Bab 2: Kalau sendiri, kenapa?

1522 Words
*** Nggak ada kewajiban pergi kondangan itu bawa pasangan yang ada itu kewajiban bawa amplop *** Acara pernikahan rekan kerja sama dengan kehebohan mencari gandengan untuk kondangan dan mencari pakaian yang sangat cocok dengan tema yang di usung untuk pesta pernikahan sudah menjadi hal yang sangat biasa. Itu juga terjadi hari ini di ruangan staf marketing Shantha. Setelah Oca selesai memberikan mereka undangan, semua mendadak heboh di jam makan siang itu, kantin seolah terlupakan begitu saja. Seolah mereka semua sudah kenyang dengan hanya mendapatkan udangan padahal kondangannya masih seminggu lagi. “Gila sih mbak Oca, undangannya keren banget, siapa yang pilih modelnya?!” seruan Anita terdengar, dia melangkah mendekat ke arah Oca yang sedang di kelilingi oleh rekan yang lain yang semuanya sudah memiliki istri atau suami. “Gue sama calon mama mertua gue, selera dia memang nggak pernah di ragukan lagi sih!” seru Oca dengan mata yang berbinar-binar penuh kebahagiaan, sorakan penuh cie-cie langsung memenuhi ruangan itu. “Katering-nya aman, kan, Ca?!” seruan Heru dari meja kerjanya terdengar. Oca langsung mengangkar jempolnya tinggi-tinggi. “Aman, bang Her, lo bisa makan sampai perut lo buncit, ntar!” seru Oca, lagi-lagi hal itu membuat sorakan gembira kembali memenuhi ruangan itu. “Wa, kali ini mau tetap datang sendiri seperti sebelum-sebelumnya atau udah ada kemajuan nih, bawa gandengan?” tanya Aditya, Nazhwa yang sedari tadi hanya menjadi pengamat saja dan berharap tidak mendapatkan pertanyaan yang sama seperti sebelum-sebelumnya hanya bisa menarik kedua bibirnya, menanggapi pertanyaan Aditya dengan senyum tipis andalannya. “Wawa nggak usah di tanya lah bang Dit, dia kalau mau punya gandengan tinggal tunjuk aja juga dapat,” ucap Oca, gadis itu kemudian memilih duduk di samping Nazhwa. Walau sebenarnya Oca cukup penasaran dengan alasan Nazhwa kenapa terus menolak pria yang mencoba dekat dengan gadis itu tapi tetapi Oca terus mengurungkannya karena Oca tahu itu bagian dari privasi Nazhwa. “Wa, besok lo datang lebih pagi ya, temenin gue,” ucap Oca, Nazhwa langsung mengangguk tanpa penolakan sedikitpun karena sejak awal Oca memang sudah mengatakan itu padanya. *** “Gila sih, cantik banget Wawa gue!” seruan heboh Oca langsung menyambut Nazhwa ketika dia mendorong pintu ruangan make up Oca. Nazhwa hari ini memakai kebaya yang merupakan seragam yang di berikan oleh Oca kemarin. “Nggak usah berisik, ntar make up lo rusak!” seru Nazhwa, dia duduk sofa yang ada ruangan itu, pesta pernikahan Oca memang di gelar di salah satu hotel yang ada di Yogyakarta, pesta pernikahan ini akan sangat meriah dengan ratusan tamu yang akan hadir secara bergantian. “Tapi sumpah, Wa, lo cantik banget dandan kayak sekarang, udah cocok banget jadi manten, abis gue nyusul nikah ya, Wa, jangan nolak laki mulu kerjaan lo,” ucap Oca. Nazhwa hanya mendengus saja, dia kemudian asik dengan ponselnya, selain bekerja sebagai staf marketing, Nazhwa juga seorang mahasiswa S2 dan juga penulis di salah satu platform yang cukup terkenal. “Ntar kalau sudah ketemu yang pas gue nikah,” jawab Nazhwa dengan santai, memang seperti itu kok tapi untuk menemukan yang pas itu sungguh sangat sulit sekali. Selama Nazhwa mencoba dekat dengan pria baik dari kalangan orang biasa sampai anak orang kaya tidak satupun Nazhwa menemukan yang cocok dengannya. Sungguh mencari pasangan yang tepat itu kelihatannya gampang tapi tidak segampang yang di bayangkan, terlihat susah tapi tidak sesusah yang dibayangkan, serumit dan sekomplek itu. Setelah Oca rapi dengan segala persiapannya, saat mama Oca sudah menghampiri gadis itu dengan mertua Oca serta kerabat yang lain, saat itu Nazhwa memilih pamit. Oca memang hanya ingin di temani make up sambil menunggu keluarganya datang. Nazhwa kemudian berperan sebagai tamu di pesta pernikahan yang di gelar dengan cukup mewah itu. Akad nikah Oca dan suaminya memang sudah di gelar kemarin yang di lakukan secara privat, hanya di hadiri oleh keluarga terdekat saja. Datang ke pesta pernikahan sebenarnya bukan hal yang Nazhwa sukai, dia tidak begitu menyukai berada di tengah keramainan, Nazhwa kerap kali merasa pusing tapi karena untuk menghargai acara teman kantornya, itu alasan Nazhwa hadir kali ini bahkan lebih awal karena permintaan sang pengantin. Nazhwa memilih keluar dari ballroom hotel itu ketika dia merasa begitu sesak, sungguh Nazhwa tidak nyaman sedikitpun ketika tamu yang berdatangan sudah mulai banyak, seperti kondangan pada umumnya yang datang itu selalu bergandengan tangan namun sepertinya Nazhwa satu-satunya yang berani datang ke pesta penikahan tanpa gandengan selama ini. “Benar-benar datang sendiri?” suara berat itu membuat Nazhwa yang sedang bersandar di sebuah pilar besar sambil menunduk itu perlahan mengangkat kepalanya, matanya langsung bertemu dengan sorot mata yang kini sedang menatapnya remeh. “Makanya jangan kebanyakan nolak laki-laki, Wa, kasihan gue lihat lo sekarang,” lanjut pria itu, kedua tangan Nazhwa mengepal dengan erat, matanya menajam, sungguh dia sangat benci pada pria yang berdiri di hadapannya sekarang. “Lebih baik gue sendiri dari pada memaksa orang lain untuk bersama dengan gue dengan cara paling menjijikan bukan?!” seru Nazhwa dengan wajah datar, wajah pria yang pernah dia kenal sebagai Galih itu tampak berubah kaku. “Nggak usah sok tahu urusan orang kalau lo memang tidak tahu apa-apa, gue nggak pernah mengusik kehidupan lo, jadi tolong jangan usik kehidupan gue. Dulu, gue dan lo mungkin pernah mengawali sesuatu dengan begitu baik, tapi awal yang baik ternyata tidak di tutup dengan baik juga, jadi tolong jangan mengusik gue kalau lo juga tidak mau mendengar omongan yang mengusik ketenangan lo. Urusin keluarga lo dengan baik,” ucap Nazhwa, gadis itu kemudian meninggalkan Galih begitu saja. Sungguh Nazhwa kesal setengah mati pada pria bernama Galih itu. Sungguh pria menyebalkan dan tidak memiliki pendirian. Seorang yang sedari tadi mengamati interaksi dua orang itu memilih mengikuti langkah Nazhwa, gadis itu terlihat terus berjalan sampai pada akhirnya duduk di salah satu bangku yang ada di pinggir kolom berenang, suasana di kolom berenang itu sangat sepi, lagian siapa yang mau berenang ketika menghadiri pesta pernikahan. Satu hal yang dapat Khaibar simpulkan adalah Nazhwa Zahira tidak terlalu nyaman berada di tengah-tengan keramaian terlalu lama dan gadis itu sangat galak pada orang yang tidak dia sukai, pertahan diri yang cukup tangguh menurut Khaibar. “Kalau saya tahu kamu datang sendirian ke acara ini, kita bisa bareng tadi,” ucap Khaibar, dia duduk di samping Nazhwa sembari memberikan satu botol air mineral yang dia bawa sejak tadi. Gadis itu benar-benar terlihat sedang tidak baik-baik saja bahkan terlihat sangat kaget ketika melihat Khaibar tiba-tiba duduk di sampingnya. “Kenapa saya harus datang bersama Bapak ketika saya bisa datang sendiri, lagian ya, Pak, kita tidak seakrab itu sampai berangkat kondangan bareng,” ucap Nazhwa ketus, gadis itu tampak berusahan membuka tutup botol air mineralnya. Khaibar menggeleng pelan melihat gadis itu kemudian kembali mengambil botol air mineral itu dari tangan Nazhwa. “Kamu ngomelnya kuat banget tapi buat buka tutup botol air mineral aja nggak kuat, mengomel juga nggak baik buat kesehatan Nazh, saya pikir kamu paling kalem di antara staf marketing karena kamu nyaris nggak pernah menunjukkan ekspresi yang berlebihan,” ucap Khaibar, dia kemudian memberikan air mineral yang sudah dia buka tutupnya itu pada Nazhwa, gadis itu menerimanya dan meneguknya begitu saja walau terlihat berpikir, Nazhwa merasa belum ada orang yang memanggilnya dengan Nazh selama ini, cukup asing ketika di ucapkan oleh Khaibar tapi tidak terlalu buruk ketika di dengar. “Kenapa kamu selalu memilih datang sendirian ke kondangan?” tanya Khaibar memilih membuka suara duluan karena sepertinya Nazhwa adalah orang yang akan membuka pembicaraan duluan dan hanya akan melakukan itu jika di perlukan saja, misalnya sedang berbicara pada timnya atau melakukan promosi. “Kalau sendiri, kenapa?” Bukannya menjawab pertanyaan Khaibar Nazhwa justru bertanya balik. Gadis itu menutup botol air mineralnya. “Lagian ya, Pak, nggak ada kewajiban kondangan itu harus bawa pasangan yang ada itu kondangan harus bawa amplop!” seru Nazhwa, Khaibar merapatkan bibirnya, tapi apa yang di katakan oleh Nazhwa itu memang benar. Tidak ada kewajiban kondangan harus bawa pasangan yang ada itu kondangan bawa buah tangan entah amplop atau kado. “Bapak sendiri ngapaian duduk di sini, nggak makan di dalam sana atau nggak takut pasangannya nyariin?” tanya Nazhwa lagi, Nazhwa tiba-tiba merasa tidak nyaman ketika Khaibar duduk di sampingnya seperti sekarang. Dia dan Khaibar tidak sedekat itu sampai harus duduk dan mengobrol bareng. “Saya datang sama Arsyana, tadi mengikuti kamu karena takut kamu menenggelamkan diri setelah bertengkar sama mantan, tapi melihat kamu baik-baik saja bahkan justru sangat kuat mengomel, saya sebaiknya kembali pada Arsyana, takut nyariin,” ucap Khaibar, pria yang siang ini memakai batik itu beranjak dari tempat duduknya kemudian meninggalkan Nazhwa begitu saja. Nazhwa langsung terdiam di tempat duduknya, Khaibar bersama dengan Arsyana, jelas itu sangat cocok. Mereka memang sering terlihat bersama sejak Khaibar bergabung dengan Shantha sedangkan Arsyana sudah bergabung sejak enam bulan yang lalu. Gadis itu tiba-tiba menggeleng begitu saja seolah dia tidak seharusnya memikirkan hubungan atasannya itu, lagian untuk apa juga, tidak menguntungkan sama sekali untuknya dan hanya buang-buang waktu saja. Nazhwa juga memilih kembali ke pesta pernikahan itu, dia ingin mengucapkan selamat pada Oca dan suaminya kemudian langsung pulang ke indekos-nya. Nazhwa ingin melanjutkan tulisannya yang tertunda. Kegiatan Nazhwa di waktu weekend memang menulis dan juga mengerjakan tugas kuliahnya. Sungguh Nazhwa yang sangat produktif.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD