Cara yang ditempuh Izzan kala itu, yang pada awalnya terasa seperti sebuah langkah putus asa yang gila, ternyata memang cukup berhasil. Seperti melempar sebuah batu ke permukaan air yang diam untuk menciptakan riak, pekerjaan baru itu berhasil membangkitkan Sherin dari mati surinya. Enam bulan berlalu, dan sosok Sherin yang muram dan mengurung diri di kamar perlahan-lahan sirna, digantikan oleh seorang perempuan muda yang matanya kembali memiliki binar—bukan binar kebahagiaan yang meluap-luap, melainkan binar fokus dan adrenalin.
Ia tampak senang bisa bergabung dengan tim intel di bawah naungan Manggala Corporation itu. Dunianya yang baru begitu berbeda dari semua yang pernah ia kenal. Di sini, ia tidak dinilai dari silsilah keluarganya atau kemampuan hafalannya. Ia dinilai dari kemampuannya untuk berbaur, untuk mengamati, untuk menjadi tak terlihat. Kasus-kasus yang ia urusi memang hanya kasus-kasus ringan, remah-remah dari dunia intelijen yang sesungguhnya. Ia menjadi mata-mata untuk mengintai suami hidung belang yang sering ‘lembur’ di apartemen selingkuhannya, atau mengikuti istri sosialita yang ternyata punya rekening bank rahasia. Pekerjaan yang bagi sebagian orang mungkin terasa remeh, tapi bagi Sherin, itu adalah sebuah petualangan. Ada getaran yang menyenangkan saat ia berhasil mengambil foto dari jarak jauh tanpa ketahuan, atau saat ia berhasil menyusun laporan mendetail tentang pergerakan targetnya. Ia merasa berguna. Ia merasa punya kendali.
Tentu saja, Tiara, ibunya, masih kurang sreg dengan cara yang ditempuh suaminya ini. Dalam benaknya, pekerjaan ini terasa kurang pantas untuk seorang cucu Adhiyaksa. Mengintai kehidupan pribadi orang lain terasa seperti sebuah profesi yang berada di wilayah abu-abu. Namun, melihat perubahan positif pada putrinya, ia memilih untuk membiarkannya. Protesnya hanya akan memicu perang dunia baru, dan ia sudah terlalu lelah untuk itu. Ia hanya bisa berdoa dalam diam, semoga ini hanyalah sebuah fase transisi. Karena setidaknya, kini ia tak lagi melihat Sherin mengurung diri di kamar. Sherin banyak menghabiskan waktu di kantor atau di lapangan, sering pulang larut malam dengan wajah lelah namun mata yang hidup. Itu sudah lebih dari cukup untuk Tiara saat itu.
Waktu terus berjalan hingga tak terasa enam bulan berlalu. Suasana di kantor mulai berubah. Hiruk pikuk laporan dan investigasi kini diselingi oleh bisik-bisik dan diskusi tentang masa depan. Memasuki fase-fase menuju tahun ajaran baru, Sherin mulai melihat rekan-rekannya membawa brosur universitas, membandingkan jurusan, dan merencanakan hidup mereka selanjutnya. Ia melihat para pasukan intel di sekelilingnya, yang meski sibuk dengan pekerjaan, ternyata punya ambisi besar untuk melanjutkan kuliah sarjana.
Di sinilah Sherin kembali ditampar oleh realita yang berbeda. Rekan-rekannya di sini datang dari berbagai latar belakang. Tak semuanya lulusan sekolah elit seperti dirinya. Ada beberapa anak SMA berprestasi yang langsung melamar kerja di sini dan lolos. Ada yang dulunya bekerja serabutan tapi punya bakat alami dalam membaca gestur tubuh. Seleksi di perusahaan intel ini memang ketat, tapi jalurnya unik. Kemampuan psikologi, analisa, dan bahkan hafalan Al-Quran yang kuat bisa menjadi tiket emas untuk masuk, terlebih kalau punya keahlian spesifik lainnya. Mereka adalah orang-orang yang berjuang keras untuk sampai di titik ini dan masih punya mimpi yang lebih tinggi.
Sherin melihat teman-temannya yang usianya tak jauh berbeda dengannya, sibuk mempersiapkan diri. Mereka berdiskusi dengan semangat saat makan siang, merencanakan untuk ikut kelas karyawan di kampus-kampus swasta di Jakarta. Hanya beberapa yang paling ambisius dan percaya diri yang berani membidik kampus negeri. Melihat semangat mereka, melihat tujuan hidup mereka yang begitu jelas, Sherin tentu jadi merasa malu bukan? Ia, yang memiliki semua privilese di dunia—keluarga kaya, otak cemerlang, dan akses pendidikan terbaik—justru berdiri di antara mereka sebagai satu-satunya orang yang tidak punya rencana, tidak punya mimpi.
Perasaan itu semakin menusuk saat ia memikirkan adiknya. Ya, Haykal. Adiknya itu tahu persis apa yang ia inginkan sejak kecil. Bola adalah napasnya, lapangan hijau adalah dunianya. Bakatnya terlihat, dan keluarga mendukung penuh. Kala itu, Haykal sedang berada di Eropa, menimba ilmu di salah satu sekolah sepak bola terbaik. Jalannya lurus dan jelas. Lah, ia? Ia merasa seperti sebuah kapal tanpa kompas, terombang-ambing di lautan luas, hanya bergerak ke mana pun angin membawanya. Dari Al-Azhar, terdampar di dunia intel, dan kini kembali bingung di persimpangan jalan.
Akhirnya, didorong oleh rasa malu dan iri itu, ia mulai berpikir. Ia pun tak tahu mau jadi apa. Satu-satunya inspirasi yang bisa ia lihat adalah lingkungan terdekatnya. Ia melihat Babanya bekerja. Babanya seorang pebisnis. Punya jaringan toko buku di mana sebagian besar adalah karyanya sendiri yang dijual. Punya perusahaan travel haji dan umrah yang besar juga. Aminya juga pebisnis fashion yang luar biasa sukses. Lalu ia memandang lebih luas lagi, ke silsilah keluarganya. Om Farrel, Om Ferril, Tante Fasha, hampir semuanya berkecimpung di dunia bisnis atau setidaknya mengelola aset mereka dengan cara bisnis.
Maka, sebuah kesimpulan yang paling logis dan paling dangkal pun muncul di kepalanya. Akhirnya, ya, ia akan coba--coba berpikir untuk kuliah di jurusan bisnis. Sebuah pilihan yang aman, sebuah jalur yang sudah terbukti berhasil di keluarganya.
Suatu sore, saat sedang rehat, ia duduk melingkar bersama beberapa teman dekatnya di pantry kantor. Mereka saling bertanya, mau masuk jurusan apa dan apa alasannya. Rina, temannya yang jago IT, dengan semangat bercerita ingin masuk Teknik Informatika agar bisa menjadi cybersecurity expert. Bima, yang pendiam tapi tajam analisanya, ingin masuk Psikologi agar bisa menjadi profiler andal. Lalu, tiba giliran Sherin.
"Gue? Kayaknya mau coba ambil Bisnis, deh," katanya, mencoba terdengar seyakin mungkin.
"Wah, keren! Kenapa milih Bisnis, Sher?" tanya Rina.
Sherin terdiam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal. "Ya... soalnya Baba sama Ami juga pebisnis. Kayaknya seru aja, gitu."
Alasan itu keluar begitu saja. Dan di telinga teman-temannya yang punya motivasi kuat, alasan itu terdengar begitu kosong. Tawa mereka pun meledak. Bukan tawa yang mengejek, tapi tawa gemas yang membuat mereka serempak menggeleng-gelengkan kepala. Alasan yang paling tidak masuk akal di antara mereka semua adalah miliknya. Kentara sekali kalau ia tak punya tujuan hidup yang nyata jika dibandingkan dengan mereka.
"Dasar anak sultan! Milih jurusan aja karena ikut-ikutan orang tua!" ledek Bima sambil tertawa.
Sherin ikut tertawa, mencoba menutupi perasaan yang sebenarnya. "Ya, daripada pusing, kan?" balasnya ringan.
Tapi di dalam hati, tawa itu tak sampai. Hatinya justru terasa cukup sedih. Lelucon teman-temannya itu seperti sebuah cermin yang memantulkan kebenarannya dengan sangat jelas. Memang benar, ia tak tahu mau jadi apa. Pilihan untuk kuliah bisnis ini pun bukan lahir dari sebuah hasrat, melainkan dari sebuah rasa malu karena tidak memiliki apa-apa untuk dikejar.
***