Ingatan yang Terputar

1049 Words
Nadia menatap lekat wajah Gerald. Gerald menyunggingkan senyum manisnya. Membuat jantung Nadia berdegup sangat cepat. Pandangan Nadia terkunci, gadis itu seakan terhipnotis oleh senyuman memabukkan milik Gerald. “Camkan itu!” ucap Gerald setengah berbisik di telinga Nadia. Bisikan Gerald, mampu menyadarkan Nadia dari lamunannya. Gerald melangkahkan kakinya dan pergi meninggalkan Nadia yang masih mematung di tempatnya saat itu. Kesadaran Nadia kembali, saat Gerald tak sengaja menutup pintu ruang OSIS dengan cukup kuat. Nadia yang telah tersadar, bergegas ke luar menyusul langkah Gerald. Nadia kini tengah berada di kantin bersama kedua sahabatnya. Nafsu makannya tiba-tiba saja hilang, setelah mengingat perkataan yang diucapkan terakhir oleh Gerald tadi. Sejak tadi Nadia hanya memainkan sendok di makanannya, tanpa berniat untuk melahapnya. Melihat hal itu, Caca dan Kiki keduanya saling menatap kemudian menggeleng secara bersamaan. “Lo kenapa, sih, Nad?” tegur Caca. “Masalah orang tua lagi, ya?” tanya Kiki. Mendengar pertanyaan Caca dan Kiki, Nadia mengangkat wajahnya. “Hem,” jawab Nadia singkat dengan senyum yang dipaksakan. Nadia tanpa sadar ia memasukkan sambal yang cukup banyak ke dalam makanannya. Semua yang dilakukannya sejak tadi, tidak lepas dari pandangan Gerald, yang juga tengah berada di kantin bersama teman-temannya saat itu. Baru satu sendok Nadia melahap makanannya, gadis itu sudah batuk-batuk ketika merasakan rasa yang sangat pedas pada makanannya. Gerald yang melihat itu, dengan sigap akan memberikan minum untuk Nadia. Namun, hal itu lebih dulu dilakukan oleh Arka, yang baru saja datang selepas memesan minumannya. “Ini diminum, lain kali pelan-pelan kalau makan,” ucap Arka lembut. “Thanks ya, Kak.” Nadia tersenyum manis ke arah Arka, dan dibalas anggukan oleh Arka. Gerald yang melihat kejadian itu, hanya diam memperhatikannya dari jauh. Tanpa sadar, tangan pria itu mengepal dengan kuat. “Gue duluan.” Gerald berpamitan kepada sahabatnya, saat Arka hendak duduk. “Woi, mau ke mana lo? Makanan belum habis nih,” teriak Satya dan Kenzo, yang sama sekali tak dihiraukan oleh Gerald. Saat jam pulang tiba, Nadia berjalan beriringan dengan kedua sahabatnya menuju tempat parkir. Tin! Tin! Sebuah mobil mewah berwarna merah cerah, berhenti tak jauh dari tempat parkir sekolah. Lalu, keluarlah seorang pria tampan dengan gaya cool yang sangat dikenali oleh Nadia, begitu juga dengan Caca dan Kiki. “Hai, Queen. Udah pulang ya?” tanya orang tersebut yang tak lain adalah Arjuna. “Mau apa lagi lo ke sini? Lo lupa sama—“ Ucapan Nadia dipotong oleh Arjuna. “Iya aku tau peraturannya. Aku ke sini antar proposal kegiatan. Sekalian aku mau antar kamu pulang.” Arjuna tersenyum lembut ke arah Nadia. “Mending lo pergi deh! Lo gak sengaja mau buat gue kena masalah lagi!?” ucap Nadia dengan nada tak bersahabat. “Baiklah, aku minta maaf. Lain kali aku jemput lagi, kamu gak boleh tolak!” ucap Arjuna lembut. Pria itu masih merasa bersalah, atas kejadian tadi pagi. “Nad, lo sehat ‘kan?” tanya Caca, dengan pandangan yang lekat menatap punggung Arjuna. “Menurut lo, gue sakit gitu?” tanya Nadia balik, seraya memutar bola matanya malas. “Ya, lo sih ... dijemput Arjuna pake ditolak segala. Dia itu ganteng Nad, baik lagi. Harusnya lo bersyukur,” jelas Caca panjang lebar. “Kenapa, kalau lo mau semobil sama dia. Silakan, ambil buat lo aja,” sahut Nadia santai. “Gak lah, gue kan udah ada Babang Gerald,” sahut Caca sok manis. “Heh, lo lupa ingatan ya, Ca? Bisa-bisanya lo lupa kejadian di bioskop tempo lalu, dan malah mendukung si Arjuna, sialan itu!” ucap Kiki dengan kesal. Caca yang mengingat kejadian tersebut, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Tanpa disadari oleh ketiga gadis itu. Ada seorang pria dengan almamater OSIS yang melekat di tubuhnya, berdiri tak jauh dari mereka. Gerald sejak tadi mendengar dan melihat semua itu. Tidak dapat dipungkiri, senyum terukir jelas di bibir pria itu. Apa lagi mengingat Nadia, yang menolak ajakan pria yang katanya bernotabene sebagai pacar Nadia tersebut. Malam nanti akan diadakan pertandingan basket antar sekolah. Pertandingan itu digelar di lapangan sekolah SMA BUMI BAKTI. Kedua sahabat Nadia mengajaknya untuk ikut menonton pertandingan malam itu. Meski awalnya Nadia sempat menolak, tetapi berkat bujuk rayu kedua sahabatnya, akhirnya Nadia setuju. Ditambah, gadis itu memang tengah dilanda rasa bosan dan kesepian. Seperti biasa, Nadia akan dijemput oleh kedua sahabatnya malam nanti. Nadia tengah berbaring dengan kedua mata terpejam, harus terusik oleh dering ponsel di sampingnya. “Ya, halo?” sapa Nadia, saat telepon sudah tersambung. Gadis itu masih berbaring, dan enggan membuka matanya. “Halo, Nak ... ini mami. Bagaimana kabar kamu? Kamu baik-baik saja ‘kan di sana, tidak membuat masalah lagi?” tanya Mami Evi dari seberang telepon. Nadia seketika langsung membuka matanya. Suasana hatinya harus kembali menjadi rusak. Gadis itu sedikit menyesal telah mengangkat telepon tersebut, tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang meneleponnya. “Sekalipun Nadia kenapa-kenapa, apa kalian akan ada di sisiku?” tanya Nadia penuh penekanan. Kedua orang tua Nadia sekarang memang tengah berada di Belanda. Mereka pergi, pasca pertunangan Nadia tempo hari. “Jawab Mi, tidak ‘kan? Jadi berhenti sok peduli sama aku. Karena, aku sudah terbiasa sendiri.” Nadia memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Nadia membalikkan posisi tubuhnya memeluk guling. Air mata gadis itu perlahan mulai luruh lantah. Ingatannya kembali berputar, pada kejadian yang lalu. Di saat ia membutuhkan sosok orang tua, mereka justru selalu mengabaikannya dan tak pernah menghiraukannya. “Maafkan Nadia, Nadia gak ingin jadi anak durhaka, tapi hati Nadia sakit. Setiap kali ingat perlakuan mami dan papi yang selalu sibuk. Nadia ingin dipeluk mami, saat Nadia punya masalah seperti teman-teman Nadia yang lain.” Nadia terisak, dengan suara yang sangat memilukan. Lelah menangis, pandangan gadis itu perlahan melemah. Hingga akhirnya, gadis itu tertidur dengan mata sembabnya. Tak terasa, Nadia tertidur hingga malam hari. Gadis itu mulai terusik dalam tidur lelapnya. Saat ponsel miliknya yang diletakan di bawa bantal, bergetar terus menerus. “His ... siapa, sih, ganggu aja deh,” gumam Nadia kesal. “Ya, ha—“ belum sempat Nadia mengucapkan halo, perkataannya sudah dipotong oleh si penelepon. “Woi, lo dari mana, sih? Gue sama Kiki udah berjamur nih, di depan. Buruan berangkat, sudah jam berapa, nih!” teriak Caca dari seberang telepon. Nadia sedikit menjauhkan ponselnya, telinganya sangat sakit mendengar suara khas yang cempreng milik Caca. "Gawat, gue belum mandi lagi." Nadia berucap dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD