Pelukan yang Dirindukan

1479 Words
Gerald menatap lekat seorang gadis yang tengah berjalan ke arahnya. “Kakak kenapa di sini?” tanya Wilna. Wilna adalah salah satu murid perempuan kelas sepuluh di SMA BUMI BAKTI. Gadis itu memang mengenal sosok Gerald, sejak ia pernah bertanya perihal pelajaran kepada Gerald. Sosok Gerald menurut pandangan Wilna, sangat berbeda dengan isu-isu yang mengatakan bahwa pria itu berwatak dingin. Terbukti, saat Gerald tak menolak permintaannya, dan dengan sabar pria itu mengajari dirinya. “Hem, harusnya gue yang tanya. Lo kenapa bisa di sini?” tanya Gerald kepada Wilna. Kedatangan Wilna saat itu, sangat merusak momen Gerald. Gadis yang memberikan air mineral kepada Gerald di lapangan tadi, adalah Wilna. Gadis itu mengatakan, sengaja melalukan semuanya, dengan alasan sebagai tanda terima kasihnya kepada Gerald, yang sudah bersedia mengajari dirinya tentang pelajaran matematika. “No, Kak. Gue yang harusnya tanya. Kakak bikin apa di sini, sama seorang gadis malam-malam begini. Ya, walaupun gue tahu. Pasti kakak pembuat onar itu yang memulainya,” ucap Wilna. Alis Gerald terangkat, saat mendengar Wilna menjelekkan tentang calon istrinya. Ya, meskipun Nadia memang gadis pembuat onar, tetapi ia juga tak senang jika ada yang menjelekkan Nadia, selain dirinya. “Udah gak usah dipikirkan. Ayo kita kembali ke lapangan, gue ada satu babak lagi.” Gerald mengajak Wilna untuk segera pergi dari tempat itu. “Yuk!” sahut Wilna tersenyum. Jemarinya perlahan menggandeng lengan Gerald, tetapi dengan cepat Gerald menepisnya. Pria itu berpura-pura hendak mengelap keringat di dahinya. Di sisi lain, Nadia bersama kedua sahabatnya, sudah pulang setelah sempat singgah mencari makan tadi. Nadia yang baru tiba di rumah, dikagetkan dengan kepulangan kedua orang tuanya malam itu. “Assalamualaikum,” ucap Nadia. Gadis itu melangkah, menghampiri Mami Evi. Kemudian meraih punggung tangan sang mami dan menciumnya. “Kamu baru pulang? Ayo mami antar ke kamar kamu.” Wanita berumur yang masih terlihat cantik itu, merangkul pundak Nadia. “Tunggu Mi! Papi mau bicara sama Nadia.” Ujar Papi Bram yang saat itu tengah menuruni anak tangga. “Nadia, apa begini kelakuan kamu selama kami tidak rumah!?” tanya Papi Bram penuh penekanan. “JAWAB!” bentak Papi Bram. “Papi stop! Biarkan Nadia istirahat dulu, kita lanjutkan besok,” ucap Mami Evi. “Diam Mi. Anak kita ini semakin hari, semakin sulit untuk diatur,” ujar Papi Bram tegas. “Nadia cape Pih.” Nadia berlari menaiki tangga, setelah mengucapkan itu. “NADIA! PAPI BELUM SELESAI BICARA.” Suara Papi Bram, malam itu menggema di kediaman Wijaya. Pria itu tengah memanggil putrinya, yang sama sekali tak dihiraukan oleh Nadia. “Papi, sih, Nadia jadi marah sekarang,” ujar Mami Evi, menatap malas lelaki itu. Tok! Tok! Tok! “Nak!” panggil Mami Evi dari balik pintu kamar Nadia. “Masuk Mih! Nadia gak kunci kok pintunya.” Mendengar sahutan dari Nadia, Mami Evi tersenyum simpul. “Sayang maafkan mami ya.” Mami Evi mengusap surai sang putri dengan lembut. “Mami mau ngomong apa? Nadia mau tidur.” Nadia merubah posisinya yang semula berbaring menjadi terduduk. “Sayang mami tau, kamu masih marah sama mami. Mami minta maaf ya. Mami janji, mami akan menyempatkan untuk pulang ke sini setiap 1 minggu sekali.” Wanita tersebut tersenyum menatap lekat wajah putrinya, dengan harapan Nadia mau memaafkannya. Nadia tak langsung menyahuti ucapan sang mami. Gadis terdiam sejenak, dan mulai membalas tatapan sang mami. “Mami janji ‘kan?” tanya Nadia, memastikan. Kedua mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Mami Evi tersenyum, kemudian mengangguk. “Mami janji, Sayang.” Jemari Mami Evi terangkat, menghapus air mata di pipi sang putri. Wanita itu kemudian merentangkan kedua tangannya. Berharap Nadia mau memeluk dirinya. Nadia yang mendengar itu, langsung menghambur ke pelukan sang mami. Pelukan yang sangat dirindukan oleh gadis itu. Nadia memejamkan kedua matanya, meresapi rasa hangat dan nyaman di pelukan sang mami. Tanpa disadari air mata gadis itu, kembali lirih di pelukan Mami Evi. Mami Evi meneteskan air matanya, sambil terus mengusap punggung Nadia. Mami Evi sangat merindukan pelukan hangat dari sang putri kesayangannya itu. Semenjak ia sibuk dengan kariernya, Nadia jadi semakin jauh dari dirinya. “Ya udah, sekarang kamu tidur ya Sayang. Besok pagi mami buatkan sarapan buat kamu.” Mami Evi melepas pelukannya. Menyuruh putrinya untuk segera beristirahat. Nadia menganggukkan kepalanya, sambil tersenyum manis. Gadis itu mulai memejamkan kedua matanya ditemani oleh sang mami. Mami Evi mengecup dalam, kening Nadia. Setelah memastikan Nadia terlelap, barulah Mami Evi beranjak ke luar dari kamar Nadia. Pagi hari, Nadia tengah bersiap untuk pergi ke sekolah. Wajah Nadia pagi itu benar-benar berbeda dari biasanya. Senyum manisnya terus mengembang di bibir gadis itu. Menambah aura cantiknya. Tok! Tok! Tok! “Sayang, ayo kita sarapan dulu!” ajak Mami Evi. Seusai mengetuk pintu kamar putrinya itu. “Iya, Mi. Sebentar lagi, aku turun.” Nadia sedikit mengeraskan suaranya, berharap maminya itu dapat mendengarnya. “Ya sudah, mami tunggu di bawah ya, Sayang.” Terdengar suara langkah Mami Evi di pendengaran Nadia, yang mulai menjauh dari kamarnya. Setelah selesai bersiap, Nadia segera turun menuju meja makan. “Pagi Mami, pagi Bibi,” sapa Nadia, dengan senyum manisnya. “Pagi Sayang,” sahut Mami Evi, sambil tersenyum. “Pagi juga Non. Wah ... kaya ada yang beda pagi ini,” ucap Bi Suryah. Wanita paruh baya itu melihat wajah Nadia yang berbinar tak seperti biasanya, interaksi antara anak dan ibu tersebut, juga terlihat sangat baik. “Ah, Bibi bisa aja deh,” sahut Nadia. “Ayo sayang kita sarapan. Bibi juga ayo, sarapan sama-sama!” ajak Mami Evi. “Tidak usah Nyonya, saya sudah sarapan di belakang tadi. Silakan Nyonya dan Non lanjutkan sarapannya, bibi mau ke belakang lagi.” Pamit Bi Suryah. Kemudian melangkah pergi dari sana. 'Alhamdulillah, hubungan nyonya dan Non Nadia sepertinya sudah baik-baik saja,' ucap Bi Suryah dalam hati. “Mih, papi mana?” tanya Nadia. “Em ... anu Sayang, papi ... papi ada pekerjaan mendadak tadi pagi, makanya papi udah berangkat pagi sekali,” jelas Mami Evi. “Oh, itu. Ayo kita makan mi,” ucap Nadia, yang mendapat anggukan dari sang mami. Mami Evi memandang sendu putrinya yang kini tengah sarapan. ‘Bagaimana jika dia tau semua kebenarannya nanti, apakah dia akan kembali menjadi Nadia yang kukenal selama setahun terakhir ini,' batin Mami Evi. Setelah sarapan Nadia berangkat ke sekolah. Kali ini Nadia tak berangkat bersama oleh sopir, melainkan bersama sang mami. Setelah sampai di halaman sekolah, Nadia menghampiri kedua sahabatnya. “Pagi Guys,” sapa Nadia kepada ke dua sahabatnya, ketika ia baru saja tiba di sekolah. “Tumben banget lo gak terlambat Nad, ada apa nih, gerangan?” tanya Caca heran, dengan tatapan menyelidik. “Lo tumben juga Nad, pagi-pagi udah senyum aja. Biasanya muka lo tiap pagi kaya taplak meja belum disetrika,” ucap Kiki ikut menimpali, saat melihat perubahan sikap sahabatnya itu. “Serba salah gue ya, di mata kalian. Terlambat salah, gak terlambat salah. Senyum salah, gak senyum juga salah,” sahut Nadia dengan malas. “Ya sorry Nad. Habisnya kita heran sama perubahan lo yang mendadak ini.” Kiki tertawa kecil. “Tau ah! Malas gue.” Nadia mencebikkan bibirnya. “Ya ampun Nad ... belum juga cukup 5 menit, muka lo udah kusut lagi,” ucap Caca. Ketiga gadis itu tengah berdiri di hadapan kelas, di bawah pantulan sinar mata hari pagi. “Eh, gue dengar katanya, bakalan ada anak baru loh,” ujar Kiki memecah suasana. “Cewek apa cowok, kalo cewek mah gue ogah. Sudah pasti saingan gue buat dapat Nanang Gerald bakalan bertambah lagi,” sahut Caca dengan nada malas. “PD amat lo. Situ cantik kaya apa, sih?” ucap Kiki seraya menyenggol lengan Caca. Tak lama kemudian, sebuah moge berwarna hijau memasuki pekarangan sekolah. Diikuti sebuah mobil mewah berwarna kuning yang melaju sangat pelan. “Ini dia Babang tampan gue baru datang,” ujar Caca girang. Hari itu Gerald tidak menggunakan mobilnya ke sekolah, melainkan menggunakan motornya. Hal itu membuat pesona seorang Gerald bertambah berkali-kali lipat di pandangan kaum hawa yang mengaguminya. Lagi-lagi seluruh penghuni BUMI BAKTI pagi itu, kembali dikejutkan dengan kehadiran seorang gadis cantik pemilik mobil kuning tadi. Gadis berambut pirang, dengan wajah yang sangat elegan itu, terlihat sempurna. “Sungguh indah ciptaan-Nya,” ucap Kiki, saat melihat gadis tersebut. “Tuh, kan ... cewek lagi! Mana cantik banget lagi,” ucap Caca dengan wajah murung. Berbeda dengan Caca dan Kiki, Nadia seperti tak asing saat melihat wajah gadis itu. Jika dilihat-lihat, gadis itu hampir mirip dengan gadis berseragam yang tempo lalu hendak memeluk Gerald. Semakin lama, semakin jelas terlihat wajah gadis itu. Ya, benar. Gadis itu adalah gadis yang menemui Gerald tempo lalu, sewaktu pulang sekolah. Pikir Nadia. Caca dibuat kesal kembali saat gadis cantik itu, terlihat berlari mengejar langkah Gerald. Siapa gadis itu, sepertinya ia mengenali sosok ketua OSIS tersebut, dan bahkan terlihat sangat dekat dengan Gerald? Pikir Caca. Caca yang memiliki sifat nekat, hendak menghampiri gadis tersebut. Namun, bunyi bel menghentikan pergerakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD