Waspada

1352 Words
Gerald yang melihat Nadia belum beranjak dari tempatnya, harus kembali menegur gadis itu. “Gue bilang turun, lo budeg ya?” tanya Gerald lagi dengan suara dingin. “Iya, gue juga mau turun ini. Enggak sabar banget, sih!” sahut Nadia dengan ketus. Gadis itu mulai merapikan kantung plastik makanannya. “Jangan harap gue mau bukakan pintu buat lo, layaknya Tuan Putri!” ucap Gerald dengan nada sinis. Nadia yang hendak membuka pintu mobil saat itu, harus berhenti sejenak. Setelah mendengar ucapan Gerald barusan. “Hei, siapa juga yang berharap kaya gitu. Lagi pula, gue masih punya kaki dan tangan yang utuh,” sahut Nadia tak kalah sinis. Setelah mereka memasuki bangunan yang menjulang tinggi itu, Gerald langsung menuju pintu apartemen miliknya. Dengan tangan yang menenteng banyak makanan, Nadia yang mengekor di belakang Gerald, dengan perasaan gelisah. Gadis itu tak bisa berpikir jernih, ia terus menatap Gerald dengan penuh selidik. Gerald yang sadar ditatap seperti itu oleh Nadia, seakan paham atas apa yang tengah dipikirkan oleh gadis di sampingnya saat itu. “Gak usah berpikir yang macam-macam! Gue gak seburuk yang lo pikir!” ucap Gerald penuh penekanan. Bukan merasa tak enak telah berpikiran buruk tentang Gerald, Nadia justru sangat santai. Terlebih hatinya mulai tenang, setelah mendengar penjelasan Gerald barusan. “Berhubung waktu sudah larut, dan tugas gue masih banyak. Jadi gue gak mau ambil risiko, dengan berkendara malam-malam begini,” ucap Gerald sedikit menjelaskan alasannya memilih untuk ke apartemen malam itu. “YA, TAPI LO GAK BIS—“ Ucapan Nadia terpotong oleh perkataan dan tangan Gerald yang membekap mulutnya. “Hust ... gak usah teriak-teriak juga kali, gue gak tuli kok!” ucap Gerald setengah berbisik di telinga Nadia. “Hmmp—“ Nadia berusaha berbicara, sambil memberontak dan menyiku perut Gerald. Pasalnya, gadis itu sudah hampir kehabisan napasnya. Namun, Gerald sama sekali tak berniat melepas tangannya yang membekap mulutnya. “Gila lo ya! Gue bisa mati gara-gara lo, tahu?!” ujar Nadia kesal. “Mati tanam,” sahut Gerald santai. Gerald segera melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkan sosok Nadia yang tengah diselimuti rasa kesal. Namun, Nadia hanya bisa menahan kesalnya dengan mengepalkan tangan ke udara. Gerald membawa sebuah bantal dan selimut di tangannya, hendak berjalan ke luar dari kamar itu. Namun, ia hentikan ketika melihat Nadia yang terus mematung di tempatnya. “Sekarang lo tidur, nanti subuh gue antar lo balik.” Gerald mulai melangkahkan kakinya lagi. “Eh, tunggu! Lo kenapa bawa bantal sama selimut ke luar?” tanya Nadia dengan raut wajah bingung. “Gue mau tidur lah.” Gerald menyahuti ucapan Nadia tanpa menghentikan langkahnya. “Lo mau tidur di luar?” tanya Nadia lagi. “Kamar di sini cuman satu, memang lo mau tidur di sofa, hem?” tanya Gerald memastikan. Pria itu menghentikan langkanya, kemudian berbalik menatap Nadia. “Jelas enggak mau lah. Lo yang bawa gue ke sini, ya lo harus perlakukan gue dengan baik dong,” sahut Nadia dengan nada menyolot. “Ya, terus? Kenapa lo pakai tanya segala, gue mau tidur di mana! Jelaslah gue tidur di sofa. Ya, kecuali ... lo gak keberatan kalau tidur seranjang bareng gue,” ucap Gerald menyeringai. Pria itu perlahan melangkah mendekati Nadia. Nadia yang melihat pergerakan Gerald, dengan sigap mengambil sebuah bantal. Lalu, melemparkan bantal itu ke arah Gerald. “Jangan mimpi lo!” teriak Nadia kesal. “Oke.” Sosok Gerald tak lagi terlihat di pandangan Nadia. Nadia yang hendak menutup pintu, kembali dibuat kaget dengan sosok Gerald yang kembali memunculkan kepalanya di balik pintu saat itu. “Jangan lupa kunci pintunya, takutnya gue khilaf tengah malam.” Gerald tersenyum jahil, kemudian melanjutkan langkahnya lagi. “GERALD ...!” teriak Nadia, untung saja kamar tersebut kedap suara. Sehingga suara bak petir menggelegar itu hanya menggema di kamar tersebut. Setelah menghabiskan semua makanannya, Nadia mulai kenyang sekaligus kelelahan. Gadis itu langsung tertidur dengan lelap. Ya, meskipun sebelumnya, gadis itu sempat bergulat lagi dengan pikirannya sendiri. Berbeda dengan Gerald, pria itu belum terlelap. Malam itu, Gerald tengah berkutat dengan laptop. Netranya sangat fokus menatap layar monitor. Jari jemarinya pun, sangat lincah menari di atas papan ketik. Gerald tengah menyelesaikan tugas sekolah dan juga pekerjaannya. Setelah semua selesai, Gerald yang juga merasa kelelahan, akhirnya tertidur menyusul Nadia ke alam mimpi sana. Setelah menunaikan salat subuh, Gerald berniat untuknya segera mengantarkan pulang tunangannya itu. Nadia sudah berada di dalam mobil, Gerald langsung menjalankan mobilnya ke arah jalan menuju rumah Nadia. Nadia yang memang masih mengantuk saat itu, akhir melanjutkan tidurnya di mobil Gerald. Mobil Gerald telah sampai di halaman rumah Nadia. Namun, melihat Nadia yang tertidur pulas saat itu, membuat Gerald enggan untuk membangunkannya. Nadia bergerak tak nyaman saat itu, seperti tengah kedinginan. Gerald yang melihat hal itu, segera melepaskan jaket yang melekat di tubuhnya, lalu ia kenakan di tubuh Nadia. Gerald memutuskan untuk menunggu Nadia sampai bangun. Karena tidak mungkin baginya membawa Nadia masuk ke dalam rumah saat itu, apa lagi melihat mobil sahabat Nadia yang terparkir di sana. Gerald melajukan mobilnya kembali ke apartemennya, setelah memastikan Nadia masuk ke rumah dengan selamat. Nadia memasuki kamarnya dan langsung menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Sehingga membuat guncangan dahsyat, yang sukses mengusik tidur lelap kedua sahabatnya saat itu. “Aduh ... Nadia, bikin kaget aja sih, lo!” ucap Caca, menggeliat. “Apaan sih, lo Ca? Masih pagi buta udah berisik aja lo,” ujar Kiki yang juga ikut terganggu tidurnya. “Tau tuh, anak!” sahut Nadia dengan kedua mata terpejam. “Lo dari mana, hah? Kiki bangun lo! Lihat Nadia tuh, baru balik jam begini,” ucap Caca. Jemarinya menggoyangkan tubuh Kiki. “Apaan sih, Caca ... lo lihat gue kaya gitu,” ucap Nadia ketika menerima tatapan tajam penuh selidik dari Caca. “Jawab gue Nad!” titah Caca penuh penekanan. “Jawab apaan, sih, lo bikin gue kesal aja. Udah mending kita lanjut tidur yuk!” ajak Nadia. “Bangun!” titah Caca. Gadis itu menarik paksa tubuh Nadia, hingga Nadia terduduk di hadapannya. “Ih, Caca ... lo kok, jadi mengesalkan gini, sih?!” ucap Nadia dengan wajah masam. “Lo yang mengesalkan Nad, bukan gue!” sahut Caca dengan wajah kesal. “Lo Ca!” sahut Nadia ketus. “Lo, Nad!” sahut Caca lagi, dengan nada tak kalah ketus dari Nadia. “DIAM! Kalian ini apa-apaan, sih, sebentar lagi kita harus ke sekolah. Bukannya siap-siap, malah berantem!” teriak Kiki. Kiki menatap tajam kedua gadis di hadapannya dengan napas memburu. “Lo sih, Ca!” ujar Nadia menyalahkan Caca. “Gara-gara lo, Nad!” sahut Caca yang tak terima disalahkan oleh Nadia. “BERISIK!” “BODO!” sahut Nadia dan Caca bersamaan. Kiki menghembuskan napasnya, kemudian menatap malas ke arah Nadia dan Caca. Ia sudah kehabisan kesabaran, menghadapi tingkah kedua sahabatnya itu. Setelah bersiap-siap, ketiga gadis itu mulai menyantap sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh Bi Suryah pagi itu. Selesai dengan sarapannya, mereka langsung bergegas menuju ke sekolah. Di sekolah pagi itu, Nadia tengah melangkah dengan santainya hendak pergi ke toilet. Namun, belum sampai langkahnya membawanya ke toilet. Seseorang tiba-tiba saja mencekal lengannya. Nadia sedikit terperanjat saat itu, tetapi setelah melihat seseorang tersebut, Nadia tak lagi kaget melainkan muak. “Queen aku mau ngomong sama kamu. Kenapa gak kasih aku kabar beberapa hari ini?” tanya Arjuna dengan tatapan sendu. Ya, seseorang yang mencekal lengan Nadia tadi, adalah Arjuna kekasih Nadia. Ralat, mantan kekasih. Entah dari mana datangnya, pria itu tiba-tiba saja ada di lingkungan SMA BUMI BAKTI. Padahal, itu adalah sebuah pelanggaran, seorang berseragam lain tak boleh masuk ke sana tanpa keperluan yang jelas. Arjuna merogoh tasnya, lalu mengeluarkan lima buah coklat batang. “Apaan, sih, loh! Gue malas sama cowok buaya kaya lo.” Nadia membuang pandangannya ke arah lain. Ia sangat kesal, jika teringat foto yang dikirim oleh Caca tempo lalu. Nadia menjadi muak kepada Arjuna. “Buaya? Maksud kamu apa, sih, Sayang? Kok kamu ngomong kaya gitu?” tanya Arjuna dengan raut wajah bingung. “Ehem!” Nadia dan Arjuna mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Terlihat seseorang yang tengah berdiri di belakang mereka saat itu, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD