Jalan Keluar yang Tak Terduga

1011 Words
Masih di delapan tahun lalu. Rumah megah di Tangerang itu terasa seperti sebuah mausoleum yang indah. Udara di dalamnya berat dan suram, seolah semua kebahagiaan telah tersedot keluar melalui jendela-jendela besarnya. Gema dari pertengkaran hebat antara ibu dan anak beberapa hari yang lalu masih terasa menggantung di setiap sudut ruangan. Piring-piring di meja makan mungkin masih tertata sempurna, bunga-bunga segar di dalam vas mungkin masih diganti setiap hari, namun kehangatan sebuah rumah telah hilang, digantikan oleh keheningan yang canggung dan dingin. Tiara jelas merasa terpukul. Lebih dari sekadar terpukul, ia merasa dikhianati. Bukan oleh suaminya, tapi oleh darah dagingnya sendiri. Ucapan Sherin malam itu, tentang mimpi yang dipaksakan, terasa seperti sebuah belati yang menancap tepat di jantung keibuannya. Awal-awal setelah pertengkaran itu, amarah masih menjadi emosi dominannya. Ia akan melewati kamar Sherin yang tertutup rapat tanpa melirik sedikit pun. Ia akan sengaja menyibukkan diri di studio desainnya, menenggelamkan diri dalam sketsa dan guntingan kain, mencoba mengabaikan rasa sakit yang menggerogotinya. Dua musuh tapi sebetulnya saling menyayangi. Izzan, suaminya, tentu saja mencoba menjadi penengah. Di keheningan malam, di kamar tidur mereka, ia akan mencoba memberikan pengertian pada istrinya. "Kita tidak bisa memaksanya, Dek," katanya suatu malam, suaranya lembut. "Mungkin cara kita memang salah. Kita terlalu fokus pada apa yang kita anggap terbaik, sampai kita lupa bertanya apa yang sesungguhnya ia inginkan." Tapi Tiara masih bergeming. Baginya, ini bukan sekadar masalah pilihan. Ini masalah rasa syukur. Bagaimana bisa Sherin menyia-nyiakan kesempatan emas di Al-Azhar, sebuah tempat yang ia sendiri-Tiara-impikan sejak muda namun tak pernah bisa ia raih? Ya andai bisa mengulang waktu, Tiara justru ingin seperti Sherin. Tapi ia dididik dengan didikan berbeda oleh Daddy-nya. Tentu saja Tiara akan terus berdebat dengan Izzan soal ini. Hingga akhirnya, Mommy-nya, Saralee, ikut turun tangan. Wanita bijak berdarah Inggris-Pakistan itu datang dari kediamannya di Depok, seolah indra keenamnya bisa merasakan badai yang terjadi di rumah putrinya. Saralee tidak banyak bicara pada awalnya. Ia hanya menemani Tiara di studionya, mengamati putrinya itu bekerja dengan energi yang dipaksakan. "Kamu tahu, kamu sangat mirip dengannya, Ya," ucap Saralee suatu sore, sambil menyeruput tehnya. "Siapa, Mom? Sherin?" tanya Tiara ketus. "Aku tidak pernah membantah seperti itu." Saralee tersenyum tipis. "Bukan. Kamu mirip dengan dirimu sendiri saat seusianya." Tiara berhenti menggunting kain. Ia menatap ibunya dengan dahi berkerut. "Mommy paham ego seorang orang tua. Kita ingin yang terbaik untuk anak kita. Kita takut. Ada rasa khawatir yang luar biasa karena ia anak perempuan. Mommy juga dulu begitu terhadapmu," lanjut Saralee. "Meski kamu bukan anak kandung Mommy, rasa khawatir itu sama saja." Saralee menatap lurus ke mata Tiara. "Bukankah kamu juga persis seperti Sherin dulu? Sebelum kamu memutuskan jalan hidupmu sendiri? Mommy ingat sekali, saat kau masih kuliah di UPH, kamu pacaran cukup lama dengan dosenmu itu. Siapa namanya? Galang, bukan?" Tiara terdiam. Sebuah kenangan dari masa lalu yang jarang ia ungkit, kini dihidangkan kembali di hadapannya. "Zaman kamu belum berhijab," sambung Saralee lagi, nadanya tidak menghakimi, hanya menyatakan fakta. "Kamu jauh lebih centil dibandingkan Sherin sekarang. Jauh lebih berani. Kamu mewarnai rambutmu, memakai pakaian yang menurut Daddy-mu terlalu terbuka. Kamu juga punya duniamu sendiri." "Itu berbeda, Mom," sanggah Tiara, suaranya melemah. "Ya, memang berbeda," Sara mengangguk, menyetujui. "Dan di situlah letak ketakutanmu yang sebenarnya, kan? Mommy akui, kamu dulu memang tidak sepolos Sherin. Dalam artian, kamu punya insting yang lebih tajam. Kamu masih bisa memilah mana orang baik dan mana yang hanya ingin memanfaatkanmu. Kamu tahu caranya membatasi diri dengan siapa harus bergaul. Duniamu lebih luas, lebih beragam." "Berbeda dengan Sherin," lanjut Saralee, kini suaranya melembut penuh empati. "Anak itu, dunianya selama belasan tahun kita yang membentuk. Pesantren, Gontor. Lingkungannya sangat homogen, sangat agamis. Ia tidak terbiasa bertemu dengan beragam jenis orang, beragam jenis niat. Jadi, kepekaannya untuk membaca bahaya jelas berbeda denganmu dulu. Kamu takut Sherin terjerembab ke pergaulan yang salah karena ia terlalu naif untuk melihat serigala berbulu domba. Wajar, kan, kamu takut?" Kata-kata Saralee berhasil meruntuhkan dinding kemarahan Tiara. Air matanya akhirnya luruh. Ya. Itulah ketakutannya yang paling dalam. Bukan sekadar gelar dari Al-Azhar yang hilang, tapi ketakutan melihat putrinya yang polos itu hancur karena salah melangkah di dunia luar yang kejam, dunia yang tak pernah benar-benar ia siapkan untuk dihadapi Sherin. Setidaknya, di tahun yang penuh gejolak itu, meski Sherin terpuruk di dalam kamarnya, tak tahu arah hidupnya akan ke mana, masih ada Izzan. Babanya menjadi satu-satunya sandaran. Izzan tidak pernah memarahinya lagi. Ia hanya akan mengetuk pintu kamar Sherin setiap waktu makan, membawakannya makanan, atau sekadar duduk di sampingnya dalam diam. Ia membimbing dan mendukung apapun yang putrinya mau, selama itu membuatnya mau keluar dari kamarnya, mau tersenyum lagi. Hingga suatu hari, setelah melihat putrinya hanya menghabiskan waktu dengan melamun selama hampir dua bulan, sebuah ide gila melintas di benak Izzan. Sherin butuh sebuah struktur. Sebuah tantangan. Sesuatu yang bisa menyibukkan pikirannya dan membangkitkan kembali kecerdasannya yang terpendam. Sesuatu yang jauh dari sorotan keluarga besar Adhiyaksa. Malam itu, Izzan menelepon Farrel Adhiyaksa, putra jenius dari Om Fadlan yang merupakan sepupu Tiara. Hubungan mereka cukup dekat. "Rel, Abang boleh minta tolong?" ucap Izzan langsung ke intinya. "Tentu, Bang. Ada apa?" jawab suara Farrel yang selalu terdengar tenang dan efisien. "Ini soal Sherin," Izzan menarik napas. "Dia... butuh kegiatan. Sesuatu yang menantang, yang bisa membuatnya fokus dan lebih terbuka pikirannya. Abang dengar, perusahaan intel di bawah Manggala yang dipegang Rain, adikmu, sedang butuh banyak orang?" Farrel terdiam sejenak di seberang sana, memproses permintaan yang tidak biasa itu. "Daripada Sherin hanya menganggur di rumah, Rel," lanjut Izzan. "Siapa tahu di sana ia bisa menemukan sesuatu. Belajar tentang kehidupan nyata, belajar tentang manusia. Abang hanya ingin dia punya tujuan lagi." Permintaan itu, yang datang dari seorang ayah yang putus asa, akhirnya disetujui. Dengan koneksi Farrel yang luar biasa dan posisi Rain sebagai kepala divisi, prosesnya berjalan dengan cepat dan senyap. Itulah awal mula Sherin Adhiyaksa, gadis lulusan Gontor yang nyaris menjadi mahasiswi Al-Azhar, secara tak terduga melangkahkan kakinya masuk ke dalam dunia intelijen yang penuh rahasia dan intrik. Sebuah jalan keluar yang diberikan ayahnya, yang tanpa sadar, justru membentuknya menjadi pribadi yang lebih rumit dan lebih pandai menyembunyikan lukanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD