Setelah makan bersama tadi malam, pagi yang seharusnya indah menjadi kelabu. Tidak ada sapaan selamat pagi dari kakaknya atau mungkin senyuman hangat yang sering kakaknya berikan kepada dirinya.
Pagi ini Anisa terus melamun di butiknya, hal itu membuat Jihan dan Rani kesal ketika melihat Anisa.
"Apa kamu datang ke butik ini untuk melamun, Sa?" Tanya Jihan sambil memegang kain yang akan dia jahit. Anisa menatap wajah Jihan lesu. Dia tidak berniat menanggapi sindiran Jihan kepadanya.
"Ceritalah Sa, apa calon kakak iparmu itu sangat tampan sehingga membuatmu terus memikirkannya dan kebawa ke butik ini!" Rani yang memang mempunyai bibir seperti lambe turah itu mendekat kepada Anisa sambil menaik turunkan kedua alisnya bergantian.
Jihan yang melihat kelakuan Rani memutar kedua bola matanya Malas. "berhentilah mengarang cerita." Jihan menyentil kening Rani.
"Malam ini aku berniat mentraktir kalian makan." Jihan berteriak sambil memutar-mutarkan badannya gembira. Bahkan perempuan yang memiliki paras cantik itu bersiul dan semakin melebarkan senyumannya.
"Tumben lagi tanggal tua waktunya orang-orang mencari hutang kamu mau neraktir kita berdua makan. Uang dari mana, Han?" Jihan yang mendengar nada curiga dari teman satu profesinya itu segera melemparkan bolpoin yang ada di depannya kearah Rani. Tapi sayang, bolpoin itu malah meleset mengenai Anisa. Anisa langsung terkesiap dan sontak berdiri.
"Maaf, Kak." Seru Anisa spontan. Anisa tidak bisa di diami oleh kakaknya seperti ini. Dia tidak bisa tidur dan tinggal dengan orang yang tidak mau melihatnya dan berbicara kepadanya. Kakaknya selalu saja menganggapnya makhluk tak kasat mata sejak kejadian tadi malam.
Anisa membenci keadaan seperti ini. Orang yang seharusnya dia jadikan tempat ternyaman untuk berbagi cerita karena umur mereka yang selisih tak jauh malah bertunangan dengan lelaki yang dia sukai sejak kuliah. Anisa tidak mempermasalahkan hal itu, dia tahu perihal jodoh tidak ada yang tahu.
Jihan dan Rani yang mendengar teriakan Anisa langsung saling tatap panik.
"Kamu gak apa-apa, Sa? Kamu ada masalah sama Kak Amira? Coba sini cerita sama aku." Jihan berjalan menghampiri Anisa yang kini mengusap wajahnya dengan kasar. Sedangkan Rani malah sibuk mengusap dadanya karena kaget.
"Alhamdulillah jantungku aman." Ucap Rani yang tidak di perdulikan oleh Jihan.
Anisa meremas tangannya sendiri. Tidak mungkin dia mengatakan kepada kedua sahabatnya mengenai tunangan kakaknya. Mereka berdua pasti akan shock ketika mengetahui bahwa lelaki yang sangat dia kagumi dari dulu sebentar lagi akan menjadi suami kakaknya.
"Pagi ini aku menyemburkan s**u di kemeja Kak Amira karena lidahku tidak kuat panas, jadi aku merasa bersalah sama dia. Gara-gara aku dia harus ganti baju lagi." Dusta Anisa. Jihan mencoba mencari tahu kebohongan dari iris mata sahabatnya, tapi dia tidak menemukannya.
"Ah, itu mah masalah sepele, Sa. Kak Amira pasti tahu kalau kamu itu gak sengaja menyemburkan s**u ke kemejanya." Rani mencolek lengan Anisa sambil tersenyum penuh arti ke arah Jihan.
"Kau ingin mentraktir kita makan dimana? Aku gak mau ya Han udah dandan cakep cakep ujung-ujungnya beli nasi kucing di angkringan yang harganya tiga ribuan. Trauma aku." Rani menatap Jihan meminta kepastian dimana sahabatnya itu ingin mentraktir dirinya dan Rani makan malam. Karena Jihan itu orangnya hobi banget makan di angkringan.
"Aku bukan para mantanmu yang modal ngomong doang tapi dompet tipis. Kita ke caffe lah. Lumayan, abis dapat transferan dari Mama." Jihan tersenyum sambil merangkul pundak Rani.
Anisa membiarkan kedua temannya mengobrol tentang caffe mana yang akan mereka kunjungi nanti malam, dia tidak berminat gabung dalam pembicaraan itu.
"Asal bukan restoran depan butik kita aja sih." Ucap Jihan sambil menatap restoran yang bertempat di depan butiknya dengan sinis.
"Iya, gak peka banget sama perasaan orang." Balas Rani ikutan sinis seperti Jihan.
"Udahlah, pagi-pagi ngomongin orang. Ayo kerja," Suruh Anisa yang tidak mau mendengar mereka membicarakan Jordan kembali.
***
Setiap orang mempunyai kenangan yang bisa membuatnya tersenyum ataupun menangis. Setiap air mata yang keluar adalah suatu kelegaan di hati. Karena Anisa membenci sesak di dadanya ketika dia menahan tangis.
"Mau sampai kapan terus berdiri di depan kaca sambil menatap Jordan?" Tanya Jihan ketika melihat Anisa berdiri di dinding kaca butiknya sambil memegang gaun pengantin milik claennya.
"Mereka berdua sudah menunggumu," Jihan menepuk pundak Anisa dan pergi meninggalkan Anisa sendiri.
Anisa berjalan menghampiri calon pengantin yang pesan kebaya di butiknya. Terlihat sekali senyum bahagia terukir di bibir mereka berdua.
"Terimakasih sudah mempercayakan kami sebagai perancang gaun pernikahan kalian." Ucap Anisa yang di balas mereka dengan anggukkan kepala.
Anisa terus menatap kepergian mereka. Seakan sedih ketika hampir semua orang di dunia ini bisa mendapatkan kebahagian tetapi dirinya tidak.
"Kamu boleh mencintai Jordan. Tapi ingat, penyelam handal saja mempunyai batasan menyelam di kedalaman air. Jadi kamu harus bisa mengerti, bahwa setiap tindakan itu harus ada batasannya, termasuk mencintai dia yang belum tentu bisa untuk membalas mencintaimu." Jihan memang selalu menasehati Anisa dan juga Rani tentang mencintai lelaki. Biarkan dia merasakan luka sendiri, kedua sahabatnya jangan.
"Semakin kamu memperlihatkan cintamu kepada lelaki, semakin tinggi kepercayaan diri lelaki untuk menyiksamu dengan tidak membalas cintamu. Kamu perempuan, tidak seharusnya kamu mencintai lelaki lebih dulu. Karena kodratnya perempuan itu menunggu, bukan mencari." Tak pernah sekalipun Jihan mempunyai pikiran ataupun niatan buruk dalam menasehati sahabatnya.
"Jangan terus memikirkan dia, karena belum tentu dia juga memikirkan kamu." Tambah Jihan yang kasihan kepada Anisa. Anisa terus memikirkan Jordan, tetapi lelaki itu tidak sama sekali memperdulikan perasaan Anisa.
Anisa melihat kearah Jihan sambil tersenyum. "Aku tidak memikirkannya." Jawab Anisa sambil berjalan meninggalkan Jihan.
"Tidak memikirkannya tapi terus berharap memilikinya. Bibirmu bisa berbohong, tapi matamu tidak bisa." Setelah mengatakan itu Jihan kembali menghampiri Anisa. Tapi sebelum dia kembali mengatakan sesuatu, suara cempreng Rani membuat mereka menoleh kearah sumber suara itu.
"Hallo teman-temanku yang cantik. Bagaimana jika malam ini kita ke bar saja? Hari ini temanku mengatakan kalau di bar yang tidak jauh dari butik kita sedang diskon karena ada salah satu orang yang berulang tahun yang sedang merayakan ulang tahunnya disana." Rani mengibas-ngibaskan rambutnya kebelakang. Kemudian dia tersenyum kepada Jihan dan Anisa. Rani menaik turunkan kedua alisnya bergantian di depan Jihan dan Anisa.
"Bagaimana? Setuju kan? Ayolah guys, kapan lagi kita bisa nikmati hidup kayak waktu kuliah dulu." Rani menggoyangkan kedua lengan Jihan yang hanya menatapnya saja. Sedangkan Anisa hanya diam tidak berminat membalas ucapan Rani.
"Aku tahu kalian pasti stess gara-gara kerjaan. Makanya aku mau ngajak kalian untuk bersenang-senang." Bukan Rani namanya kalau menyerah begitu saja. Kedua temannya harus ikut dirinya bersenang-senang. Dia tidak mau pergi tanpa kedua temannya.
Jihan menatap wajah Anisa. Sepertinya yang di katakan Rani ada benarnya juga. Dia itu butuh menyegarkan otaknya dengan pergi ke suatu tempat. Terlebih Anisa, Anisa butuh pergi ke tempat rame seperti itu untuk membuatnya tidak terus-terusan memikirkan lelaki b******n seperti Jordan.
"Baiklah, aku dan Anisa akan pergi bersamamu malam ini ke bar." Jawab Jihan sambil tersenyum sumringah. Dia merangkul pundak Anisa yang sepertinya tidak setuju dengan ide Rani dan Jihan.
"Aku gak mau pergi ke bar. Aku mau pulang, capek." Tolak Anisa yang di beri gelengan kepala oleh Jihan dan Rani.
"Tidak bisa, dimana ada aku dan Rani, kamu juga harus ada. Iya gak, Ran?" Jihan mengedipkan satu matanya kearah Rani.
"Tentu saja. Kita tidak akan pergi bersenang-senang tanpamu. Bagaimana? Kau harus ikut. Lagi pula tidak setiap hari 'kan kita pergi ke bar? Ayolah, kita butuh hiburan." Rani yang pintar sekali merayu orang itu mendorong Jihan yang sedang merangkul pundak Anisa. Kini gantian Rani yang merangkul pundak Anisa.
"Mata kita juga butuh yang segar-segar. Kita bisa cuci mata disana. Melihat orang ganteng, meminta telepon mereka, dan kalau beruntung kita bisa pulang sambil membawa salah satu dari mereka untuk diajak hidup bersama. Lagi pula dari pada kamu galau memikirkan Jordan yang gantengnya tidak seberapa itu, lebih baik kamu pergi saja bersenang-senang bersamaku dan Jihan. Kita akan mencarikan kamu selusin lelaki yang jauh lebih tampan dari pada si Jordan itu." Ucap Rani yang di beri anggukan cepat oleh Jihan.
"Betul, kamu harus lihat bahwa lelaki tampan di dunia ini banyak, bukan hanya Jordan saja." Tambah Jihan yang membuat Anisa menghela nafas kasar.
"Aku akan ikut kalian pergi ke bar malam ini. Tapi kalian tidak perlu mencarikan aku selusin lelaki, cari saja satu lelaki untuk kalian ajak hidup bersama. Bukankan kalian juga masih sendiri?" Sontak ucapan Anisa langsung membuat Jihan dan Rani bungkam. Bisa-bisanya mereka berdua yang sedari tadi cerewet langsung terdiam ketika mendengar ucapan Anisa.
"Sekali dia ngomong langsung kena mental aku." Ucap Rani sambil melenggang pergi begitu saja. Sedangkan Jihan hanya meringis saja. Sepertinya Anisa memang di takdirkan untuk lebih baik diam dari pada bicara dan merusak mental orang.
Sedangkan Anisa yang melihat kedua temannya terdiam ketika mendengar ucapannya tertawa. "Bercanda guys..." Ucap Anisa sambil merangkul Jihan dan Rani.
"Sumpah gak lucu, Sa. Kau mengingatkan aku kalau aku masih belum laku." Balas Jihan. Kemudian mereka berdua tertawa bersama.