Kesimpulan di Ujung Mata

1113 Words
Daniel memarkir motor hijau zaitunnya di sudut parkiran motor Fakultas Teknik yang selalu riuh. Mesin ia matikan, namun deru adrenalin dari kejadian tadi masih terasa bergemuruh di dalam dadanya. Ia melepas helmnya, mengacak-acak rambutnya yang sedikit lembap, dan tanpa sadar, matanya mencari sosok gadis yang baru saja ia antar. Di kejauhan, ia melihat punggung Sherin yang berjalan dengan langkah yang kini terlihat lebih mantap menuju gedung fakultasnya. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Gila. Cewek itu benar-benar gila. Sejujurnya, kalau Daniel mau mengakui, ia tak begitu tertarik pada awalnya dengan Sherin. Sama sekali bukan tipenya. Saat pertama kali melihatnya di masa orientasi, kesan pertamanya adalah… biasa saja. Ya, seorang mahasiswi baru berhijab. Pakaiannya selalu longgar, warnanya aman—hitam, abu-abu, biru dongker. Tidak ada sentuhan fashion sama sekali. Caranya memakai hijab pun yang paling sederhana, dililit sekali tanpa gaya apa pun. Cantik? Ya, lumayanlah di matanya. Ada manisnya, tapi tidak sampai membuatnya menoleh dua kali. Mungkin karena tipe ideal Daniel sebetulnya sangat spesifik, sebuah selera yang terbentuk dari ribuan jam menonton drama dan video musik: gadis-gadis yang putih, imut, dengan senyum manis dan gaya berpakaian seperti idola dari Korea. Sherin sama sekali tidak seperti itu. Daniel, yang otaknya selalu analitis jika menyangkut hal-sepele seperti ini, pernah mencoba memecahkan teka-teki penampilan Sherin. Ia tahu dari gosip yang beredar bahwa Sherin adalah bagian dari klan Adhiyaksa yang legendaris itu. Dan dari apa yang ia lihat di media sosial, banyak perempuan di keluarga itu yang memiliki aura blasteran yang kental. Tapi Sherin? Ia terlihat sangat lokal. Wajahnya lebih dominan mewarisi garis-garis Jawa yang lembut, dengan kulit sawo matang yang bersih, persis seperti yang sering ia lihat di foto-foto Babanya, Izzan, sang penulis terkenal itu. Ya, gosipnya kan Babanya Sherin itu 'Jowo tulen'. Daniel pernah mendengar obrolan rumit tentang silsilah ini dari teman-temannya yang selalu kepo. Katanya, Ami-nya Sherin, Tiara, itu sebetulnya anak dari istri pertama Opanya, Feri Adhiyaksa. Namanya Tania, seorang blasteran Amerika-Indonesia. Nah, Feri sendiri secara fisik mewarisi perawakan kakek buyutnya, Adhiyaksa, yang meski dari Malaysia tapi punya profil Melayu dengan kulit kecoklatan yang khas, sama seperti adiknya, Aisha. Entah bagaimana perpaduan gen Feri dan Tania itu bergabung, jadilah Tiara. Orang bilang, Tiara itu 99% mirip dengan mamanya, Tania. Jadi, meski kulitnya tidak terlalu putih, masih ada sisa-sisa aura blasteran yang membuatnya terlihat sangat manis dan eksotis. Nah, Sherin ini rupanya kebagian gen dominan dari Babanya. Kulitnya segelap Babanya, struktur wajahnya pun sangat mirip Babanya, hanya mungkin bentuk matanya yang sedikit lebih besar dan alisnya yang tebal adalah sisa-sisa gen bule dari neneknya. Itu pun amat sangat sedikit. Berbanding terbalik dengan adik lelakinya, Haykal, sang bintang sepak bola, yang wajahnya ‘plek-ketiplek’ Ami-nya. Haykal mendapatkan semua gen ‘blasteran’ itu. Sherin dan Haykal hanya sama di satu hal: postur mereka yang sama-sama tinggi menjulang seperti Baba mereka. Makanya, untuk Daniel yang seleranya sudah terkalibrasi pada gadis-gadis putih ala-ala Korsel, jelas ia tak begitu tertarik pada cewek macam Sherin pada awalnya. Terlebih lagi, Sherin juga sepertinya tak pernah berdandan. Mungkin lebih tepatnya, memang tak tahu cara memakai make up. Wajahnya selalu polos, benar-benar tampil apa adanya ala gadis lulusan Gontor. Penampilannya itu membuatnya benar-benar tenggelam di antara para mahasiswi baru lainnya, apalagi jika dibandingkan dengan anak-anak FISIP atau FIB yang cantik-cantik dan modis. Hanya saja, mungkin Daniel heran dan penasaran? Ya, karena statusnya itu. Jelas ia keturunan Adhiyaksa. Tapi ia tak sepopuler yang lain. Ia tak seperti sepupu-sepupunya—anak dari para Om dan Tantenya—yang sudah jadi perbincangan bahkan sebelum mereka resmi menjadi mahasiswa. Maksud Daniel bukannya membandingkan, hanya saja Sherin sama sekali tidak terlihat mencolok. Ia seperti sengaja bersembunyi di balik nama besarnya. Dan itu, bagi Daniel, adalah sebuah anomali yang menarik. Pikirannya kembali ke kejadian tadi. Aksi Sherin mengejar pencopet, menjatuhkannya, dan membentaknya dengan garang. Gambaran itu menimpa citra ‘gadis pendiam tak terlihat’ yang selama ini ada di kepalanya. Ternyata, di balik penampilan sederhananya, ada harimau yang tertidur. Dan Daniel, secara kebetulan, adalah orang yang melihat harimau itu bangun. Tiba-tiba, Sherin menjadi seratus kali lebih menarik. Bukan karena fisiknya, tapi karena ada misteri, ada kekuatan tersembunyi. Ia bukan lagi sekadar ‘cucu konglomerat yang biasa saja’, ia adalah ‘cewek keren misterius’. Usai memarkir motornya dan merapikan rambutnya di spion, Daniel sempat mengamati Sherin dari jauh. Gadis itu berjalan sendirian, membaur dengan mahasiswa lain, dan tak ada lagi yang istimewa dari penampilannya. Seolah kejadian tadi tak pernah terjadi. Daniel tersenyum sendiri. Hingga akhirnya perhatiannya teralihkan oleh suara lain. "Danieeel!" Sebuah suara manja memanggil namanya. Daniel menoleh dan melihat Bianca, salah satu mahasiswi paling populer di jurusannya, berjalan ke arahnya. Bianca adalah perwujudan fisik dari tipe ideal Daniel: kulitnya putih porselen, rambutnya panjang dan lurus, dan gayanya sangat modis. Hari ini ia mengenakan blus berwarna peach dan rok putih. "Pagi-pagi udah senyum-senyum sendiri aja. Mikirin siapa, hayo?" goda Bianca sambil mengedipkan matanya. Daniel tertawa. "Kepo banget, sih. Ada kelas, kan? Mau bareng?" tanyanya, dengan mudah masuk ke dalam mode santai dan sedikit flirty yang biasa ia gunakan. "Boleh. Eh, tapi nanti siang temenin gue ke perpus ya? Ada buku yang mau gue cari," pinta Bianca. "Siap, Tuan Putri. Apa sih yang enggak buat lo," balas Daniel sambil tertawa. Dan di kala ia sedang tertawa lepas bersama Bianca, di saat ia sedang menikmati interaksi yang ringan dan mudah ini, tanpa sadar matanya melirik sekilas ke arah koridor gedung fakultas. Di sanalah ia melihatnya. Sherin. Gadis itu sedang berjalan bersama beberapa mahasiswi lain, dan entah kenapa, kepalanya menoleh ke belakang, tepat ke arah parkiran. Mata mereka bertemu. Hanya sepintas. Kurang dari dua detik. Daniel melihat ada perubahan di wajah Sherin, sebuah ekspresi yang tak bisa ia baca, sebelum gadis itu dengan cepat membalikkan badannya lagi dan mempercepat langkahnya, menghilang di balik tikungan koridor. Daniel sedikit tertegun. Tawanya bersama Bianca mendadak terasa hambar. Sementara itu, beberapa puluh meter dari sana, Sherin terus berjalan dengan jantung yang terasa seperti diremas. Ia menoleh ke belakang hanya karena sebuah dorongan konyol. Mungkin, hanya mungkin, Daniel juga sedang memperhatikannya pergi. Tapi yang ia lihat justru pemandangan yang seharusnya sudah ia duga. Daniel, pahlawannya hari ini, sedang tertawa lepas dengan Bianca, gadis tercantik di angkatan mereka. Mereka terlihat begitu serasi, begitu sempurna. Ya. Dalam hati, Sherin menertawakan kebodohannya sendiri. Tentu saja. Cowok seramah dan sekeren Daniel kan memang hanya menolong karena ia orang baik. Bukan karena tertarik padanya. Mana mungkin? Ia dan Bianca bagaikan bumi dan langit. Ia hanyalah gadis biasa yang kebetulan punya nama keluarga yang besar, sementara Bianca adalah bintangnya. Kesimpulan itu terasa begitu logis, begitu benar, hingga hatinya terasa perih. Euforia dan rasa seru dari petualangan pagi ini menguap begitu saja, meninggalkan rasa rendah diri yang sudah begitu akrab dengannya. Ya, kan? Hanya menolong. Tidak lebih. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD