Bisik-Bisik yang Menyebar

1126 Words
Kembali ke masa sekarang. Angin berembus membawa kabar lebih cepat daripada logika mana pun. Gosip perceraian Aksara dengan Sherin jelas menyebar dengan kecepatan kilat, sebuah fenomena yang Aksara sendiri tak habis pikir. Entah bagaimana bisa terjadi, ia juga bingung. Padahal, ia sudah berusaha sekuat tenaga menyembunyikannya, menelan semua kepedihan itu sendirian, berharap bisa menyelesaikan semuanya dalam senyap. Ia hanya memberitahu keluarga intinya di Palembang dan sahabat terdekatnya, itu pun setelah didesak dengan berbagai pertanyaan. Selebihnya, ia memilih diam. Namun, nama besar Adhiyaksa agaknya seperti sebuah magnet bagi desas-desus; sekecil apa pun riak yang terjadi, gelombangnya akan terasa hingga ke tepian yang jauh. Dua minggu telah berlalu sejak ia bersujud di kaki kedua orang tua Sherin, sebuah momen yang terasa seperti campuran antara penghormatan terakhir dan ritual penyerahan diri. Di kala itu pulalah, ia menerima panggilan resmi pertamanya ke Pengadilan Agama untuk sesi mediasi. Ia datang sendirian, mengenakan kemeja batik lengan panjang yang terasa terlalu formal dan gerah, duduk di kursi kayu yang keras dan dingin, menunggu. Ruangan itu berbau kertas tua dan keputusasaan. Hari itu, Sherin tentu tak datang. Sosoknya yang menjadi pusat dari semua kekacauan ini, memilih untuk tidak menunjukkan wajahnya. Semua telah diwakilkan pada pengacaranya, seorang perempuan cerdas dan efisien yang berbicara dengan nada datar tanpa emosi. Keputusan bulan itu adalah tak perlu ada mediasi. Pihak penggugat (melalui pengacaranya) menyatakan bahwa tidak ada lagi kemungkinan untuk rujuk, dan pihak tergugat (Aksara) tidak akan menentangnya. Aksara tentu hanya bisa menerima. Ia memang amat pasrah atas apa pun yang terjadi. Ia hanya menandatangani beberapa dokumen, mengangguk pada hakim mediator, lalu pulang dengan perasaan hampa yang semakin menjadi-jadi. Dan hari ini, sudah berlalu satu minggu penuh sejak mediasi yang gagal bahkan sebelum dimulai itu. Artinya, dalam waktu dekat, mungkin satu atau dua minggu lagi, sidang putusan akan digelar. Palu hakim akan diketuk, dan statusnya akan resmi berubah menjadi seorang duda. Ia sudah tak berharap apa-apa lagi. Harapannya sudah terkubur dalam-dalam di malam takbiran itu. Tapi setidaknya, di tengah kehancuran ini, ada satu hal yang membuatnya terenyuh. Keluarga besar Sherin sungguh berbaik hati padanya. Om Fadlan dan Tante Marissa pernah secara khusus datang ke kantornya, hanya untuk minum kopi dan memastikan ia baik-baik saja. Om Ando dan Tante Farras mengiriminya makanan hampir setiap hari. Bahkan Tante Fasha, yang kesibukannya sebagai Ibu Negara tak terbayangkan, sempat mengirim pesan pribadi yang panjang, berisi permintaan maaf dan doa. Mereka semua meminta maaf atas nama Sherin. Padahal, Aksara merasa itu semua tak perlu dilakukan. Ia merasa malu sekaligus terharu. Semua sudah terjadi. Ia sudah ikhlas. Ya, kan? Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sudah ikhlas. Dan hari ini, saat ia mencoba menjalani hidupnya senormal mungkin, gosip itu kembali menampar wajahnya. Ia sedang makan siang bersama beberapa rekan kerjanya dari kantor DPRD di sebuah restoran Padang yang ramai. Tiba-tiba, ia mendengar namanya dipanggil dari meja seberang. Ternyata itu adalah gerombolan teman-teman kampusnya dulu, beberapa di antaranya ia tahu bekerja di beberapa kantor dinas di sekitar tempat kerjanya. Ia tersenyum, bangkit sejenak dari kursinya, dan menyapa mereka dengan ramah. "Wih, reuni kecil kita di sini," katanya, mencoba terdengar ceria. Mereka tertawa dan membalas sapaannya, tapi Aksara bisa melihatnya dengan jelas. Tatapan mata mereka. Ada rasa iba, ada rasa penasaran, ada bisik-bisik yang langsung berhenti saat ia menoleh. Ia hanya menyapa beberapa menit, bertukar basa-basi singkat, lalu kembali ke mejanya. Tapi dalam beberapa menit itu, ia bisa menebak dengan pasti apa yang sedang mereka bicarakan. Karena semalam pun, sahabatnya, Rian, sudah mengiriminya pesan singkat yang membuatnya terjaga hingga larut malam. Lo cerai sama Sherin? Ya, entah bagaimana berita itu bisa tersebar begitu luas. Mungkin dari salah satu staf di Pengadilan Agama? Atau dari teman-teman pengacara Sherin? Atau mungkin dari lingkaran keluarga besar Adhiyaksa sendiri yang tak sengaja membocorkannya? Siapa pun sumbernya, kini bola salju itu sudah menggelinding. Setelah makan siang, ia pamit duluan dari mejanya bersama rekan kerjanya. Sebelum keluar dari restoran, ia sempat melambaikan tangan dan tersenyum lagi pada teman-temannya yang duduk di meja-meja lain. Sebuah pertunjukan sandiwara yang menguras energi. Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan pendingin ruangan hingga level tertinggi, dan menyandarkan kepalanya di jok. Ia tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, tapi ia bisa membayangkannya. Tentu saja, gosip tentangnya meledak begitu pintu mobilnya tertutup. Di meja-meja restoran itu, percakapan langsung berpusat padanya. "Seriusan Aksara cerai? Gila, padahal baru nikah kemarin sore rasanya." "Kasihan banget, mukanya tadi kelihatan capek gitu." "Sama Sherin, kan? Anaknya Tiara Adhiyaksa itu? Kenapa bisa cerai, ya?" "Denger-denger sih ceweknya yang aneh. Emang dari zaman kuliah juga si Sherin itu misterius banget, kan?" Bisik-bisik itu berlanjut, dan dalam hitungan jam, berita itu melompat dari satu meja ke meja lain, lalu masuk ke dalam grup-grup w******p alumni UI. Grup-grup chat yang tentu saja tidak ada Aksara di dalamnya. Pesan-pesan berantai itu menyebar, dibumbui dengan spekulasi dan informasi yang separuh benar separuh salah, hingga akhirnya sampai ke ponsel salah satu perempuan yang seharusnya mendengar berita ini langsung dari Aksara, bukan dari gosip murahan. Namanya Kasih. Sahabat perempuan yang dulu amat sangat dekat dengan Aksara sebelum ia menikah. Di sebuah ruko yang asri di kawasan Bintaro, aroma bunga lili dan mawar segar memenuhi udara. Tangan-tangan terampil Kasih sedang dengan telaten merangkai buket mawar putih dan baby's breath pesanan klien untuk acara lamaran. Ia bersenandung kecil, mengikuti alunan lagu indie yang diputar pelan dari pengeras suara. Bisnis florist yang ia rintis dari nol ini adalah dunianya, tempatnya menumpahkan kreativitas dan menemukan ketenangan. Ponselnya yang tergeletak di antara potongan-potongan daun dan pita, bergetar beberapa kali. Ia mengabaikannya, ingin menyelesaikan satu buket ini dulu. Namun, getarannya tak berhenti, menandakan ada banyak pesan masuk di grup chat teman-teman dekatnya. Dengan sedikit rasa penasaran, ia akhirnya mengelap tangannya dan meraih ponsel itu. Ia membuka grup chat bernama "Geng Rempong Sejak Maba". Isinya sudah ramai. Rina: Eh, kalian udah denger berita soal Aksara? Bima: Berita apa? Rina: Dia cerai sama Sherin. Bima: HAH? SERIUS LO? Lina: Gue juga baru denger dari anak manajemen. Katanya udah proses di pengadilan. Kasih membaca deretan pesan itu dengan dahi berkerut. Ini pasti salah. Aksara? Cerai? Tidak mungkin. Ia baru saja melihat foto pernikahan mereka tahun lalu. Terlihat sangat bahagia. Lalu, sebuah pesan pribadi masuk. Dari Rina. Lo udah tahu kalau Aksara cerai, Sih? Tentu saja ia tak tahu. Ia sedang dengan cermat memotong tangkai mawar terakhir saat membaca pesan itu. Tangannya seketika berhenti bergerak. Gunting kecil yang ia pegang terasa membeku di jemarinya. Jantungnya berdebar kencang. Ia membaca ulang pesan itu, lalu pesan-pesan di grup. Aksara. Cerai. Dua kata itu terasa tidak nyata, seperti berasal dari sebuah novel drama, bukan dari kehidupan sahabatnya sendiri. Ia tentu amat sangat kaget. Matanya membelalak menatap layar ponsel, sementara tangannya yang lain masih memegang setangkai mawar putih yang indah, bunga yang melambangkan cinta suci dan awal yang baru. Sebuah ironi yang begitu kejam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD