Masih di delapan tahun lalu.
Dan sejak hari itu, sejak jabat tangan singkat di bawah pohon rindang itu, sesuatu di dalam diri Sherin telah bergeser. Sebuah fokus baru telah tercipta, sebuah titik pusat yang tanpa sadar selalu ia cari di tengah lautan wajah-wajah asing. Sejak hari itu, Sherin terus memerhatikan Daniel. Tak berhenti. Tak bisa berhenti. Tak ingin berhenti.
Namanya, Daniel, seolah terukir di benaknya. Ia akan mencari-cari sosok itu di setiap kesempatan. Saat baris-berbaris di lapangan, matanya akan secara otomatis memindai kerumunan, mencari postur tubuh yang tegap dan rambut ikal yang khas itu. Saat sesi materi di dalam aula yang pengap dan membosankan, ia akan berusaha mencari tempat duduk yang memberinya sudut pandang terbaik untuk melihat di mana Daniel duduk. Tentu saja, semua dilakukan dengan sangat hati-hati, dengan gerakan kepala yang seminimal mungkin agar tidak terlihat kentara. Ia menjadi seorang intel lagi, namun kali ini misinya jauh lebih personal. Targetnya adalah seorang mahasiswa baru bernama Daniel, dan tujuannya hanyalah untuk memuaskan rasa penasaran dan kekaguman yang baru tumbuh di hatinya. Ini kah yang namanya cinta?
Cowok itu, memang, selalu menonjol di antara para mahasiswa baru lainnya. Seperti sebuah lampu sorot yang secara alami selalu tertuju padanya. Ganteng? Tentu saja, iya. Wajahnya memiliki perpaduan yang menarik, dengan rahang yang tegas, hidung mancung, dan sepasang mata cokelat yang selalu tampak hidup dan penuh ekspresi. Tapi bukan hanya itu. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar fisik. Berwibawa? Iya, anehnya kata itu sangat cocok untuknya. Meskipun ia santai dan sering bercanda, ada aura kepemimpinan alami yang terpancar darinya. Saat ia bicara, orang-orang akan diam dan mendengarkan. Semua mata akan selalu tertuju padanya. Pesona yang sungguh tak bisa ditolak perempuan mana pun.
Kemampuan public speaking-nya adalah hal lain yang membuat Sherin terpukau. Setiap kali ada sesi tanya jawab dan senior menunjuknya secara acak, Daniel tidak pernah terlihat gugup. Ia akan berdiri, menjawab pertanyaan dengan kalimat yang terstruktur, jelas, dan seringkali diselingi dengan humor cerdas yang membuat seisi ruangan tertawa. Ia tidak pernah terlihat berusaha keras untuk menjadi pintar, ia memang pintar. Ya bukan kah paket komplit idaman wanita?
Apalagi pembawaannya yang begitu gaul dan mudah beradaptasi. Maksudnya, ia begitu berbeda dari semua lelaki yang pernah Sherin lihat dari dekat selama ini. Dunianya di Gontor dulu dipenuhi oleh para lelaki bersarung dan berpeci, yang cara bicaranya formal, yang menundukkan pandangan saat berpapasan dengannya. Mereka baik, mereka saleh, tapi mereka berasal dari planet yang sama sekali berbeda. Daniel adalah antitesis dari semua itu. Ia mengenakan kaus band, sepatu kets yang sedikit usang, dan cara bicaranya santai, menggunakan "gue-elo" dengan begitu luwes. Daniel adalah representasi dari dunia bebas dan modern yang selama ini hanya bisa Sherin intip dari jauh. Representasi yang selama ini Sherin cari dalam setiap novel asmara yang ja baca di rumah.
Cowok itu ternyata dari jurusan Manajemen, sementara Sherin di jurusan Bisnis. Sebuah fakta yang sedikit mengecewakannya. Itu berarti, setelah masa orientasi ini berakhir, ia tak akan bisa terus menemukannya setiap hari. Kesempatan untuk melihatnya akan semakin langka. Tapi untuk saat ini, selama masa orientasi yang melelahkan ini, keberadaan Daniel sudah cukuplah untuk menjadi hiburan matanya. Menjadi penyemangat tak terlihat yang membuatnya rela datang pagi-pagi dan bertahan hingga sore hari. Ya orang gila kan? Benar-benar gila hanya untuk urusan perasaan yang mungkin bagi orang lain tak penting.
Ia hanya berani melihat dari jauh. Mengagumi dalam diam. Karena apa?
Ya, karena ia tak tahu bagaimana caranya bergaul dengan orang-orang di sini. Ia merasa seperti seorang imigran di negeri asing yang tidak mengerti bahasa dan adat istiadatnya. Dunianya yang dulu terlalu berbeda. Ia dibesarkan dan dididik oleh rasa malu. Malu untuk menatap mata lawan jenis secara langsung. Malu untuk memulai percakapan lebih dulu. Malu untuk tertawa terlalu keras. Malu untuk menjadi pusat perhatian. Semua aturan tak tertulis itu telah mendarah daging dalam dirinya, membentuk sebuah kepribadian yang canggung dan tertutup di lingkungan barunya ini. Meski kepribadiannya sungguh ekstrovert. Ya bagai pinang dibelah dua dengan Aminya.
Sementara itu, para perempuan lain di sini tampak begitu berbeda. Mereka seperti ikan yang berenang lincah di habitat aslinya. Dengan centil dan penuh percaya diri, banyak dari mereka yang tak ragu menghampiri Daniel lebih dulu. Sherin melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Saat istirahat, akan ada saja segerombolan mahasiswi yang mendekati Daniel dan teman-temannya, tertawa renyah, menyibakkan rambut, dan dengan mudahnya memulai obrolan. "Hai, Daniel! Gila ya materi hari ini, bikin ngantuk," atau "Eh, lo anak mana? Kok kayaknya pernah liat, deh."
Sherin hanya bisa mengamati dari kejauhan, duduk di sudut kantin sambil berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Hatinya terasa sedikit perih, sebuah campuran antara iri dan rasa rendah diri. Bagaimana bisa mereka melakukannya dengan begitu mudah? Bagaimana bisa mereka terlihat begitu nyaman dengan diri mereka sendiri?
Ia memandangi penampilannya sendiri. Kemeja putih standar, celana bahan hitam, dan hijab paris segi empat yang ia pakai dengan model paling sederhana. Lalu ia membandingkannya dengan gadis-gadis itu. Mereka mengenakan kemeja yang pas di badan, celana jeans, dan hijab mereka ditata dengan berbagai gaya yang modis. Riasan wajah mereka natural tapi segar. Mereka tahu cara membawa diri.
Sherin mendesah pelan. Ia sadar, masalahnya bukan hanya soal penampilan. Ini soal mentalitas. Ia merasa seperti produk dari masa lalu yang sudah kedaluwarsa di dunia yang baru ini. Ia tidak tahu cara memulai obrolan ringan. Ia tidak punya referensi musik atau film yang sama dengan mereka. Ia takut jika ia bicara, ia akan terdengar aneh atau kampungan. Jadi, ia memilih jalan yang paling aman: diam.
Maka, ia pun melanjutkan perannya sebagai pengagum rahasia. Ia akan tersenyum sendiri saat melihat Daniel tertawa dari kejauhan. Ia akan merasa sedikit senang saat tanpa sengaja mereka berada di kelompok yang sama untuk sebuah permainan, meskipun ia tak akan berani berinteraksi langsung. Baginya, itu sudah cukup. Melihat Daniel dari jauh sudah menjadi sebuah kebahagiaan kecil yang ia simpan sendiri, sebuah rahasia yang menghangatkan hari-harinya yang penuh dengan kebingungan dan rasa canggung di gerbang dunia barunya. Ia tidak tahu bahwa takdir punya cara yang jauh lebih rumit untuk mempertemukan dua orang, lebih dari sekadar jabat tangan singkat di bawah pohon rindang. Lebih dari itu.
***