Pertemuan Pertama di Gerbang Baru

1073 Words
Masih di delapan tahun lalu. Tawa ringan dan ledekan dari teman-temannya di pantry kantor hari itu, yang seharusnya terasa memalukan, justru menyalakan sebuah api kecil di dalam diri Sherin. Sebuah api persaingan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan sebuah dorongan, sebuah motivasi. Memang benar, motivasi itu lahir dari sumber yang dangkal—rasa malu karena tak punya arah dan keengganan untuk terlihat tertinggal. Tapi setidaknya, itu adalah sebuah percikan di tengah kegelapan. Api itu, sekecil apa pun, cukup untuk membuatnya bergerak. Melihat teman-temannya yang pulang kerja dengan wajah lelah namun masih menyempatkan diri membuka buku-buku persiapan ujian masuk, membuatnya ikut terpacu. Ia mulai membeli buku-buku yang sama. Di sela-sela waktu senggang di kantor atau di malam hari saat ia pulang ke rumah orang tuanya, ia akan membuka lembaran-lembaran soal Matematika Dasar, Ekonomi, dan Sosiologi. Awalnya terasa begitu asing dan sulit. Otaknya yang selama setahun terakhir terbiasa dengan analisis kasus dan teknik pengintaian, kini dipaksa untuk kembali mengingat rumus dan teori-teori akademis. Namun, di sinilah ironi itu terjadi. Saat ia mulai tenggelam dalam rutinitas belajar yang intens, sebuah kebiasaan lama yang ia benci justru bangkit dan menjadi senjata terkuatnya. Disiplin. Ya, disiplin yang selama belasan tahun telah ditempa dalam dirinya oleh dinding-dinding pesantren dan gerbang Gontor. Kemampuan untuk duduk diam selama berjam-jam, untuk memfokuskan pikiran pada satu titik, untuk menghafal materi dengan cepat. Semua hal yang dulu ia anggap sebagai belenggu, kini menjadi fondasi yang kokoh untuk membantunya mengejar ketertinggalan. Ia bisa belajar dari malam hingga dini hari tanpa merasa terganggu, sebuah ketahanan yang tak ia sadari ia miliki, yang lahir dari malam-malam panjang saat ia harus menghafal barisan ayat suci atau bait-bait syair Arab. Teman-temannya di kantor mungkin hanya mengincar kelas karyawan di universitas swasta. Tapi Sherin, dengan ego dan gengsi keluarga Adhiyaksa yang tanpa sadar masih melekat dalam dirinya, memutuskan untuk membidik lebih tinggi. Jika ia harus kuliah, maka ia harus masuk ke tempat terbaik. Pikirannya langsung tertuju pada Universitas Indonesia. Maka, pada akhirnya ia memutuskan untuk ikut mendaftar SIMAK UI, jalur ujian mandiri yang terkenal dengan tingkat persaingannya yang sangat ketat. Tentu saja, ia harus berkompromi dulu dengan babanya. Suatu malam, ia memberanikan diri berbicara pada Izzan. "Ba, Sherin mau coba ikut tes masuk UI," katanya dengan nada yang dibuat seyakin mungkin. Izzan yang sedang membaca buku di ruang kerjanya, langsung menurunkan kacamatanya. Ia menatap putrinya itu dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada keterkejutan, tapi lebih banyak kelegaan di sana. Babanya jelas mendukungnya dengan sepenuh hati. Mau di mana pun kampusnya, jurusan apa pun, itu tak lagi menjadi masalah. Yang terpenting bagi Izzan adalah melihat Sherin akhirnya punya keinginan, sebuah tujuan yang datang dari dirinya sendiri. Karena ia ingin, itulah kuncinya. "Alhamdulillah," ucap Izzan tulus. "Apapun pilihanmu, selama itu membuatmu bersemangat, Baba akan dukung seratus persen. Apa yang kamu butuhkan? Buku? Guru les privat?" Dukungan penuh dari ayahnya itu memberikan sedikit kehangatan di hati Sherin. Namun, di saat yang bersamaan, rasa bersalah yang samar juga menyelinap. Ia tahu, di mata babanya, ini terlihat seperti sebuah kebangkitan yang mulia. Babanya melihat seorang anak yang akhirnya menemukan jalannya. Padahal, jauh di dalam hatinya, Sherin masih merasa sedih dan kosong. Karena ia tahu, ia kuliah ini pun karena hanya melihat yang lain kuliah. Ada rasa malu yang lebih besar dari hasratnya untuk belajar. Ia hanya sedang mengikuti arus, mencoba untuk tidak terlihat berbeda. Hari ujian pun tiba. Di tengah lautan ribuan calon mahasiswa yang memadati kampus UI Depok, Sherin merasa kecil dan anonim. Perasaan yang anehnya terasa menyenangkan. Di sini, tak ada yang tahu ia seorang Adhiyaksa. Ia hanyalah peserta ujian nomor sekian, berjuang untuk beberapa kursi yang diperebutkan. Dan ya, memang pada akhirnya, dengan segala privilese bimbingan belajar terbaik yang bisa dibeli oleh uang ayahnya, dan disiplin belajar dari masa lalunya, ia berhasil lolos SIMAK UI. Jurusan Bisnis, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Saat melihat pengumuman itu di layar laptopnya, ada desiran aneh di dadanya. Sebuah campuran antara tak percaya, lega, dan sedikit rasa bangga. Untuk pertama kalinya, ia meraih sesuatu yang terasa seperti hasil jerih payahnya sendiri. Di sini lah, di gerbang dunia barunya ini, awal mula pertemuan dengan Daniel dimulai. Hari itu adalah hari pertama rangkaian orientasi mahasiswa baru. Suasananya riuh, panas, dan sedikit kacau. Senior-senior dengan jaket almamater kuning kebanggaan mereka berteriak-teriak memberikan instruksi. Ribuan mahasiswa baru seperti dirinya, dengan kemeja putih dan celana hitam, digiring dari satu tempat ke tempat lain seperti sekawanan domba. Sherin, yang terbiasa dengan lingkungan kerja yang tenang dan terstruktur, merasa sedikit kewalahan. Saat sesi istirahat, ia memisahkan diri dari kerumunan, mencari sedikit keteduhan di bawah sebuah pohon rindang di dekat danau. Ia hanya ingin duduk sebentar, mengatur napasnya dan mempersiapkan diri untuk sesi "perkenalan" yang menurutnya sangat tidak berguna. "Sendirian aja?" Sebuah suara tiba-tiba menyapanya dari samping. Suara yang terdengar ringan dan ramah. Sherin menoleh dan mendapati seorang lelaki berdiri di sana, tersenyum padanya. Lelaki itu sama sepertinya, mengenakan kemeja putih yang sedikit lecek dan name tag yang tergantung di lehernya. Tapi ada sesuatu yang berbeda darinya. Sebuah aura percaya diri yang santai, yang tidak dimiliki oleh mahasiswa baru lain yang tampak tegang. "Eh, iya," jawab Sherin sedikit canggung. "Anak FEB juga?" tanyanya lagi, matanya melirik ke arah name tag Sherin. Sherin hanya mengangguk. "Stres, ya? Diteriakin dari pagi," kata lelaki itu sambil tertawa kecil, seolah bisa membaca pikirannya. "Sama, gue juga. Pengen cabut aja rasanya." Sherin tak bisa menahan senyum tipis. Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa ada yang memahaminya. "Gue Daniel," ucap lelaki itu sambil mengulurkan tangannya. Tangannya bersih, kukunya terawat, dengan sebuah gelang tali sederhana melingkar di pergelangan tangannya. Sherin menyambut uluran tangan itu. "Sherin." Saat tangan mereka bersentuhan, ada sebuah getaran aneh yang tak pernah Sherin rasakan sebelumnya. Bukan seperti jabat tangan formal di kantor, bukan pula seperti cium tangan pada para tetua di keluarganya. Ini berbeda. Hangat dan entah kenapa, terasa pas. Walau kemudian Sherin mendadak menarik tangannya. Ia selama ini diajarkan untuk tak salam seperti ini dengan yang bukan mahram. Tapi ini refleknya semenjak bergabung di intel. Jauh dari pemahaman yang ia dapat saat di pesantren maupun gontor. "Sherin," ulang Daniel pelan, seolah sedang mencicipi nama itu di lidahnya. "Nama yang bagus. Semoga betah ya di neraka orientasi ini." Ia kembali tersenyum, sebuah senyum yang tulus dan sedikit jahil. Dan di bawah rindangnya pohon di tepi danau UI, di tengah hiruk pikuk dunia kampus yang baru ia masuki, Sherin merasa bahwa mungkin, keputusannya untuk kuliah karena "ikut-ikutan" ini, tidak akan seburuk yang ia bayangkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD