Resign

1109 Words
Malam itu, Anjani tidak bisa memejamkan mata barang sedikitpun. Pikirannya sedang kacau memikirkan tentang kehidupannya yang kini semakin berantakan akibat ulah Juna. ‘Aku nggak bisa kayak gini terus. Udah dua kali Pak Juna ngelakuin hal b***t sama aku. Dan ini semua gara-gara Ardan. Dia yang udah ngejerumusin aku.’ Anjani membatin sambil duduk. Kini dia berdiri dan mondar-mandir di ruangan kontrakannya yang sempit itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 2.00 dini hari, tapi dia belum tidur sama sekali. Perbuatan Juna terhadapnya benar-benar sudah merusak hidupnya dan mengganggu pikirannya. ‘Kayaknya aku mau berhenti aja kerja di perusahaannya Pak Juna. Karna kalo aku masih kerja di situ, dia pasti semakin merajalela ngelakuin hal b***t itu sama aku. Besok aku mau ngajuin surat pengunduran diri sama HRD.’ Anjani pun bergegas membuat surat pengunduran diri yang akan ia serahkan pada atasannya esok hari. Dia membuatnya di file PDF. Setelah selesai, tanpa sadar ia terlelap. Hingga tanpa terasa kumandang azan subuh membangunkannya. Ia langsung bangun dan membersihkan diri, lalu menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim. Pukul 05.30 WIB, Anjani berangkat menuju MA Company. Karena tempatnya tidak jauh dari kontrakannya, jadi dia bisa menempuh dengan berjalan kaki. Anjani segera menuju ke tempat fotokopi yang terletak di depan perusahaan, untuk membuat surat pengunduran diri dengan ketikan agar lebih formal. Setelah selesai, dia bergegas menuju MA Company dan menuju ruang ganti. Karena setiap berangkat dan pulang kerja, dia selalu mengenakan pakaian bebas. Jadi setiap akan memulai pekerjaan, maupun akan pulang bekerja, Anjani haru berganti pakaian terlebih dahulu. Seperti biasanya, setelah berganti seragam cleaning services, Anjani langsung bekerja membersihkan ruangan demi ruangan sebelum para karyawan datang. Ketika pukul 06.30, para karyawan sudah banyak yang berdatangan. Karena pukul 07.00 WIB waktunya mulai bekerja. Sebelum mereka memulai pekerjaan, mereka berbincang-bincang sambil berbisik-bisik. Namun, Anjani masih bisa mendengar percakapan para karyawan tersebut. “Eh, Dinda. Kamu ngerasa ada yang aneh gak sih, sama Pak Juna?” “Aneh gimana, Wati? Aku gak ngerti maksud kamu.” “Itu lho, Din. Akhir-akhir ini Pak Juna rajin banget dateng ke perusahaan ini.” “Ya, wajar dong, Wat. Kan ini perusahaan dia, jadi suka-suka dia lah mau dateng kapan aja dia mau.” “Bukan gitu, Din. Maksud aku … kok aneh banget karna 'kan selama ini Pak Juna dateng ngunjungin MA Compnany kalo mau audit aja. Tapi sekarang nggak gitu.” Dinda dan Wati, karyawan yang bekerja sebagai operator, terus membicarakan Juna, sang CEO MA Company. Semua pembicaraan mereka didengar oleh Anjani. Anjani menatap kepergian kedua karyawan wanita tersebut hingga mereka menghilang dari pandangan. Namun, tatapannya kini terfokus pada tiga karyawan wanita yang baru memasuki gedung. Mereka berbisik-bisik, tapi suaranya tetap terdengar olehnya. “Eh, tau gak. Aku sekarang kerja semakin semangat, lho. Kalian mau tau gak alasannya apa?” ucap Siti, salah satu karyawan. “Emangnya kenapa, Sit? Kasih tau dong, alesan kamu apa,” timpal Ida, temannya. “Iya, Siti. Kita penasaran, nih!” Rani, temannya yang satu lagi menimpali. Siti tertawa melihat wajah kedua temannya yang nampak penasaran sekali. “Haha … kalian penasaran banget, ya? Tapi janji, kalian berdua gak boleh ikut-ikutan kayak aku.” “Iiihh, cepetan kasih tau, nanti keburu masuk!” Ida bersungut-sungut. “Tau nih, si Siti. Bikin kita penasaran aja,” sahut Rani. Siti semakin tertawa terbahak-bahak. “Diihh … gitu aja sewot. Oke, aku ceritain, ya. Jadi gini … aku sekarang makin semangat kerja karna Pak Juna akhir-akhir ini sering dateng ngunjungi MA Company. Jadi mood booster banget buatku.” Siti berbicara dengan menggebu-gebu, sementara Ida dan Rani saling bertatapan. Mereka terlongong-longong mendengar ucapannya. Namun, sesaat kemudian mereka berdua berteriak histeris, sehingga membuat Siti terkejut. “Apaan sih kalian berdua ini, bikin aku kaget aja. Gimana kalo aku jantungan, coba? Hhhh!” Siti cemberut. “Haha … Siti. Aku juga mau sama Pak Juna. Dia itu ganteng banget. Siapa sih, yang gak mau sama pengusaha muda yang ganteng dan kaya kayak Pak Juna.” Rani berkata dengan mimik wajah antusias. “Yeee … aku juga mau lah kalo sama Pak Juna yang ganteng kayak sekuteng setengah mateng itu. Jadi bini kelimanya juga aku mau.” Ida pun menimpali seraya tersenyum lebar. Ketiga karyawan wanita itu terus membicarakan Juna, sedangkan Anjani yang mendengarnya merasa tidak nyaman. Sebab peristiwa kelam itu kembali mengusik pikirannya. Namun, lamunannya seketika buyar ketika dia melihat kehadiran Alya—HRD. Anjani bergegas mengikutinya dari belakang. Setelah Alya masuk ke ruangan kerjanya, Anjani pun memberanikan diri mengetuk pintu. Setelah mendapatkan izin, dia pun segera masuk dan mengutarakan niatnya. Alya sempat terkejut mendengar keinginan Anjani yang ingin mengundurkan diri. Namun, dia tetap menerima surat resign tersebut. Setelah itu Anjani keluar dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Siang itu Juna kembali mengunjungi MA Company. Kedatangannya bertepatan dengan waktu makan siang para karyawan, sehingga kehadirannya membuat para karyawan wanita yang masih gadis berteriak histeris. Mereka begitu mengagumi ketampanan sang CEO. Berbeda halnya dengan Anjani. Gadis itu justru merasa tidak nyaman dan tidak tenang ketika melihat kedatangan Juna. Dia bergegas menuju kantin untuk makan siang, sementara para karyawan lainnya sibuk menatap Juna dari kejauhan sembari membincangkan tentang dirinya. “Pak Juna … I love you ….” “Pak Juna … jadikan aku pacarmu ….” “Pak Juna … aku rela jadi wanita simpananmu ….” Begitulah kata-kata yang keluar dari mulut para karyawan wanita. Mereka sampai melupakan acara makan siang karena tengah sibuk mencari perhatian sang CEO. Ketika Anjani baru saja akan menyuapkan makanannya ke mulut, tiba-tiba Alya, sang HRD menghampirinya. “Anjani, bisa ikut saya sebentar?” ujar Alya. Anjani segera meletakkan sendok yang sedang dipegangnya, lalu ia pun berdiri. “Iya, Bu Alya. Ada apa?” “Kamu disuruh Pak Juna ke ruangan kerjanya sekarang.” “A-apa … ke … ruangannya?” Wajah Anjani seketika berubah sendu. “Iya.” “T-tapi … a-ada apa ya, Bu Alya?” “Entahlah. Lebih baik kamu segera temui beliau, daripada beliau marah karena kelamaan menunggu.” “B-baik, Bu Alya.” Setelah itu, Alya pergi meninggalkan kantin, sementara Anjani bergegas menuju ke lantai 5, ke ruangan CEO. Sebab di lantai 5 tersebut khusus ruangan CEO saja. Dengan perasaan yang tak menentu, Anjani berjalan menuju lantai 5 dengan menggunakan lift khusus karyawan. Peluh dingin kini membanjiri wajah dan sekujur tubuhnya. Dia benar-benar sangat trauma jika harus bertemu dengan Juna. Namun, karena posisnya sebagai karyawan dan Juna sebagai atasan, maka dia harus bersikap profesional. Tok! Tok! Tok! Dengan tangan gemetar Anjani memberanikan diri mengetuk pintu. Suara Juna menggelegar menitahnya untuk masuk. Anjani masuk dengan menunduk. Brak! Juna menutup pintu dengan keras, lalu menguncinya. Membuat Anjani terlonjak kaget. Dia memilin-milin jemari tangannya sendiri karena gugup dan takut. “Tatap aku, Jani! Katakan, apa alasanmu ingin resign?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD