Kabar untuk Hati yang Pernah Patah

1099 Words
Satu minggu kemudian, keheningan yang berusaha dijaga Aksara akhirnya pecah oleh hiruk pikuk media. Berita tentang perceraiannya memang keluar bersamaan dengan keputusan resmi dari Pengadilan Agama. Sebuah portal berita hiburan yang gesit berhasil mendapatkan momen itu. Wajah Aksara yang keluar dari gedung pengadilan, mengenakan kemeja batik lengan panjang yang sama seperti yang ia pakai saat mediasi, tertangkap oleh banyak kamera. Fotonya—dengan tatapan lelah, langkah yang berat, dan senyum tipis yang dipaksakan pada wartawan—langsung menjadi sampul berita utama di berbagai platform. Judulnya pun beragam, dari yang simpatik hingga yang terang-terangan spekulatif: "Baru Setahun Menikah, Anggota DPRD Aksara Pratama Resmi Bercerai", atau "Misteri di Balik Perceraian Singkat Keturunan Adhiyaksa". Sherin? Tentu saja ia tak hadir. Bahkan bayangannya pun tak tampak. Di hari putusan yang final itu, hanya Babanya, Izzan Adhiyaksa, yang datang. Lelaki paruh baya yang berwibawa itu datang untuk menyelesaikan semua urusan administrasi dengan Aksara, menjabat tangannya dengan erat, dan menepuk bahunya dengan tatapan penuh pengertian sebelum mereka berpisah jalan. Sebuah akhir yang dingin, formal, dan kini menjadi konsumsi publik. Dan di hari yang sama dengan pemberitaan yang meledak itu, lonceng kecil di pintu toko bunga milik Kasih berbunyi, menandakan kedatangan seorang pelanggan. Tapi yang masuk bukan pelanggan, melainkan Rina, sahabatnya, dengan wajah panik dan ponsel di tangan. Tentu saja mereka berdua, Rina dan Kasih, adalah sesama anak FISIP UI angkatan Aksara. Mereka berada dalam lingkaran pertemanan yang sama. Bahkan, bisa dibilang mereka adalah salah dua orang terdekat Aksara di masa-lalu. Tapi Rina tak pernah sedekat Kasih. Hubungan Kasih dan Aksara dulu adalah sebuah legenda kecil di antara teman-teman mereka. Mereka begitu klop, begitu nyambung, selalu bersama ke mana-mana. Orang-orang selalu bilang mereka adalah dua sahabat yang hanya menunggu waktu yang tepat untuk saling mencintai dan akhirnya berjodoh. Sebuah asumsi yang diam-diam Kasih amini dan simpan dalam hatinya sebagai sebuah harapan. Tapi nyatanya, takdir berkata lain. Tiba-tiba, lebih dari setahun yang lalu, dalam sebuah sesi kumpul rutin di kafe biasa, Aksara datang dengan wajah berbinar dan mengumumkan bahwa ia akan segera menikah. Bukan dengan Kasih. Tapi dengan seorang perempuan bernama Sherin. Hari itu, adalah hari patah hatinya Kasih yang paling hening dan paling dalam. Dan hari ini, Rina tentu datang untuk membawa kembali gosip itu ke permukaan. Ia datang dengan misi seorang teman yang peduli, tapi juga dengan rasa penasaran seorang pengamat drama. Ia mencoba mengorek, mencari tahu masalah apa yang sebenarnya membuat pernikahan impian itu hancur berkeping-keping. Tapi ia mengoreknya dari Kasih, orang yang ia anggap paling tahu tentang Aksara. "Sih, lo udah liat beritanya? Gila, kan? Gue nggak nyangka banget," serbu Rina tanpa basa-basi, sambil menunjukkan layar ponselnya. Kasih yang sedang menyemprotkan air pada barisan bunga mawar hanya melirik sekilas. Ia sudah melihatnya sejam yang lalu. "Udah," jawabnya singkat. "Kok bisa, ya? Kenapa? Aksara ada cerita sama lo?" kejar Rina. Kasih meletakkan botol semprotnya dan menghela napas. Ia membalikkan badan, menyandarkan pinggulnya di meja kerja yang dipenuhi kelopak bunga. "Gue gak tahu, Rin. Bener-bener gak tahu apa-apa," ucapnya jujur. "Lo tahu sendiri, Aksara nikah pun gue gak datang." Ya. Mana sanggup ia datang? Dalam kondisi hatinya yang hancur berkeping-keping, menyaksikan lelaki yang ia cintai dalam diam mengucap janji suci untuk perempuan lain adalah sebuah siksaan yang tak ingin ia timpakan pada dirinya sendiri. Ia memilih untuk menghilang sejenak dari kehidupan Aksara, memberinya selamat hanya melalui sebuah pesan singkat yang terasa begitu formal dan palsu. Rina menatap sahabatnya itu dengan iba. Ia juga merasa bersalah. Dulu, ialah yang paling getol "menjodohkan" Kasih dan Aksara. Setiap kali Aksara menunjukkan perhatian kecil pada Kasih, Rina akan langsung menyikut lengan Kasih sambil berbisik, "Tuh, kan! Kode keras itu!". Omongannya yang amburadul dan penuh semangat itu tanpa sadar ikut membangun istana harapan di hati Kasih. Karena ya, siapa yang tak akan salah sangka melihat sikap Aksara yang begitu gentle, begitu perhatian, dan begitu nyambung dengan Kasih? "Tapi sekarang jujur deh," kata Rina, nadanya kini sedikit lebih lembut namun tetap menyelidik. "Lo... lo pasti ada rasa senangnya, kan, Aksara cerai?" Kasih terpekur mendengar pertanyaan itu. Tangannya yang tadinya diam, kini secara tak sadar memetik satu kelopak mawar yang layu. Senang? Kata itu terasa tidak pantas. Selama setahun belakangan, ia sudah berusaha keras untuk mengikhlaskan, untuk mendoakan kebahagiaan sahabatnya itu dari jauh. Ia mencoba menyibukkan diri dengan toko bunganya, membangun mimpinya sendiri. Tapi ia juga tak bisa munafik. Jauh di dalam hatinya yang pernah terluka, ada sebuah percikan kecil. Bukan rasa senang atas penderitaan orang lain, tapi sebuah bisikan jahat yang berbunyi: "Aku benar. Mereka memang tidak cocok." "Coba lo chat Aksara, Sih," desak Rina, melihat kebisuan Kasih sebagai sebuah celah. "Sekarang momennya pas banget. Dia lagi butuh teman. Ya, kan, siapa tahu bisa deket lagi kayak dulu? Sekadar nanya kabar aja dulu, basa-basi." Kasih menggeleng cepat. "Enggak, ah. Nggak enak, Rin. Dia lagi susah." Ia juga masih terluka atas apa yang terjadi lebih dari setahun lalu. Sikap Aksara yang tiba-tiba mengumumkan pernikahan tanpa pernah memberinya petunjuk apa pun sebelumnya, terasa seperti sebuah pengkhianatan bagi persahabatan mereka. Meskipun sekarang Aksara kembali sendiri, ia merasa bukan berarti lelaki itu akan langsung mau kembali padanya. Ia tak mau terlihat seperti sedang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Tapi yang namanya Rina, memang selalu menggebu-gebu dan tak suka berpikir panjang. Ia terus mendesak Kasih, memberinya seribu satu alasan mengapa ini adalah waktu yang tepat. Tapi Kasih, yang sudah tak seberani dan sepercaya diri dulu, memilih untuk tetap bungkam dan menggelengkan kepala. Rina akhirnya menghela napas, menyerah untuk sementara. "Tapi setidaknya feeling gue bener, Sih," katanya, mencoba menghibur sekaligus membenarkan teorinya sendiri. "Aksara sama mantan istrinya itu emang gak cocok dari awal. Jauh lebih cocokan sama elo. Ya, kan?" Kasih hanya diam. Ia tak menjawab. Namun, hatinya berkata lain. Pikirannya melayang kembali pada hari di mana ia dan teman-temannya pertama kali mendengar siapa calon istri Aksara. Saat itu, mereka langsung menjadi detektif dadakan, mencari tahu segala hal tentang perempuan bernama Sherin itu. Dan ia ingat dengan jelas, dalam sesi gosip mereka yang penuh dengan informasi sepotong-sepotong, mereka tak berhenti membicarakan sosok Sherin. Mereka melihat beberapa fotonya yang beredar di media sosial dari akun kerabatnya. Kesimpulan mereka saat itu begitu kejam dan subjektif. "Ya ampun, biasa aja, ya. Gak cantik-cantik banget," kata salah satu temannya. "Terus katanya anaknya manja banget, sempat ngamuk-ngamuk pas kuliah di Mesir. Bawel dong berarti?" timpal yang lain. Intinya, bagi mereka saat itu, sosok Sherin terasa terlalu jomplang untuk Aksara yang dewasa, tenang, dan berwibawa. Mereka sepakat, itu adalah sebuah ketidakcocokan yang fatal. Dan kini, ramalan sinis mereka menjadi kenyataan. Kasih masih diam, namun hatinya berbisik, "Aku sudah tahu ini akan terjadi." Sebuah pemikiran yang membuatnya merasa sedikit menang, sekaligus merasa sangat bersalah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD