Kamarnya, dia tidak memperdulikan kedua perempuan yang terus mengetuk pintu kamarnya dan berteriak memanggil nama Anisa. Anisa? Anisa siapa yang mereka maksud?
"b******n memang lelaki itu!" Zidan terus memaki Jordan. Meski dia tidak kenal dan tidak tahu siapa orang yang ikut campur dalam urusannya.
"Awas aja kalau sampai aku tahu siapa lelaki itu, aku tidak akan memberinya ampun." Zidan mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Seakan menyimpan dendam kepada lelaki yang membawa kabur mangsanya.