Menghadapi Ketakutanku

1230 Words
Sudah sebulan berlalu dari perceraian Jenny, namun media masih saja membahas tentang perceraian yang hingga kini belum diketahui alasannya.Jenny hanya bisa tertawa melihat beberapa pemberitaan tentang mereka. Bahkan beberapa pihak mulai menganggap Jenny gila dan tak sabar untuk segera kembali ke atas panggunglah yang menjadi penyebab perceraian itu. Jenny bisa membaca bagaimana tanggapan publik. Oleh karena itu, ia menahan diri dan menolak beberapa tawaran mengikuti fashion show ataupun bermain dalam film layar lebar. Ramainya pembicaraan tentang dirinya, tentu saja membuat Jenny menjadi target bagi beberapa agensi. Begitulah dunia hiburan, terkadang yang membuatmu semakin naik adalah skandal bukan kemampuanmu di dunia itu. Jenny membuang ponselnya, merasa muak mendengarkan beberapa pendapat miring tentangnya. Banyak orang yang mengatainya gila. Melepaskan pria seperti Altair yang begitu sempurna. Lihatlah betapa mudah menipu banyak orang dengan penampilan luar, mereka mempercayai apa yang mata mereka lihat dan mengabaikan kebenaran jika Altair bukanlah seorang dewa. Pria itu pun bisa melakukan kesalahan, sama seperti Jenny. “Jen … hari ini, Bibi akan pergi untuk mengurus cabang butikmu di Bandung selama dua bulan. Bibi benar-benar khawatir meninggalkanmu sendiri,” wanita paruh baya itu meletakkan sepiring spagethi di hadapan Jenny, lalu duduk pada kursi di samping Jenny dengan meletakkan spagethi yang sama di hadapannya. Berkat relasi Jenny dan bantuan Diah, butik milik Jenny berkembang pesat. Banyak artis papan atas menjadi langganan tetapnya, kalangan ibu-ibu pejabat yang gemar gossip pun tampak tak mau melepaskan Jenny untuk mendapatkan alasan perceraiannya dan Jenny menggunakan rasa penasaran mereka untuk meraup lebih banyak rupiah. Dalam waktu singkat, Jenny harus meluaskan brand-nya dan membuka cabang baru di kota Bandung. Jenny tak bisa mengurus semuanya di sana karena butiknya di Jakarta tak bisa ditinggal, hingga wanita itu mengutus Bi Ira untuk pergi menggantikannya. Jenny mempercayai wanita itu sepenuhnya, wanita yang tak pernah pergi meninggalkannya saat dirinya terjatuh begitu dalam. Wanita yang akan selalu berada di sisinya saat yang lain meninggalkannya begitu saja. Hidup Jenny kian membaik. Mungkin ini cara Tuhan menghibur hatinya yang tersakiti. Ia pun tak lagi mau mengikuti kabar terkini tentang Altair. Selain ingin bersikap tak peduli, ia takut jika rasa di hati yang belum sepenuhnya pergi membuatnya mulai kehilangan kendali. Jenny tak mau membuka peluang untuk menyiksa hatinya sendiri. Mendengar nama pria itu saja bisa membuat hatinya pedih. Ah … betapa sulit menyembuhkan luka. “Jangan khawatirkan aku, Bi. Aku baik-baik aja. Aku udah dewasa,” Jenny tersenyum menenangkan sembari mengusap lembut lengan wanita itu, “Pergilah dan urus semuanya. Aku akan baik-baik aja, Bi. Jika cabang di Bandung berkembang pesat, maka Bibi harus menetap di sana. Bagaimana Bibi bisa membantuku mengurus bisnis kalau yang lebih Bibi khawatirkan adalah keadaanku, bukan bagaimana aku bisa hidup mandiri tanpa uang.” Bi Ira menggeleng-geleng. “Kamu terlalu realistis. Sejak dulu, kamu terlalu keras pada dirimu sendiri dalam hal mencari uang, hingga lupa menikmati hidupmu.” Jenny memeluk erat wanita paruh baya itu. “Hanya Bibi yang mencintaiku. Kini, aku akan menikmati hidupku, jadi Bibi nggak perlu mengkhawatirkan apa pun. Lihatlah, Bi. Tuhan maha adil, dia mengambil cinta dalam hidupku, namun memberikan hal baik untuk hidupku. Bisnisku berkembang pesat dan semuanya baik-baik saja.” Bi Ira menatap kedua netra Jenny dengan tatapan meneliti. “Apa benar semuanya baik-baik aja, Jen? Apa benar, nggak ada yang harus Bibi khawatirkan saat meninggalkanmu sendiri? Kamu terlihat kuat di luar, tapi bagi Bibi, kamu tetaplah gadis kecil yang takut merasa kesepian.” Jenny memang bukan orang yang menyukai sunyi. Bi Ira begitu mengenal Jenny. Awal perselingkuhan ayahnya, membuat ibunya mulai berubah. Wanita itu tak lagi mau bermain dengannya, mengabaikannya, dan marah tanpa alasan. Sedangkan ayahnya seakan menjaga jarak. Walau tinggal di rumah mewah dengan keluarga lengkap, Jenny kerap merasa kesepian. Saat malam hari tiba, Jenny akan menangis sendiri di kamarnya. Hal yang perlahan Bi Ira ketahui semua itu karena sikap abai kedua orang tuanya. Hari itu Jenny menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Bi Ira dan mengatakan ‘dia takut kesepian’. Sejak saat itu, Bi Ira bertekad di dalam hatinya untuk tak pernah meninggalkan Jenny dan membuatnya merasa seperti itu lagi. Kepergiannya membuat Bi Ira tak bisa menghapuskan rasa khawatirnya. “Tenang saja, Bi. Aku beneran baik-baik saja. Aku bukanlah Jenny gadis kecil yang ketakutan akan rasa kesepian lagi. Aku akan baik-baik aja di rumah besar ini sendiri. Lagipula, waktuku akan lebih banyak kuhabiskan di luar rumah, jadi aku nggak sempat untuk merasa sepi. Aku akan sangat sibuk dan juga bahagia.” “Baiklah, Bibi akan mempercayaimu dan akan terus menghubungimu siang malam.” Jenny terbahak. Walau saat ini, ia masih memiliki orang tua lengkap, namun hubungan mereka seakan sebuah formalitas saja. Keduanya terlalu sibuk memperbaiki pernikahan yang sebenarnya tak lagi memiliki masa depan, hingga lupa ada Jenny yang telah menjadi korban atas keegoisan keduanya. Bersyukurlah, ia masih memiliki Bi Ira yang memberikannya cinta yang berlimpah, cinta yang tak pernah ia dapatkan dari kedua orang tuanya. “Aku siap diteror, Bi.” Keduanya tertawa dan menyantap makanan di hadapan mereka. Kebersamaan itu mereka selingi dengan pembicaraan mengenai pembukaan cabang baru. Walau rumah dua lantai itu ditempati hanya berdua, namun kehangatan meliputi setiap sisi ruangan. Tiada tempat bagi kesunyian untuk menenggelamkan Jenny. Sesungguhnya, Jenny takut, bagaimana jika Bi Ira pergi nanti? Apa yang harus ia lakukan untuk menghalau rasa sepi yang mengerikan? *** Setelah lelah beraktifitas, Jenny kembali ke rumah yang kini memberikan kesan sunyi begitu pintu terbuka. Bi Ira sudah pergi mengurus cabangnya di Bandung. Ingin rasanya Jenny kembali menjadi anak kecil yang normal saja bila merengek. Kedewasaan tak seindah apa yang pernah ia pikirkan dulu. Menjadi dewasa berarti kau siap terluka dan juga kesepian. Konyol sekali bagaimana banyak anak kecil yang berharap ingin cepat dewasa, dan orang dewasa berharap bisa kembali menjadi seorang anak kecil. Tampaknya, memang manusia adalah makhluk yang sulit merasa puas dengan segala sesuatu yang ada di hidupnya. Lihat saja Altair, contoh nyata seorang manusia egois yang tak merasa puas dengan kehidupannya. Lelaki itu kerap merasa kurang dan mengabaikan hati yang ingin menjalani hidup sederhana dengan penuh cinta. Tak ada lagi yang perlu disesali, mungkin memang ini adalah jalan takdir untuknya. Jenny segera berjalan ke lantai dua rumah itu. Ia tak ingin berada di rumah itu seorang diri. Menghabiskan malam dengan banyak pikiran tentang masa lalu yang menyiksanya. Ia harus mencari cara lain untuk mengenyahkan kesepian yang melanda malam yang dingin. Jenny segera membersihkan diri. Ia harus berada di tengah keramaian untuk mengusir sepi. Jenny yang sudah membersihkan diri segera mencari pakaian yang cocok untuk menghabiskan malamnya yang tak ‘kan ia habiskan dengan cara yang mengenaskan dan membiarkan Altair merasa menang akan kesunyian yang mendera. Ia tersenyum senang saat menemukan cocktail dress berwarna merah yang sudah lama tak ia kenakan. Tanpa banyak berpikir lagi ia langsung mengenakan pakaian itu dan memulas make up pada wajahnya. Bukankah ia harus menikmati hidup? Maka, kini Jenny akan menikmati hidup setelah sekian lama disiksa. Ia tak ‘kan membiarkan kesepian mengalahkannya, ia tak mau membiarkan dinginnya malam membuatnya menangis seorang diri di ranjang. Inilah tahap dari kedewasaan, harus menghadapi ketakutanmu seorang diri. Setiap orang harus menghadapi kesepian dan itulah yang akan Jenny lakukan. Ia tak akan lagi berlari. Malam ini, Jenny akan kembali bersinar seperti bintang di angkasa. Ia akan membuat banyak lelaki bertekuk lutut. Ia pun bisa sepemikiran dengan mereka yang hanya membutuhkan teman untuk menghangatkan ranjang. “Aku nggak memerlukan cinta. Perasaan menjijikkan itu hanyalah ilusi. Kini, aku nggak akan lagi memiliki hati untuk merasakan perasaan itu dan kembali menjadi bodoh,” Jenny berkata pada pantulan dirinya di cermin depannya. Ia memasang senyum indahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD