Delapan tahun lalu. Panggilan telepon dari Kairo itu datang seperti badai di tengah malam yang tenang. Bukan sekali, tapi berkali-kali, selama berminggu-minggu. Setiap deringnya adalah sebuah simfoni keputusasaan dari putri sulungnya, Sherin. Awalnya Izzan mencoba tegar. Ia menasihati, membujuk, bahkan sedikit mengeraskan suaranya, berpikir ini hanyalah sebuah kejutan budaya yang biasa dialami mahasiswa baru di negeri orang. Namun, tangisan di seberang telepon itu semakin menjadi-jadi, semakin parau, hingga akhirnya berubah menjadi rengekan lirih yang terdengar seperti rintihan jiwa yang sekarat.
Hati seorang ayah, sekeras apa pun baja yang melapisinya, akan luluh menjadi air saat berhadapan dengan air mata anak perempuannya. Dan Izzan, hatinya memang lemah kalau sudah berhadapan dengan Sherin. Ia selalu bisa bersikap keras dan disiplin pada Haykal, putra bungsunya, menuntutnya menjadi lelaki yang tangguh. Tapi pada Sherin, putrinya yang ia lihat sebagai perwujudan dari kelembutan dan keindahan, ia tak pernah benar-benar bisa sekeras itu. Maka, di satu malam yang sunyi, setelah panggilan telepon yang kesekian kalinya di mana ia hanya mendengar isak tangis tanpa kata, Izzan akhirnya menyerah.
Ia terpaksa mencari penerbangan paling awal ke Mesir. Tentu saja, semuanya dilakukan diam-diam. Ponselnya ia bawa ke ruang kerja, pintu ia kunci, dan jarinya dengan cepat menari di atas keyboard laptop, mencari tiket di saat rumahnya yang lain terlelap. Kalau istrinya tahu, ia tahu persis apa yang akan terjadi. Tiara, dengan prinsipnya yang kokoh dan pandangannya yang lurus tentang pendidikan dan pengorbanan, tak akan pernah mengizinkannya menjemput anak mereka hanya karena rengekan "tidak betah". Tiara akan menyebutnya memanjakan anak. Tapi Izzan tak tega. Gambaran putrinya yang sendirian dan menangis di negeri orang terasa lebih menakutkan daripada kemarahan istrinya.
Begitu tiket berhasil ia dapatkan untuk penerbangan esok lusa, ia tentu harus menyusun sebuah alasan. Pagi harinya, di meja makan, ia pamit pada Tiara. Bilangnya ada urusan dinas mendadak beberapa hari, sekalian ada undangan reuni dengan beberapa teman lamanya di Timur Tengah. Sebuah kebohongan yang ia rangkai dengan wajah setenang mungkin. Untungnya, istrinya kala itu tak curiga sedikit pun. Tiara juga sedang sangat sibuk mempersiapkan peragaan busana tunggalnya yang akan datang. Pikirannya terbagi, dan itu menjadi keuntungan bagi Izzan.
Ia terbang menuju Mesir dengan perasaan gamang yang luar biasa. Di dalam kabin pesawat yang melesat di atas awan, hatinya berkecamuk. Ia masih terus berpikir, entah apa yang sedang ia lakukan ini adalah hal yang benar ataukah sebuah kesalahan fatal. Separuh dirinya merasa seperti pahlawan yang akan menyelamatkan putrinya. Separuh dirinya yang lain merasa seperti seorang suami pengecut yang berbohong pada istrinya dan akan merusak masa depan anaknya.
Bahkan sempat terbersit di benaknya sebuah rencana kompromi. Ia tidak akan langsung membawa Sherin pulang. Mungkin ia akan membujuknya, menenangkannya, lalu setelah beberapa hari, ia akan kembali ke Indonesia sendirian, meninggalkan Sherin yang sudah kembali bersemangat untuk melanjutkan kuliah. Itu skenario idealnya. Ya, dari pada menjemputnya pulang, kan? Rencana itu terdengar bagus di ketinggian tiga puluh lima ribu kaki.
Namun, semua rencana dan skenario ideal itu hancur berkeping-keping begitu ia tiba di apartemen sederhana yang disewa untuk anaknya di Distrik Nasr City, Kairo. Begitu pintu terbuka, bau pengap dan suasana suram langsung menyambutnya. Apartemen itu berantakan. Sangat berantakan. Tumpukan pakaian kotor bercampur dengan yang bersih di sudut ruangan. Sisa-sisa makanan yang sudah mengering tergeletak di atas meja. Buku-buku tebal berbahasa Arab berserakan di lantai, beberapa di antaranya terbuka dalam posisi terbalik. Tirai jendela tertutup rapat, menghalangi cahaya matahari Mesir yang terik, membuat ruangan itu terasa seperti sebuah gua.
Dan di tengah kekacauan itu, ia melihat putrinya. Anaknya juga sama berantakannya. Sherin yang ia kenal selalu rapi dan wangi, kini terlihat kuyu. Matanya bengkak dan menghitam, hasil dari tangisan berhari-hari. Rambutnya yang biasanya tertutup hijab, kini tergerai kusut dan tak terurus. Ia hanya mengenakan daster longgar yang warnanya sudah kusam. Saat melihat Izzan berdiri di ambang pintu, ia tidak terkejut. Ia hanya menatap dengan pandangan kosong, sebelum air matanya kembali mengalir tanpa suara.
Melihat kondisi putrinya yang seperti itu, Izzan bahkan terpaksa harus membawanya ke rumah sakit terdekat. Dokter mengatakan Sherin mengalami dehidrasi dan kelelahan ekstrem. Ia harus diinfus dulu selama beberapa jam. Di lorong rumah sakit yang steril dan berbau disinfektan itu, Izzan duduk sendirian. Hatinya perih. Semua rencananya untuk bernegosiasi, untuk bersikap tegas, menguap begitu saja. Ia tak tega. Ia bahkan tak sempat bertanya apa yang sesungguhnya terjadi. Ia hanya berpikir mungkin ada masalah lain yang lebih besar. Mungkin masalah pertemanan, mungkin ada dosen yang menyulitkannya. Pikirannya mencoba untuk tetap positif.
Setelah dua jam di rumah sakit dan kondisi Sherin sedikit membaik, ia membawa putrinya itu kembali ke apartemen. Di sana, di atas sofa yang sudah ia rapikan sedikit, ia mencoba berbicara dari hati ke hati dengan Sherin. Ia bertanya dengan suara selembut mungkin, apa yang menjadi masalahnya.
Tapi jawaban Sherin masih sama, kini diucapkan dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar. Ia ingin pulang. Hanya itu. Ia sudah lelah mengamuk dan menangis pada Babanya melalui telepon selama berminggu-minggu belakangan. Tenaganya sudah habis. Ia hanya ingin pulang. Ia merasa lelah dan sesak setiap kali harus bernapas di Mesir. Hanya itu alasannya, tak ada alasan lain yang mau ia ceritakan.
Dengan berat hati yang luar biasa, Izzan akhirnya menurutinya. Hatinya hancur melihat putrinya seperti mayat hidup. Ia tak punya pilihan lain. Ia segera memesan dua tiket untuk penerbangan esok sorenya.
Tentu saja, sepanjang perjalanan pulang di dalam pesawat, hati Izzan kembali berkecamuk hebat. Kali ini, perasaannya jauh lebih buruk. Satu, ia diliputi rasa takut yang nyata pada reaksi istrinya. Tiara mungkin akan murka, dan ia tak akan bisa menyalahkannya. Kedua, ia juga tak kuat melihat kondisi Sherin yang hanya diam menatap jendela pesawat, kosong, tanpa sepatah kata pun sepanjang perjalanan. Melihat putrinya seperti ini membuatnya merasa gagal sebagai seorang ayah.
Alhasil, ketika mereka akhirnya tiba di rumah mereka di Tangerang, semua terjadi persis seperti perkiraannya. Tiara yang menyambut mereka di pintu, awalnya terkejut, lalu wajahnya berubah menjadi merah padam karena amarah.
Perang dunia benar-benar terjadi di rumah itu. Tiara meluapkan semua kekecewaan dan kemarahannya. Ia menuduh Izzan terlalu memanjakan anak, dan menuduh Sherin sebagai anak yang tak tahu diuntung, yang menyia-nyiakan kesempatan emas yang diimpikan banyak orang hanya karena alasan manja.
Sherin, yang sejak tadi hanya diam menunduk, akhirnya mengangkat wajahnya. Matanya yang tadinya kosong, kini menyala dengan api kemarahan yang dingin. Tangisnya sudah kering, kini yang tersisa hanyalah keberanian yang lahir dari keputusasaan. Kata-katanya yang keluar selanjutnya, berhasil membuat Tiara terdiam seketika.
"Itu mimpi Ami yang ingin kuliah di Al Azhar, masuk pesantren dan gontor!" ucap Sherin, suaranya bergetar bukan karena tangis, tapi karena amarah yang telah ia pendam selama bertahun-tahun. "Bukan mimpi Sherin!"
Ia menatap lurus ke mata ibunya, tatapan yang menantang dan penuh luka.
"Jangan karena Ami gak bisa melakukan semua itu, lantas memaksa Sherin untuk melakukannya!"
***