Namun, sekarang Kasih tentu saja tak akan sepercaya diri itu lagi. Perempuan yang dulu bisa tertawa lepas dan melempar candaan dengan Aksara tanpa beban, ini terasa seperti versi dirinya yang lebih pudar dan berhati-hati. Gara-gara ucapan Rina dan teman-temannya dulu, gara-gara keyakinannya sendiri yang ia bangun dari ribuan gestur kecil, ia sampai mengalami patah hati paling parah dalam hidupnya. Sebuah patah hati yang sunyi, yang tak pernah ia umumkan, namun meninggalkan bekas luka yang dalam. Dan sejujurnya, rasanya luka itu belum sembuh sepenuhnya, bahkan setelah ia tahu pernikahan Aksara telah berakhir. Rasanya seperti sebuah luka keloid; meski sudah tertutup, parutnya masih terasa menebal dan ngilu jika tersentuh kenangan.
Ia tak akan pernah lupa hari itu. Hari di mana Aksara, dengan senyumnya yang biasa, mengumumkan pernikahannya di tengah canda tawa teman-teman mereka. Dunianya runtuh dalam keheningan. Ia harus mengerahkan seluruh kekuatan yang ia punya hanya untuk bisa tersenyum, untuk bisa mengucapkan selamat, sementara di dalam hatinya terasa seperti ada yang direnggut paksa. Malam itu, ia pulang ke kosannya dan menangis semalaman, mempertanyakan semua hal, mempertanyakan nilainya sendiri. Itulah mengapa ia tak datang ke pernikahan itu. Ia tak akan sanggup.
Satu hal yang dari dulu, bahkan hingga detik ini, selalu menjadi pertanyaan besar baginya dan Rina adalah: apa yang membuat Aksara begitu tertarik pada Sherin?
Pertanyaan itu menggantung di udara toko bunga Kasih yang wangi, sebuah misteri yang tak terpecahkan. Karena bagi mereka, berdasarkan hasil "investigasi" detektif amatir mereka dulu, Sherin adalah sebuah anomali yang tidak masuk akal.
"Gue masih nggak ngerti, Sih," kata Rina sambil merapikan beberapa kuntum anyelir. "Inget kan dulu kita stalking IG keluarganya Sherin? Dari foto-foto keluarga besar yang kita lihat, si Sherin ini… ya gitu, kan?"
Kasih tahu persis apa maksud Rina. "Biasa aja," sahut Kasih pelan, seolah enggan mengatakannya keras-keras. Baginya, Sherin memang tak cantik dalam definisi konvensional yang mereka anut saat itu. Wajahnya manis, tapi tidak sampai membuat orang menoleh. Polos, tanpa riasan, dan gayanya sangat sederhana.
"Bukan cuma itu," tambah Rina. "Inget cerita dari anak Gontor yang satu angkatan sama dia? Katanya anaknya manja, sempat bikin heboh pas di Mesir. Terus dari cara dia keluar dari Al-Azhar, kesannya kan kayak anak yang nggak bisa diatur, suka-suka sendiri. Cablak banget lah pokoknya."
Ya, kelakuannya yang mereka simpulkan sebagai "terlalu cablak" itu menjadi bahan diskusi utama mereka dulu. Mereka mendengar cerita tentang pemberontakan Sherin dan langsung menilainya sebagai perempuan yang kekanak-kanakan dan tidak punya sopan santun. Intinya, di mata mereka, Sherin tidak punya sisi anggunnya sama sekali sebagai seorang cewek. Terlalu jomplang jika disandingkan dengan Aksara yang dewasa, tenang, dan berwibawa.
Rina masih penasaran soal itu. Ia yakin ada alasan tersembunyi, sebuah drama yang tak mereka ketahui. Tapi mereka tak pernah punya jawabannya hingga sekarang. Hanya Aksara yang tahu alasannya. Apa sebenarnya yang ia lihat dari Sherin?
Pertanyaan itu, jika saja bisa melintasi ruang dan waktu, mungkin akan menemukan jawabannya dalam sebuah memori yang tersimpan rapat di benak Aksara sendiri. Sebuah memori dari satu sore yang terik di aula universitas, jauh sebelum pertemuan di bawah pohon rindang, dan jauh sebelum insiden kejar-kejaran dengan pencopet.
Saat itu, Aksara bukanlah seorang mahasiswa yang sedang jatuh cinta. Ia adalah seorang panitia yang sibuk. Acara hari itu adalah lomba Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat universitas. Sebagai anggota departemen kerohanian di BEM fakultasnya sebelum menjabat sebagai ketua, ia ditugaskan untuk menjadi panitia penyelenggara. Ia sibuk berlari ke sana kemari, memastikan sound system berfungsi, berkoordinasi dengan dewan juri, dan mengatur urutan peserta.
Ia memang pernah mendengar nama Sherin sebelumnya. Bukan dalam konteks yang baik. Nama itu beredar di kalangan panitia dan beberapa mahasiswa lain sebagai "kuda hitam" yang aneh dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Gosip yang beredar sama seperti yang didengar Kasih dan Rina: katanya anak konglomerat yang sangat bawel dan cablak. Lulusan Gontor tapi kelakuannya manja, keluar dari Al-Azhar tanpa alasan yang jelas. Intinya, bukan gadis yang terlalu menarik untuk dibicarakan, hanya sensasional karena nama keluarganya. Aksara pun tak terlalu peduli. Ia hanya mencatat namanya di daftar peserta, tanpa punya ekspektasi apa pun.
Hingga tiba giliran peserta nomor tujuh belas, perwakilan dari FEB.
"Peserta selanjutnya, Saudari Sherin perwakilan Fakultas Ekonomi dan Bisnis," panggil pembawa acara.
Aksara yang sedang berbicara dengan teknisi audio, menoleh sekilas ke arah panggung. Ia melihat seorang gadis berjalan dengan anggun ke tengah panggung. Mengenakan gamis sederhana berwarna krem dengan hijab panjang yang serasi, wajahnya terlihat sedikit pucat dan gugup. Itukah gadis yang katanya "cablak" itu? Pikir Aksara. Penampilannya terlihat sangat jauh dari deskripsi yang ia dengar.
Sherin duduk di kursi yang telah disediakan, membetulkan posisi mikrofon, lalu menarik napas dalam-dalam. Keheningan menyelimuti aula. Lalu, ia mulai mengaji.
"A'udzu billahi minasy syaithanir rajim…"
Dan di detik pertama saat suara itu keluar, Aksara berhenti bergerak. Ia membatalkan instruksinya pada si teknisi. Seluruh perhatiannya tersedot ke panggung.
Suara Sherin… merdu. Bukan sekadar merdu, tapi jernih, bening seperti air mata pegunungan. Setiap huruf hijaiyah ia lafalkan dengan fasih, makhraj-nya sempurna, tajwid-nya terjaga dengan sangat teliti. Tapi bukan hanya tekniknya yang membuat Aksara terpukau. Ada sesuatu yang lain dalam suara itu. Ada sebuah getaran emosi yang terkendali, sebuah kepasrahan yang tulus saat ia melantunkan ayat-ayat tentang kebesaran Tuhan. Suaranya meliuk-liuk dengan indah, mengikuti irama tilawah, kadang meninggi dengan kekuatan yang mengejutkan, lalu turun lagi dengan kelembutan yang menyentuh kalbu.
Aula yang tadinya sedikit riuh, kini senyap total. Semua orang terhipnotis. Aksara berdiri mematung di sisi panggung, lupa pada semua tugasnya. Ia hanya menatap sosok gadis di atas panggung itu. Gadis yang sama yang digosipkan sebagai anak manja dan pembangkang. Tapi yang ia lihat sekarang adalah seorang perempuan dengan kedalaman spiritual yang luar biasa, yang mampu menyalurkan keindahan firman Tuhan melalui suaranya yang syahdu.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Aksara melihat Sherin yang sesungguhnya. Bukan Sherin versi gosip, bukan pula Sherin sang cicit Adhiyaksa. Tapi Sherin, seorang qariah dengan suara surgawi. Dan di sore yang terik itu, di tengah gema ayat suci yang dilantunkannya, Aksara benar-benar terpukau. Minatnya terusik, bukan oleh kecantikan fisik, bukan oleh status sosial, tapi oleh sebuah keindahan tersembunyi yang tak pernah ia duga ada. Itulah jawaban yang tak pernah diketahui Kasih dan Rina. Itulah awal dari segalanya.
***