Gema dari Kesalahan Masa Lalu

1133 Words
Orang tua mana yang hatinya tidak hancur lebur? Menyaksikan menantu yang mereka pilihkan dengan penuh harapan kini duduk di hadapan mereka sebagai seorang lelaki yang kalah, adalah sebuah pemandangan yang meremukkan jiwa. Walau sebetulnya, jauh di dalam relung hati mereka yang paling jujur, mungkin keduanya sudah bisa menebak jika akhirnya akan menjadi seperti ini. Sebuah firasat yang selama ini mereka tepis dengan doa, kini telah menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Untuk yang terakhir kali, sebelum benar-benar melangkah pergi, Aksara memang pamit dengan cara yang paling terhormat sekaligus paling menghancurkan. Ia bersujud, mencium tangan kedua mertuanya bergantian, keningnya menyentuh punggung tangan mereka cukup lama. Sebuah gestur sungkem yang sarat akan permohonan maaf yang tak terucap. Setidaknya, hanya itu yang bisa ia lakukan, karena ia merasa ribuan kata maaf pun tak akan pernah cukup untuk membayar kegagalannya. Ia telah menerima seorang putri dari mereka, dan kini ia datang hanya untuk melaporkan bahwa ia belum becus menjadi suami yang baik untuk Sherin. Kini, lelaki itu sudah berada di dalam mobilnya. Mesin menyala, namun ia belum juga menginjak pedal gas. Ia hanya duduk mematung, menatap kosong ke arah gerbang rumah mertuanya yang megah. Mungkin ini adalah kali terakhir ia berada di sini. Ya, pasti ini yang terakhir. Karena ia pasti tak akan pernah sanggup untuk datang lagi ke sini, ke tempat di mana ia pernah berjanji dengan begitu gagah. Bagaimana mungkin ia bisa sanggup, heh? Mengunjungi tempat ini lagi hanya akan membuka luka yang sama, mengingatkannya pada kegagalan terbesarnya sebagai seorang laki-laki. Dengan satu tarikan napas berat, ia akhirnya memaksa kakinya untuk bekerja. Mobilnya bergerak pelan, meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan singkat dan penyesalan panjang. Ia harus tegar selama perjalanan pulang. Ia harus fokus. Setelah ini, urusannya dengan Sherin tentu belum selesai. Ada proses yang dingin dan formal menanti: perceraian di pengadilan agama. Dokumen, sidang, mediasi. Sebuah birokrasi menyakitkan yang harus ia urus untuk meresmikan perpisahan mereka di mata hukum dan negara. Pikirannya berkecamuk, mencoba menyusun langkah-langkah apa yang harus ia ambil besok atau lusa. Namun, perempuan itu, seperti biasa, selalu selangkah lebih dulu di depannya. Tepat ketika ia baru saja tiba di depan rumahnya yang gelap, saat ia bahkan belum sempat mematikan mesin mobil, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Dengan perasaan enggan, ia mengangkatnya. "Selamat sore, apa benar saya berbicara dengan Bapak Aksara?" Suara seorang perempuan yang profesional dan dingin menyapanya. "Iya, benar. Ini siapa, ya?" "Saya Amrita, dari kantor hukum Amrita & Rekan. Saya menelepon atas nama klien saya, Ibu Sherin." Dunia Aksara seolah berhenti berputar untuk kedua kalinya hari itu. Pengacara. Sherin sudah menunjuk pengacara. "Klien kami telah menginstruksikan kami untuk mengurus proses perceraian. Mengingat talak sudah dijatuhkan tadi malam, kami berharap Bapak bisa kooperatif dan segera mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama agar prosesnya bisa berjalan dengan lancar dan cepat." Aksara tak mampu berkata-kata. Ia hanya bisa mendengarkan. Perempuan itu sudah bergerak begitu cepat, begitu efisien, seolah ini adalah sebuah proyek bisnis yang harus segera diselesaikan. Tak ada ruang untuk emosi, tak ada jeda untuk berduka. "Halo, Bapak Aksara? Apakah Anda masih di sana?" "I... iya," jawabnya terbata. "Baik. Akan saya urus." Hanya itu yang sanggup ia katakan. Ia hanya bisa mengiyakan tanpa membantah sekalipun. Setelah panggilan itu berakhir, ia tak langsung turun dari mobil. Ia terpekur lama sekali di dalam kegelapan mobilnya, menatap rumahnya yang kosong dan gelap. Rumah yang seharusnya menjadi saksi ia membangun keluarga. Kini, rumah itu terasa seperti sebuah monumen kegagalan. Sebuah pertanyaan besar dan berat menghantam benaknya: Apa ia masih sanggup tinggal di rumah ini? Rumah yang bahkan tak punya banyak kenangan manis, namun setiap sudutnya kini terasa beraroma kehilangan. Haruskah ia menjualnya dan memulai dari nol di tempat lain? Tapi ke mana ia harus pergi? Sementara itu, di rumahnya yang megah di Tangerang, baba dan ami Sherin jelas masih terpukul. Begitu mobil Aksara menghilang di balik gerbang, Tiara tak bisa lagi menahan tangisnya. Ia terisak di pelukan suaminya, menumpahkan semua kegelisahan dan rasa bersalah yang ia tahan sepanjang hari. Ia tak henti-hentinya menyalahkan diri sendiri. "Ini salahku, Mas... Ini semua salahku," isaknya di sela-sela napasnya yang tersengal. "Seharusnya aku lebih tegas dari dulu. Seharusnya aku tidak membiarkannya. Seharusnya aku mendengarkan perasaanku..." Ia menyesali banyak sekali keputusan. Menyesal karena mungkin terlalu sibuk dengan butik dan peragaan busananya hingga abai pada gejolak batin putrinya. Menyesal karena telah ikut mendorong perjodohan ini, berpikir bahwa Aksara yang saleh bisa "menyembuhkan" pemberontakan Sherin. Menyesal karena tak pernah benar-benar duduk dan bertanya pada Sherin, apa yang sesungguhnya ia inginkan dari hidup ini. Suaminya, Izzan, hanya bisa mengelus punggung istrinya dengan sabar. Meski ia tampak diam dan tegar, sebetulnya di dalam hatinya juga berkecamuk badai penyesalan yang tak kalah dahsyat. Ia menyesali banyak hal. Ia menyesal karena dulu begitu terburu-buru menikahkan Sherin dengan Aksara, tanpa bertanya lebih dalam pada anaknya itu. Ia dibutakan oleh citra Aksara yang sempurna di matanya. Ia hanya berpikir kalau perjodohan itu adalah jalan pintas menuju kebahagiaan untuk Sherin. Ia hanya ingin anaknya mendapat imam yang saleh, yang bisa membimbingnya kembali ke jalan yang lurus. Hanya itu yang ia mau. Tidak lebih. Tapi tampaknya ia salah. Salah besar. Salah untuk kesekian kalinya. Ia membatin semuanya dalam diam, tak ingin menambah beban di hati istrinya yang sudah hancur. Pikirannya melayang kembali. Jauh ke belakang, pada satu malam beberapa tahun yang lalu. Malam di mana retakan pertama itu muncul dengan begitu jelas, namun ia gagal memahaminya. Ia juga ingat hari di mana Sherin mengamuk via telepon. Saat itu Sherin baru tiga bulan berada di Mesir, di Universitas Al-Azhar yang begitu ia banggakan. Panggilan internasional di tengah malam itu membangunkannya. Di seberang sana, bukan suara putrinya yang ceria yang ia dengar, melainkan suara isak tangis yang sarat akan amarah dan keputusasaan. Sherin merengek minta pulang ke Indonesia. Ingin berhenti kuliah di sana. Saat Izzan bertanya apa alasannya, Sherin tak bisa memberi jawaban yang logis. Hanya "tidak betah", "tidak suka", "ini bukan duniaku". Lalu, bendungan itu pun jebol. Anaknya mengeluarkan semua unek-unek yang rupanya telah ia tahan sejak ia masih kecil. "Baba pikir Sherin ini robot?!" teriaknya di telepon, suaranya pecah. "Yang bisa diatur dan diprogram sesuka hati Baba dan Ami?! Pesantren, Gontor, sekarang Mesir! Kapan Sherin boleh memilih jalan Sherin sendiri?!" Izzan tertegun mendengarnya. "Tapi kamu tidak pernah menolak, Nak. Kamu selalu menurut." "Karena Sherin takut! Karena Sherin tidak mau mengecewakan Baba dan Ami!" raungnya lagi. "Hanya karena Sherin diam, bukan berarti Sherin setuju! Sherin muak! Sherin benci kehidupan ini! Sherin mau pulang!" Itu adalah ledakan pertama. Sebuah pemberontakan tiba-tiba setelah belasan tahun kepatuhan yang sempurna. Saat itu, Izzan melihatnya sebagai sebuah tantrum, sebuah kejutan budaya dari seorang anak manja yang tak siap menghadapi kerasnya dunia. Ia menasihatinya, membujuknya, bahkan sedikit mengancamnya. Ia sama sekali tidak melihatnya sebagai sebuah teriakan minta tolong yang tulus dari jiwa yang tertekan. Dan kini, Izzan sadar, di situlah letak kesalahan terbesarnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD