bc

Di Balik Taaruf

book_age16+
513
FOLLOW
2.8K
READ
like
intro-logo
Blurb

"Kapan Nikah?"

Pertanyaan itu selalu Dira dapatkan ketika dia berada di kampung halamannya. Wanita itu begitu muak, dia tak suka menjalin hubungan dan mbuat komitmen, hanya saja lingkungannya memaksa dia untuk melakukan hal tersebut.

Hingga pada suatu saat, dirinya menemukan sosok pria yang berbeda. Pria alim yang menolongnya saat kecopetan. Satu hal yang membuat Dira tak menyangka, saat pria itu datang ke rumahnya dan langsung melamarnya.

Mengajaknya untuk ta'aruf.

chap-preview
Free preview
Pencopetan
"Kapan nikah?" Seorang wanita yang mendengar pertanyaan tersebut hanya bisa tersenyum saja. Senyum penuh akan paksaan dan tak ada ketulusan. Sebisa mungkin, dia menahan diri kepada ibu-ibu yang tengah berkumpul untuk membeli sayuran itu. Buru-buru dia mengambil kangkung dengan seplastik ikan tongkol dan memberikannya kepada mamang yang menjual sayuran tersebut dan memberikan uang untuk membayar nya. "Eh neng, mau ke mana? Cepet-cepet amat," ucap seorang wanita yang membuat perferakan dari Dira langsung terhenti. Wanita itu menghembuskan napasnya dengan kasar, kali ini dia berusaha belajar untuk bersabar meladeni ibu-ibu byang memiliki kelakuan juga akal layaknya anak-anak. Dira menengok. "Saya ingin melakukan pekerjaan yang sangat penting saat ini." "Tapi, 'kan---" Tak peduli jika ibu-ibu itu kembali menyahut, Dira memilih untuk pergi dari sana. Dia sudah sangat tak tahan mendengar segala gosipan ibu-ibu yang membuat telinga nya terasa sangat panas, rasanya ingin marah kepada mereka, tapi dia tak bisa apa-apa, karena harus ada etika yang dijalani. Inilah kehidupannya di desa. Merasa tak bebas sendiri dan mengikuti etika yang ada di sana. Wanita itu menuju ke sebuah rumah yang tampak sederhana dengan seorang wanita tua yang kini tengah memegang sebuah sapu lidi di tangannya. Tubuh wanita tua itu membungkuk, menyapu semua sampah dedaunan yang telah mengotori halaman depan rumahnya. "Assalamualaikum," ucapnya memberikan salam kepada wanita tua itu. Lantas, dia langsung menciun tangan ibunya itu. Wajahnya masih sama saja, dia terlihat cemberut saat ini, membuat ibunya bertanya-tanya. "Ada apa dengan mu?" "Bu RT kembali membicarakan status ku. Itu sangat menyebalkan," ucap Dira dengan suara yang pelan. Mengingat akan kejadian tadi, benar-benar membuatnya merasa sangat marah sekali. Ini bukan pertama kali nya dia sudah digosipkan oekh ibu-ibu menyebalkan itu. Wanita tua yang ada di depannya tampak tersenyum hangat, seolah sedang menenangkan hatinya saat ini. "Jangan didengarkan." Dira hanya mengangguk saja. Dia tak yakin akan hal tersebut. Dira sendiri bukanlah orang sabar yang bisa menanggapi ibu-ibu itu dengan ramah. Dia tak bisa seperti itu. Oleh karena itu, saat dia berada di kampung seperti ini, dia lebih memilih untuk berada di rumah saja, menikamti waktunya bersama dengan keluarganya yang ada di sini. "Ya, Bu." Dira memundurkan langkahnya, dia memasuki rumah sederhana milik keluarganya itu dan melihat kedua adiknya yang kini tengah membaca Al-Qur'an. Kedua adiknya memiliki penampilan yang tak jauh berbeda, keduanya sama-sama memakai kaus panjang yang longgar dengan hijab yang menutupi wajahnya. Mungkin, di dalam keluarganya hanya Dira saja yang tak memakai hijab. Sempat beberapa kali dia mendapatkan sebuah teguran, tetapi wanita itu tak menanggapi teguran dari mereka itu. Dia lebih memilih untuk menjadi dirinya sendiri. "Kakak mau masak? Biar aku bantu---" "Tidak perlu, kalian lanjutkan membacanya saja. Kakak akan memasak sendiri," ucap Dira. Dia melangkahkan kakinya menuju ke dapur dan menaruh plastik yang berisi bahan makanan itu ke atas meja. Tubuhnya terduduk di atas bangku. Dia mulai membuka plastik yang berisi bahan makanannya itu. Sepertinya ada sesuatu yang kurang dia beli. "Nak, kau sudah membeli cabai?" tanya seseorang. Lantas Dira menengok, menemukan keberadaan ibunya yang baru saja masuk dan menaruh sapu lidinya. Saat itulah Dira baru teringat akan bahan makanan apa yang telah dia lupa beli. Wanita itu memukul kepalanya dengan pelan, merasa sangat bodoh sekali saat ini. Dira menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Aku akan memanggil mamang sayur dulu," ucap Dira. Dia mengambil dompetnya dan langsung pergi dari sana. Kakinya yang jenjang itu berlari ke luar dari rumahnya. Pandangannya mengedar, berusaha mencari keberadaan mamang yang menjual sayuran itu. Mulutnya mengeluarkan u*****n kala dia tak melihat keberadaan apa yang dicarinya. "Sial, kalau sudah seperti ini aku harus ke pasar." Dira mengangkat kepalanya, hanya dengan melihat matahari yang bersinar dengan terangnya saja, sudah membuat dia merasa sangat malas untuk pergi ke pasar. Namun, apa yang harus dia lakukan? Tak mungkin dia membiarkan ibunya yang justru akan ke pasar. Bagaimapun juga ibunya itu sudah tua. Mungkin, jarak rumahnya ke pasar berkisar 2 km, cukup jauh juga. Tak ada tukang ojek di tempatnya berada saat ini, apalagi kendaraan yang bisa membantunya untuk pergi ke sana. Dia tinggal di kampung yang masih tertinggal. Wanita itu mendesah pelan. Dia mulai melangkahkan kakinya secara perlahan, menuju ke pasar yang jaraknya sangat jauh itu. Tak peduli dengan bulir keringat yang teka mentees dari pelipis nya, dia akan tetap terus melangkah pergi. Tiga puluh menit dia di dalam perjalanan, akhirnya dia hsia melihat sebuah pasar tradisional yang ada di depannya sana. Sangat ramai suasana di depan sana. Dia harus membelah keramaian itu, menahan diri atas keadaan pengap di sana. Dia juga harus menahan kesabaran saat tubuhhya beberapa kali didorong oleh beberapa orang. Tangannya mengepal dengan sangat kuat, dia tak ingin membuat masalah di sini. Sampai pada dia di seorang penjual yang cukup ramai pembeli nya. Dia harus mengantri dengan sabar, kepalanya menggeleng dengan pelan kala dia melihat salah satu pembeli yang terus berdebat kepada penjual agar bisa menawar timun yang ingin dibelinya. "Sampai kapan aku akan menunggu di sini." Tiba-tiba saja, dirinya merasakan tubuhnya yang didorong dengan kencang, membuatnya lantas menoleh dan meenmukan seorang wanita yang tamkak cemas tengah menatapnya saat ini. "Maaf, saya tidak sengaja." Tanpa menunggu jawaban dari Dira dulu, wanita itu sudah lebih dulu pergi, membuat kening Dira mengerut. Dia merasakan bahwa wanita yang menabraknya tadi tengah menyembunyikan sesuatu. "Neng mau beli apa?" Lantas Dira membalikkan tubuhnya. Ternyata antrean sudah habis, langsung saja dia memesan cabai yang lupa tadi dibelinya. Setelah selesai dibungkus, dia mulai merogoh kantung nya untuk mengambil dompet yang tadi dia bawa. Namun, dirasakan dia tak menemukan dompet tersebut. Keningnya mengerut dan berusaha mencari benda tersebut di kantung depan dan hasilnya pun sama saja. "Sial," umpat Dira. Penjual yang melihat gelagat aneh dari pembelinya itu lantas berbicara, "Apakah dompet Neng hilang? Kalau benar, berari dompetnya telah dicuri. Kebetulan pasar ini rawan pencopetan." Dira yang mendengar itu hanya bisa membuka mulutnya tak percaya. Copet? Astaga, entah masalah apa lagi yang harus dirinya hadapi saat ini. Dia harus mencari pencopet itu, banyak barang-barang penting di dalam dompetnya itu. "Sabar Bu, aku cari dompet ku dulu." Dira memundurkan langkahnya dan langsung berlari, dia terus mencari keberadaan dompetnya itu. Entah di mana dan siapa yang mencurinya, tapi Dira pastikan dalam hatinya kalau dia akan menangkap pencuri itu dan memberikan hukuman yang setimpal atas apa yang telah orang itu lakukan. Dia memberhentikan langkahnya kala dia sudah berada di pengkolan. Napasnya terengah-engah, dia merasa sangat kelelahan sekali saat ini. "Sial,di mana orang---" "Bagus kau mendapatkan dompet untuk hari ini," potong seseorang. Kening Dira mengerut kala dia mendengar suara itu. Lantas dia mencari keberadaan suara tersebut dan tak menemukan nya. Matanya menutup, secara perlahan dia mulai melangkah menuju ke asal suara tersebut. Hanya dengan mengandalkan indera pendengarannya, setidaknya dia sudah menemukan apa yang dicari oleh dirinya. Wanita itu menatap pada tumpukan kardus dan sepertinya, orang yang tengah berbicara tadi berada di samping kardus itu. Lantas, dia mulai mendekatinya dan memasang telinga nya. "Ada begitu banyak kartu tak berguna dalam dompet ini. Sial, kita mendapatkan sedikit keuntungan," ucap mereka. Mata Dira melotot tajam kala dia melihat dompet miliknya kini sudah dipegang oleh mereka. Wanita itu berdecak kesal, dia tahu siapa yang memegang dompet miliknya itu. Wanita yang tadi menabraknya dengan keras. Sial, ternyata wanita itu sengaja menabrak dirinya agar bisa mengambil dompetnya. Dia tak menduga hal tersebut. "Hey, kembalikan dompet ku!" teriak Dira kepada dua wanita yang menjadi dalang pencopetan tersebut. Mereka lantas menengok, raut wajah keterkejutan dapat dilihat oleh Dira dan secara tiba-tiba, mereka langsung pergi dari tempat ini. "Hey, sialan kalian!" Dira ikut mengejar mereka. Dia tak akan membiarkan dompetnya hilang begitu saja, ada seluruh jenis kartu yang dimilikini di dalam dompet itu. Namun, langkah kedua wanita itu sangat cepat sekali, membuat Dira kesulitan untuk mengejarnya. "Tolong, ada copet!" teriak Dira dengan kuatnya. Matanya melihat ke arah satu pria yang memakai baju koko juga sebuah sorban pada bagian leher nya, untuk menutup kepalanya, pria itu memakai sebuah peci yang pas di kepalanya. Dira menghampiri pria itu. Dia memegang tangan pria itu dengan kuat hingga membuat pandangannya langsung teralihkan. "Maaf---" "Tolong tangkap, 'kan pencuri itu!" teriak Dira dengan kuatnya. Pria itu lantas menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Dira, lalu secara perlahan dia mulai menganggukkan kepalanya. Dia berlari dengan sangat kencang sekali, bahkan Dira hanya bisa membuka mulutnya tak percaya saat dai melihat kecepatan pria itu berlari. "Apakah dia mantan atlet lari?" Dira hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan pelan. Dia lebih memilih untuk duduk di bawah pohon, Dira yakin sekali kalau pria itu pasti akan cepat menghampirinya dan memberikan dompet itu padanya. Kepalanya terangkat, dia melihat ke arah langit di mana ada sebuah matahari yang memberikan sinar begitu terik. Matahari itulah yang menjadi penyebab dirinya kepanasan saat ini. Ting. Suara dari penjual es cendol dapat didengarnya. Wanita itu menatap ke arah gerobak cendol dan melihat minuman yang dapat membuatnya merasakan haus. "Jika pria itu berhasil merebut dompet ku, akan ku buat dia menjadi kekasih ku," gumam Dira. Tak berselang lama kemudian, dia tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya. "Hey!" teriak seseorang yang membuat Dira terkaget. Lantas wanita itu menengok, dia menemukan sosok pria yang tak dikenalinya itu kini tengah berdiri dekat dengannya seraya tangan yang memegang dompet miliknya itu. Dira tergagu melihat dompet yang sangat dicintainya itu. Ternyata pria itu berhasil mengambilnya. Diambilnya benda tersebut dan beberapa kali dia memberikan kecupan pada benda kesayangannya itu. "Terimakasih," ucap Dira dengan penuh bahagia. "Sama-sama," jawab dia. Dira menghapus keringat yang menetes di keningnya. Kali ini, hatinya merasa sangat lega sekali rasanya. "Aku tak tahu bagaimana nasib ku jika kau tak menolong ku tadi," ucap nya. Dira menaruh dompetnya itu lagi ke dalam kantung celana nya. "Ngomong-ngomong, siapa nama mu?" tanya Dira. Pria itu menunjukkan sebuah senyum yang terlihat sangat menghangatkan Dira. "Azka, kau bisa memanggil dengan nama itu." Dira membulatkan mulutnya. "Baiklah, semoga kita bisa bertemu lagi setelah ini. Aku pulang dulu, terimakasih." Dira berucap. Dia kembali membalikkan tubuhnya dan memilih untuk pergi dari sana. "Hey!" panggil Azka dengan sedikit keras. Dira menoleh, dia menatap Azka dengan kening yang mengerut. "Ada apa?" tanya Dira dengan kening yang mengerut. "Kau terlihat kelelahan. Kau bisa pulang bersama dengan ku," ucapnya. Azka melihat sendiri bagaimana wajah Dira yang sudah mulai memerah karena sinar matahari yang membakar nya. Perkataan dari Azka itu berhasil membuat Dira terdiam. Jujur saja, saat ini dia merasa sangat kepanasan sekali, bahkan untuk jalan kaki saja rasanya sangat sulit. Kakinya sudah kebas. Apakah dia harus menerima penawaran dari Azka? Bagaimanpun juga mereka baru beberapa menit lalu saling mengenal. "Tenang saja, aku tak akan berbuat sesuatu yang jahat kepadamu." Dira menggigit bibirnya dengan sekuat mungkin, lalu secara perlahan, dia mulai berkata, "Apakah tak merepotkan mu?" Azka menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Tidak." Ketulusan terpancar di mata Azka, membuat Dira tak bisa menolak. Wanita itupun menganggukkan kepalanya dengan pelan, menerima penawaran dari pria itu adalah hal yang terbaik. "Baiklah, aku mau ikut dengan mu," ucap Dira. "Ikut dengan ku." Dira mengikuti apa yang dikatakan oleh Azka. Kakinya mulai melangkah dengan pelan, dia berada tepat di belakang Azka saat ini. Mereka menuju ke sebuah Mobil Pajero bewarna hitam. Dira mengambil tempat duduk yang ada di samping setir dan tak lupa memakai sabuk pengaman nya. Rasanya hati dia sangat lega sekali kala merasakan suhu rendah di tempat ini, setidaknya dia tak akan kepanasan lagi. Dira pikir sebelumnya kalau dia akan diantar dengan memakai kendaraan berupa motor, ada rasa sedikit terkejut kala dia melihat pria itu membawa mobil. "Ternyata aku salah menduga," ucap Dira di dalam hatinya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.0K
bc

My Secret Little Wife

read
96.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook