Kilas masa lalu. Delapan, tujuh, enam tahun yang lalu. Waktu terasa lebih lambat dan matahari di kampus Universitas Indonesia, Depok, terasa lebih hangat. Di koridor Gedung H Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang selalu ramai, ada satu sudut di dekat tangga yang seolah menjadi markas tidak resmi bagi sebuah kelompok pertemanan. Mereka adalah geng anak FISIP yang super aktif, sebuah konstelasi lima bintang yang selalu bersinar dengan cara mereka masing-masing.
Persahabatan itu sebenarnya bukan hanya tentang mereka bertiga—Aksara, Kasih, dan Rina. Ada dua lelaki lagi yang melengkapi formasi mereka: Bima dan Leo. Bima adalah otak di balik layar, sang strategis yang pendiam dengan kacamata tebal, partner berpikir Aksara dalam semua pergerakan politik kampus. Sementara Leo adalah sang pencair suasana, gitaris utama di band mereka yang selalu punya stok lelucon garing dan tawa yang menular. Mereka berlima tak terpisahkan. Dari mengerjakan tugas di perpustakaan hingga menghabiskan malam di warung kopi dekat stasiun, mereka selalu bersama.
Namun, di antara kelima bintang itu, ada satu yang bersinar paling terang, menjadi pusat gravitasi yang menarik semua orang ke dalam orbitnya. Dia adalah Aksara.
Aksara di masa kuliah adalah sebuah fenomena. Ia adalah paket komplet yang seolah dirancang di laboratorium untuk menjadi idola. Ganteng? Tentu. Wajahnya memiliki ketegasan yang maskulin namun diimbangi dengan senyum yang begitu ramah dan tulus, senyum yang bisa membuat mahasiswi baru salah tingkah seketika. Tapi pesonanya jauh melampaui sekadar fisik. Ia adalah tipe yang sangat ramah pada semua orang, tanpa memandang angkatan atau latar belakang. Ia akan menyapa satpam dengan nama, menanyai kabar ibu-ibu di kantin, dan dengan sabar menjelaskan materi pada adik kelas yang kebingungan.
Kebaikan dan keramahannya inilah yang seringkali menjadi pedang bermata dua. Ia sering tak sengaja membuat para wanita salah sangka, atau lebih tepatnya, ge-er—gede rasa. Sebuah sapaan hangat, sebuah pujian tulus atas presentasi di kelas, atau sebuah bantuan kecil saat ada yang kesulitan, semua itu dilakukan Aksara dengan ringan tanpa maksud tersembunyi. Namun, di mata para gadis yang mendambakannya, gestur-gestur kecil itu adalah sebuah sinyal, sebuah harapan. Akibatnya, banyak yang merasa menjadi "korbannya", menyimpan perasaan dalam diam, patah hati saat tahu Aksara ternyata hanya menganggap mereka teman biasa.
Dan daya tariknya tidak berhenti di sana. Di luar kelas, Aksara adalah seorang rockstar. Ia adalah vokalis utama dari band fakultas mereka, "Distorsi Sosial", yang dulu cukup terkenal di lingkungan UI. Setiap kali ada acara musik kampus, penampilan band mereka adalah yang paling ditunggu. Kasih ingat betul, bagaimana Aksara di atas panggung berubah menjadi pribadi yang sama sekali berbeda. Sosok mahasiswa sopan yang biasa ia lihat, berganti menjadi seorang frontman karismatik dengan suara serak yang khas. Ia akan memegang tiang mikrofon, matanya menyapu penonton, dan saat ia mulai bernyanyi, seluruh dunia seolah hening, hanya menyisakan suaranya. Setiap gadis di barisan penonton akan merasa bahwa tatapan mata itu dan lagu cinta itu ditujukan hanya untuknya.
Seolah itu belum cukup, Aksara juga cerdas dan aktif secara politik di kampus. Ia adalah orator ulung di forum-forum diskusi, pemikirannya kritis dan tajam. Keaktifannya di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) membawanya ke puncak hierarki politik mahasiswa: ia terpilih menjadi Ketua BEM FISIP UI. Sosoknya lengkap sudah: ganteng, baik hati, vokalis band, pintar, dan seorang pemimpin. Ia adalah pangeran fakultas yang nyaris tanpa cela.
Di tengah semua pesona yang menyilaukan itu, ada satu hubungan yang terlihat berbeda, lebih istimewa. Hubungannya dengan Kasih.
Bagi orang luar, mereka adalah sahabat terbaik. Tapi bagi Rina, Bima, dan Leo, ada sesuatu yang lebih di sana. Aksara memang ramah pada semua orang, tapi caranya memperlakukan Kasih berbeda. Jika mereka sedang berkumpul dan Kasih datang terlambat, Aksara akan secara otomatis menggeser tasnya untuk menyisakan tempat duduk di sebelahnya. Saat memesan minuman di kantin, ia akan memesan es teh manis tanpa gula untuk Kasih tanpa perlu bertanya, karena ia hafal.
Kasih ingat satu sore saat ia sedang demam tapi memaksakan diri datang ke kampus untuk menyerahkan tugas penting. Aksara, yang mengetahuinya, tiba-tiba muncul di sampingnya, meletakkan punggung tangannya di kening Kasih. "Badan lo panas banget, Sih. Ngapain maksain diri?" katanya waktu itu, nada bicaranya adalah campuran antara kekhawatiran dan omelan lembut. Hari itu, Aksara membatalkan rapat BEM-nya hanya untuk memastikan Kasih pulang dengan selamat, bahkan membelikannya bubur ayam dan obat sebelum meninggalkannya di depan gerbang kosannya.
Gestur-gestur seperti itulah yang membuat Rina tak pernah berhenti mengompori. "Lihat, kan? Dia cuma kayak gitu sama elo, Sih! Sama cewek lain mana pernah dia segitunya!" bisik Rina setiap kali mereka melihat Aksara melakukan hal-gila kecil untuk Kasih.
Ada juga momen-momen "hampir". Seperti malam itu, saat mereka berdua terjebak hujan deras di sekre BEM setelah menyelesaikan proposal acara hingga larut. Hanya berdua. Suara petir di luar dan aroma ozon yang basah mengisi keheningan di antara mereka. Mereka duduk bersebelahan, bahu mereka nyaris bersentuhan. Aksara menoleh, menatap Kasih dengan tatapan yang berbeda dari biasanya, lebih dalam, lebih intens. Jantung Kasih berdebar begitu kencang hingga ia takut Aksara bisa mendengarnya. Ia yakin, jika saja Bima tidak tiba-tiba masuk sambil mengomel karena basah kuyup, sesuatu pasti akan terjadi di antara mereka.
Aksara juga hanya curhat tentang hal-hal yang paling personal pada Kasih. Tentang tekanan dari keluarganya di Palembang yang berharap ia menjadi politisi sungguhan kelak, tentang rasa lelahnya menyeimbangkan antara kuliah, band, dan organisasi. "Kadang gue capek, Sih," akunya suatu kali saat mereka hanya berdua di tepi danau. "Capek harus selalu terlihat bisa segalanya."
Saat-saat seperti itulah yang membuat Kasih merasa istimewa. Di hadapan dunia, Aksara adalah pangeran yang sempurna. Tapi di hadapannya, ia berani menunjukkan sisi rapuhnya. Ia berani menjadi sekadar Aksara, seorang pemuda biasa yang juga punya rasa takut dan lelah.
Semua interaksi itu, semua perhatian kecil yang konsisten, semua momen kerentanan, membangun sebuah keyakinan yang kokoh di hati Kasih. Keyakinan yang selalu diamini dan diperkuat oleh Rina dan teman-temannya yang lain. Bahwa ia adalah pengecualian. Bahwa ia adalah orang yang dituju. Bahwa di antara ratusan "korban" pesona Aksara, hanya ialah pemenangnya. Harapan itu tumbuh subur, disirami oleh perhatian Aksara setiap hari, hingga akarnya menjadi begitu kuat dan dalam. Ia hanya tinggal menunggu waktu bagi Aksara untuk akhirnya menyatakannya secara resmi. Ia begitu yakin akan hal itu.
***