Rumah megah di kawasan Tangerang itu terasa dingin. Bukan karena pendingin ruangan yang diatur pada suhu rendah, melainkan karena keheningan yang membeku di dalamnya. Tiga orang duduk di ruang tamu yang luas dan ditata dengan selera sempurna, namun jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang tak terseberangi. Di sofa tunggal, Aksara duduk dengan punggung yang tidak berani ia sandarkan. Kepalanya terus menunduk, matanya terpaku pada pola rumit karpet Turki di bawah kakinya, seolah di sanalah seluruh jawaban atas kegagalannya terukir.
Di seberangnya, di atas sofa panjang yang empuk, duduklah dua orang yang paling ia hormati sekaligus paling ia takuti saat ini. Tiara dan Izzan. Suaminya, Izzan, duduk dengan punggung tegap, wajahnya tenang seperti biasa, namun sorot matanya tajam mengamati setiap gerak-gerik menantunya. Sementara Tiara, sang istri, duduk sedikit lebih maju di tepi sofa, tangannya saling meremas di pangkuan, seluruh postur tubuhnya adalah sebuah teriakan tanpa suara dari kecemasan yang telah ia pendam sepanjang hari.
Keduanya tak bertanya apa pun sejak Aksara tiba lima belas menit yang lalu. Tak ada basa-basi Lebaran, tak ada pertanyaan "bagaimana kabarmu?". Mereka hanya mempersilakannya masuk, menawarinya minum yang tak ia sentuh, lalu duduk dalam keheningan yang mencekik ini. Keheningan ini jauh lebih menyakitkan daripada rentetan amarah. Keheningan ini adalah sebuah ruang hampa di mana Aksara dipaksa untuk mengonfrontasi bayangannya sendiri, untuk mendengar degup jantungnya yang berdebar tak karuan, untuk merasakan keringat dingin yang mulai membasahi punggung kemeja kokonya.
Aksara belum bicara satu patah kata pun, tapi hati Tiara sudah hancur berkeping-keping. Firasatnya sepanjang hari kini telah menemukan wujudnya yang paling nyata dalam sosok menantunya yang tertunduk lesu itu. Wajah yang penuh rasa bersalah, bahu yang merosot seolah menanggung beban seluruh dunia, dan mata yang ia yakin pasti memerah di balik tunduknya. Tiara tidak perlu mendengar pengakuan. Sebagai seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan Sherin, ia tahu. Kali ini, ia yakin seyakin-yakinnya, rumah tangga anaknya yang baru seumur jagung itu benar-benar telah hancur.
Sementara itu, di dalam kepalanya, Aksara sedang berperang. Ia mencoba merangkai kata, mencari kalimat pembuka yang paling tepat, yang paling tidak menyakitkan. Tapi tak ada. Tak ada cara yang lembut untuk menyampaikan sebuah kehancuran. Ia teringat janjinya setahun yang lalu, di ruangan yang sama ini, saat ia datang dengan gagah berani meminta izin untuk menikahi putri mereka. Ia berjanji akan membahagiakan Sherin, akan menjaganya, akan menjadi imam yang baik. Dan kini, ia kembali sebagai seorang pecundang yang telah gagal menepati semua janjinya.
Akhirnya, setelah menarik napas dalam-dalam yang terasa membakar paru-parunya, ia mengangkat wajahnya. Ia mendongak. Dan saat itulah Tiara melihatnya dengan jelas. Mata itu. Sepasang mata yang biasanya teduh dan penuh optimisme, kini memerah, berkaca-kaca, dan sarat akan penyesalan yang begitu pekat.
"Maaf... Ami... Baba," suaranya keluar serak, nyaris bergetar. Ia menelan ludah, mencoba menguatkan dirinya. "Aksara... Aksara belum bisa menjadi suami yang baik untuknya."
Hanya itu. Hanya itu yang sanggup ia katakan. Satu kalimat pengakuan yang merangkum satu tahun penuh kegagalan, kesabaran yang sia-sia, dan harapan yang pupus. Di dalam hatinya, Aksara jelas menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa gagal total. Gagal sebagai suami, gagal sebagai lelaki, gagal sebagai imam. Ia merasa tak cukup mampu untuk mengubah hati Sherin yang sejak awal tak pernah benar-benar ada untuknya. Hatinya tak pernah ia dapatkan, bahkan sekadar untuk menyentuh jemarinya tanpa penolakan pun terasa seperti sebuah kemewahan. Ia gagal membuat perempuan itu melihatnya, meliriknya sedikit saja sebagai seorang suami.
Kini, penyesalan itu meluap. Bukan hanya menyesali perpisahan ini, tapi menyesali setiap momen di mana ia seharusnya bisa lebih tegas, atau mungkin lebih lembut, atau mungkin... entahlah. Ia tidak tahu lagi. Penyesalan itu begitu besar hingga matanya terasa panas, dan bendungan yang sejak tadi ia tahan, kini benar-benar siap untuk jebol.
Suasana di rumah itu sempat hening total setelah pengakuan Aksara. Seolah waktu berhenti berputar. Hanya terdengar suara detik jam antik yang berdiri di sudut ruangan, menghitung setiap detik yang terasa begitu panjang. Hingga akhirnya, keheningan itu pecah. Bukan oleh suara amarah atau pertanyaan yang menusuk. Tapi oleh suara isak tangis yang tertahan.
Dengan perlahan, yang ia dengar adalah isak tangis ibu mertuanya. Tiara menutupi mulutnya dengan kedua telapak tangan, bahunya bergetar hebat. Ia menangis tanpa suara, sebuah tangisan yang jauh lebih menyakitkan daripada raungan sekalipun. Itu adalah tangisan seorang ibu yang impiannya untuk melihat putrinya bahagia dalam sebuah pernikahan yang sakinah, telah runtuh di depan matanya.
Sementara Baba Izzan, jelas lebih kuat dan tegar dalam menghadapi hal ini. Lelaki itu tidak bergerak dari posisinya. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Aksara, namun bukan dengan tatapan menghakimi. Ada kesedihan yang dalam di sana, tapi juga ada pemahaman yang luar biasa. Ia tidak bertanya, "Di mana Sherin sekarang?". Ia tidak melontarkan pertanyaan klise yang hanya akan menambah beban di pundak menantunya. Seakan-akan, tanpa perlu dijelaskan pun, ia sudah bisa berpikir dan menebak ke mana putrinya itu pergi. Ia tahu betul sifat dan keras kepalanya Sherin. Anaknya itu pasti sudah kabur dari rumah Aksara.
Justru, yang terjadi selanjutnya adalah sesuatu yang sama sekali tidak Aksara duga. Izzan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.
"Aksara," panggilnya, suaranya tenang namun berat. "Lihat Baba."
Aksara memberanikan diri mengangkat wajahnya yang sudah basah.
"Atas nama Sherin, atas nama keluarga kami," lanjut Izzan dengan suara yang tegas namun penuh empati. "Baba yang minta maaf padamu, Nak."
Aksara tertegun. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan ini yang ia harapkan. Ia datang untuk dimarahi, untuk disalahkan, untuk menanggung semua konsekuensi. Tapi yang ia dapatkan justru sebuah permintaan maaf.
"Baba yakin, dalam hal ini, putri kamilah yang lebih banyak menyakitimu," kata Izzan lagi. "Kami yang gagal mendidiknya menjadi istri yang tahu caranya berbakti. Maafkan kami, Nak. Maafkan Sherin."
Permintaan maaf itu, yang datang dari seorang ayah mertua yang begitu ia hormati, terasa seperti sebuah pukulan godam yang menghancurkan sisa pertahanan terakhir Aksara. Kebaikan dan pengertian di tengah badai ini terasa jauh lebih menyakitkan daripada amarah. Air mata yang sejak tadi ia tahan, akhirnya benar-benar tumpah. Ia menunduk dalam-dalam, membiarkan tangis tanpa suara itu mengguncang tubuhnya, menumpahkan semua rasa sakit, kegagalan, dan kelegaan yang aneh karena telah dimengerti. Di dalam rumah yang dingin itu, tiga hati sama-sama hancur, meratapi sebuah akhir yang tak pernah mereka inginkan.
***