Kriet
Pintu dibuka perlahan.
"Aku pu-.."
TRANG..!!
"Hoho! Dari mana saja kau Jack?" Ensberg menyerang Jack saat ia masuk ke rumahnya, itu merupakan kebiasaan ayahnya setiap Jack pulang. "Kau selalu gagal ayah!" Jack tersenyum.
"Reflekmu membaik, Lien! Jack sepertinya lapar! Siapkan makan malamnya segera!" Ensberg menyimpan pedangnya dan pergi ke meja makan. "Kau tidak perlu berteriak seperti itu." Lien tersenyum.
Mereka makan bersama malam itu.
"Vondest sepertinya dalam masalah ya Jack." Ucap Ensberg ditengah makannya. "Ya, seperti itulah, mungkin ini masalah yang cukup serius." Balas Jack.
"Kalian berdua, bisakah habiskan dulu makannya?" Ucap Lien sambil tersenyum.
"Vondest tidak mungkin seperti itu jika masalah yang dihadapinya tidak serius. Mungkin, ini ada hubungannya dengan orang yang hampir membunuh ayah delapan belas tahun yang lalu." Ensberg terus bicara. "Orang yang hampir membunuh ayah?" Tanya Jack bingung.
Mereka sama sekali tidak mendengarkan Lien, sampai akhirnya.
Brakk!!
"Em... Bisakah kita berdamai Lien?" Ensberg melirik kearah Lien yang terlihat marah.
"Kalian tidak punya kuping hah?!" Lien menggebrak meja dan mengeluarkan pedang besar ditangannya, ia mengarahkan pedang besar tersebut keleher Ensberg dan Jack.
"Aku tadi bilang apa? Aku tadi bilang apa b*****h!! Kuping kalian hilang kemana hah?! Sudah kubilang berkali-kali jangan bicara saat makan..!! Kalian harus dihukum! Lihat saja, malam ini kalian tidur di-lu-ar, DILUAR..!!!" Lien menjewer kuping Jack dan Ensberg lalu melemparkannya keluar pintu.
Itulah sifat asli Lien Urara, ia memang terlihat manis jika tersenyum. Namun, sifat pemarahnya tadi akan keluar setiap orang tidak mendengarkan suaranya. Ya, itulah sifat yang ditakuti oleh Ensberg dan Jack.
"Sampai mana kita tadi?" Tanya Ensberg yang terkapar dirumput. "Em.. orang yang hampir membunuh ayah jika tidak salah." Balas Jack, ia mulai bangun.
"Oh ya, orang itu. Apa kau tahu kenapa dia berhasil mengalahkan ayah?"Tanya Ensberg sambil ikut berdiri. "Mana kutahu, kejadian itu terjadi sama seperti umurku kan? Delapan belas tahun yang lalu, jadi mana mungkin aku mengetahuinya." Balas Jack.
"Sebenarnya orang itu tidak hanya seseorang, melainkan mereka. Orang bertudung itu sudah ayah selidiki dan hasilnya, mereka adalah bangsa iblis. Kau melihat iblis yang berhasil masuk kearena kan? Peserta turnamen itu adalah salah satu anggota kelompok bertudung itu. Jika Vondest tidak datang, aku tidak tahu bagaimana nasib putranya sekarang." Jelas Ensberg.
"Tapi kenapa Vondest tidak ada saat orang itu berusaha membunuhmu?" Sentak Jack.
"Baiklah, beberapa hari sebelum kejadian itu terjadi. Vondest merasa sangat gelisah, dia sendiri yang bilang langsung padaku. Namun, hal itu bukan karena rumor akan kebangkitan raja iblis." Balas Ensberg.
"Jadi, rumor tentang kebangkitan raja iblis sudah menyebar sejak lama?" Tanya Jack terkejut.
"Ya, memang begitu. Namun, yang membuat Vondest gelisah saat itu bukanlah rumor tentang kebangkitan raja iblis, namun. Hal itu mengenai mahluk buas yang kekuatannya jauh melibihi dewa sekalipun. Dan, Vondest merasakan keberadaannya dibumi. Tepatnya, ditubuh anaknya sendiri." Jawabnya.
"Varka, itu pasti dia." Singkat Jack.
"Varka? Kau mengetahui namanya?" Tanya Ensberg.
"Ada seseorang yang datang untuk melatih Hazin, entah dari mana dia berasal. Namun dia terus memaksa untuk menjadikan Hazin sebagai muridnya, dan. Dihari pertama latihannya, Hazin langsung dipertemukan dengan Varka. Aku sendiri sebenarnya tidak tahu bagaimana mereka bertemu, tapi Hazin jatuh pinsan setelah sejumlah energi besar keluar dari tubuhnya." Jelas Jack.
"Jadi begitu, sepertinya Vondest memang orang yang tepat." Ucap Ensberg, Jack sedikit melamum saat itu, "Apa maksudmu?" Jack heran dengan ucapan ayahnya tadi.
"Ayah berhasil selamat dari orang bertudung itu bukan karena ayah berhasil mengalahkannya, tetapi ada seseorang yang datang menolong ayah. Dan, orang itu mempercayakan sesuatu ke Vondest, ayah hanya sebagai pengantar pesan saja. Sampai saat ini, aku tidak tahu siapa orang itu." Ensberg menatap kearah langit.
"Ya, yang sudah terjadi tidak bisa kira ubah. Saat ini kita harus fokus untuk menghentikan bangkitnya raja iblis, ayah tidak akan tinggal diam kan?" Jack berbaring.
"Pastinya."
Mereka berdua benar-benar tidur diluar, ya. Mereka sudah terbiasa dengan hal itu.
Esoknya
Seperti biasa, Hazin kembali dibangunkan oleh ibunya dengan suara keras. "Hazin..!! Anakku, ayo bangun! Pagi ini ibu sendiri yang membuatkan sarapan untukmu, ayo-ayo! Jangan membuat ayahmu menunggu." Viole mengambil selimut Hazin yang menutupi seluruh tubuhnya.
"Ayah? Dia tidak apa-apa kan?" Hazin langsung bangun setelah mendengar Vondest sedang menunggunya diruang makan, meskipun itu kata ibunya.
"Selamat pa-.." Setelah tergesa-gesa pergi keruang makan, Hazin dibuat sedikit terkejut karena kehadiran Latina dimeja makan.
"Oi.. apa yang dilakukan putri tidak berguna itu disini?" Hazin menunjuk kearah Latina. "Ehk!" Latina kesal namun tidak berani memarahi Hazin didepan Vondest.
"Haduh.. kau itu bagaimana Hazin, Latina tidak bisa kita biarkan menginap di penginapan yang ada di ibukota kan? Jadi wajar jika ia makan bersama dengan kita." Vondest tersenyum dibangkunya.
"Ayah! Kau tidak sakit?" Tanya Hazin.
"Sakit? Ahaha..! Tentu saja tidak Hazin, maaf jika kemarin ayah bertingkah seolah kesakitan. Kau tidak perlu khawatir, ayah baik-baik saja. Lihat! Tidak ada yang berubah dari ayah kan?" Vondest berdiri agar Hazin bisa yakin bahwa tidak terjadi hal serius pada ayahnya.
"Oh.. jadi begitu." Hazin mulai duduk.
"Sudah, ayo makan." Viole menyodorkan masakannya.
"Kenapa kau selalu memikirkan hal sepele Hazin? Meskipun kita saat ini sedang dilanda masalah yang serius, kau tidak perlu khawatir, kan ada ibu dan ayahmu." Ucap Viole.
"Justru itu masalahnya ibu." Hazin berhenti makan sejenak. "Bisakah kita bicara secara privat?" Hazin melirik kearah Latina.
"Baik-baik, aku akan keluar." Latina yang melihat Hazin meliriknya tadi langsung berdiri dan keluar ruang makan.
"Hem... Jadi, kita langsung melanjutkan pembicaraan kita dipagi hari?" Vondest menghela napas. "Ini karena kita tidak punya banyak waktu, ayah tahu itu kan?" Ucap Hazin. "Apa yang ingin kau katakan Hazin?" Viole sepertinya belum mengetahui permintaan Hazin kemarin.
"Aku akan memulainya dari sebuah pertanyaan, ini untukmu ayah. Kemarin, saat diakhir percakapan kita, kau terlihat aneh dan aku tahu, ayah juga tahu, itu ada kaitannya denganku kan? Jadi, apakah ayah dapat bicara dengannya?" Tanya Hazin.
"Jadi, itu semua memang dia. Ya.. tapi itu tidak mungkin terjadi jika bukan berasal darinya. Ayah memang sudah bicara dengannya Hazin, mahluk kuno yang ada didalam tubuhmu, ayah dapat mendengar suaranya, suara Varka." Jawab Vondest.
"Apa yang sebenarnya kalian bicarakan? Jangan menyembunyikan sesuatu dari ibu, mahluk itu tidak melakukan sesuatu yang buruk padamu kan Hazin?" Viole masih tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
"Ayah bicara dengannya? Apa yang dia katakan padamu?" Hazin kembali bertanya.
"Karena hanya ada kita bertiga disini maka, baiklah. Seperti yang ayah katakan tadi, ayah sudah mendengar ucapannya, sebenarnnya.. itu bukan sekedar berbincang, ia meminta sesuatu pada ayah." Jawab Vondest,
Ia kembali mengingat saat ia bisa mendengar suara Varka dikupingnya.
"Kau bisa mendengarku?" Suara Varka terdengar dikuping Vondest.
"Hah? Siapa kau?" Vondest terkejut saat mendengar suara aneh yang entah dari mana datangnya.
"Hem.. bodoh sekali, kukira Fadelta terkuat disini bisa langsung mengenaliku. Tapi, tidak masalah" Balas Varka.
"Aku adalah kekuatan, keagungan, sekaligus.. kehancuran, akulah Ancient Beast yang menguasai ketiga belas alam semesta. Akulah mahluk ciptaan yang menundukan semua mahluk ciptaan lainnya, akulah! Em... Varka!" Ucap Varka.
"Varka?! Baiklah, aku adalah Vondest. Tapi, kenapa kau sepertinya ragu mengucapkan namamu?" Vondest heran.
"Diam! Kau tak pantas mengomentari namaku! Dan juga, aku sudah tahu namamu." Varka sedikit teriak.
"Um.. baiklah, hehe.. tapi, bagaimana kau bisa mengetahui namaku?" Tanya Vondest. "Apa itu perlu kujawab?" Varka heran. "Tentu saja!"
"Sepertinya kau tidak menyadari hal ini, Kau pikir bagaimana aku bisa mengenalmu? Lihat sekelilingmu, kau sedang berhadapan dengan siapa" ucap Varka.
"Anakku." Vondest melirik kearah Hazin, ia tidak bergerak. Burung yang terlihat terbang di jendela pun menghentikan kepakan sayapnya.
"Ah..!! Jangan karena kau mengurusi orang itu kau jadi tertular oleh kebodohannya! Dengar, kau sudah mendengar keinginan Hazin kan? Aku ingin agar kau tidak menolak keinginannya. Kau tahu kan apa akibatnya jika kau menolak permintaannya tadi." Varka sedikit menekan jiwa Vondest dengan energinya.
"Tapi, kenapa aku harus mendengarkan perkataanmu? Aku tidak mengerti." Vondest berusaha menahan tekanan dari Varka.
"Sial.. aku adalah Ancient Beast yang ada didalam tubuh Hazin! Jelas saja ini semata-mata.. un.. untukku." Varka terdengar ragu saat bilang bahwa semua yang ingin dilakukan Hazin hanyalah untuknya.
"Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi! Hazin masih belum cukup untuk menghadapi bangsa iblis, memangnya kenapa jika aku menemaninya? Jelas itu tidak akan merubah apa yang akan terjadi padamu kan? Dan juga, bagaimana jika Hazin terluka? Kau yang berada didalam tubuhnya akan ikut terluka kan?" Vondest menolak.
"Hah... Kau mahluk rendahan berani meragukanku? Jangan bercanda, kalian tak lain dari sekedar debu yang akan terbang melayang disaat aku hanya berdiri dihadapan kalian, namun saat ini. Salah satunya meragukanku?"
"Kau jangan banyak tingkah Fadelta, jangan membuatku tertawa. Kau bilang aku akan terluka jika orang ini terluka? Hah!! Sepanjang aku hidup, hanya ada satu sosok yang dapat membuatku tunduk, para mahluk rendahan seperti kalian tidak akan dan tidak akan pernah bisa menggores sedikitpun kulitku!" Varka terus mengintimidasi Vondest.
"Aku tidak mau lagi mendengar ocehanmu, kedepannya terserah kau. Entah itu baik, ataupun tidak. Keputusanmulah yang akan menentukannya, tapi.. aku sudah memberimu pilihan terbaik." Suara Varka sedikit demi sedikit menghilang dari kuping Vondest.
"Oh ya, aku lupa satu hal."
Sebuah bayangan hitam keluar dari tubuh Hazin.
JLEB
Bayangan yang menyerupai tangan dengan kuku tajam itu menusuk perut Vondest.
"Jika kau sampai berani menghalangi semua ini, jangan kira aku akan tinggal diam." Suara Varka menghilang.
Setelah mengingat hal tersebut, Vondest tidak berani menceritakan seluruh ucapan Varka pada Hazin dan Viole, Vondest takut mereka akan khawatir dengan kondisinya setelah tertusuk.
"Apa yang dia minta ayah?" Tanya Hazin, sudah cukup lama Vondest melamun.
"Ah.. em.. jadi begini, Varka menginginkan ayah agar tidak menolak keinginanmu Hazin." Ucap Vondest. "Hah?! Keinginan apa Vondest? Kenapa aku sampai tidak tahu." Viole masih terlihat bingung.
"Sebelumnya aku juga ingin agar kau tidak menghentikan Hazin, Viole. Sebenarnya kemarin saat aku sedang membaca buku diperpustakaan, Hazin datang dan bilang bahwa Hazin ingin... Hazin ingin menggantikanku mencari Death Stone." Vondest menatap Viole serius.
"Hah?! Apa yang kau pikirkan Hazin? Kenapa kau ingin melakukan hal itu? Biar ayah dan ibu yang menyelesaikan masalah ini, perjalananmu masih panjang! Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu? Sudah jelaskan, ibu pasti tidak mengizinkanmu!" Viole dengan spontan menolak.
"Ibu, aku tahu kalian berdua khawatir. Tapi, setelah aku berpikir panjang, inilah jalan yang akan kutempuh, ibu baru saja bilang perjalananku masih panjang kan? Ya, tentu saja perjalananku masih panjang." Hazin berdiri dari bangkunya.
"Jika aku terus mengandalkan ibu dan ayah dan terus bersembunyi dibalik tembok kastel, aku tidak akan pernah berkembang, aku akan terus seperti ini, menjadi orang yang tidak berguna, jadi. Aku mohon biarkan aku pergi ibu, aku mohon padamu. Keputusanku sudah bulat." Hazin membungkuk.
"Ta-ta.. tapi." Viole mencoba tetap menolak.
"Viole!"
"Aku tidak bermaksud untuk sepenuhnya mendukung keinginan Hazin. Tapi, yang diucapkan Hazin benar, ia sudah memiliki cukup umur untuk melakukan tugas mulia ini, apa kau lupa dengan apa yang terjadi saat kita ingin berusaha menghentikan perang antar bangsa? Keluargamu melarang keinginanmu bukan? Kau ingat kembali bagaimana perasaanmu saat kau berusaha melakukan hal yang benar, namun. Orang tuamu malah melarangmu, saat itu Kau terus berusaha kabur dari keluargamu kan?"
"Apa kau ingin melarang anak kita untuk melakukan hal yang benar?" Tanya Vondest.
Viole kembali mengingat masa-masa yang Vondest katakan tadi.
"Viole..!! Ibu tidak akan pernah mengizinkanmu pergi! Apa lagi dengan orang tidak tahu sopan santun seperti Vondest, berani-beraninya dia datang kesini dan mengajak putri raja malakukan hal yang berbahaya. Kau harus waspada dengan ras Fadelta Viole."
Kata-kata ibunya terdengar jelas diingatannya.
"Tapi.. tapi, kita tidak bisa membiarkannya pergi seorang diri ibu, ayah. Cepat atau lambat, kerajaan kita juga akan menjadi sasaran perang, apa kalian.. tega.. membiarkan hal itu terjadi?" Balas Viole pada ibunya.
"Ji.. jika Vondest pergi sendirian, maka, maka.." mata Viole memerah.
"Maka apa Viole?!" Sentak ayahnya.
"Maka dia akan MATI..!! Kalian memang tidak memiliki hati sama sekali, kalian tega melihat orang lain mati karena perang tanpa arti ini, sedangkan. kalian, kalian hanya diam bersantai seolah tidak terjadi apa-apa!" Viole meneteskan air matanya saat itu.
"Viole..!!!"
Plak..!!
"kau.. kenapa kau sampai jatuh hati pada orang sesat sepertinya! Ayah benar-benar kecewa padamu, kau berani menyentak ayah hanya karena lelaki sesat itu!"
Ayahnya yang merupakan raja menampar wajah Viole. Ia terdiam sesaat ayahnya menampar, saat itu juga. Ibunya sama sekali tidak membelanya, ibunya malah tersenyum, tersenyum melihat anaknya menderita.
"Ya.. aku memang pantas menerima ini. Tapi, apakah orang diluar sana pantas? Mereka mati ayah! Mereka mati..!! Mereka tidak pantas mati seperti itu! Kenapa.. kenapa setiap aku berusaha melakukan hal yang benar, kalian.. selalu mencegahnya!" Viole memegang pipinya.
Ayahnya langsung mendorong Viole ke lantai, "Diam kau anak tak tahu malu! Pergi dari hadapanku! Aku sudah muak melihat wajah menyebalkanmu itu!"
"Kau lebih baik seperti itu, berada dibawah." Ucap ibunya.
Viole tidak kuat menahan perlakuan kedua orang tuanya tadi, setelah didorong dan jatuh dilantai, Viole bergegas lari kekamarnya, ia langsung berencana untuk pergi dari kastelnya dan menyusul Vondest, dan.
Ia pun berhasil pergi dari kekangan kedua orang tuanya, walaupun ayah dan ibunya melihat Viole pergi, mereka hanya terdiam membiarkan itu terjadi.
Setelah mengingatnya, Viole terdiam sesaat.
"Ya.. itu adalah hal benar yang harus dilakukan seseorang. Tapi, Kenapa harus kau Hazin?" Tanya Viole.
"Karena aku anak dari kalian berdua."
"Apa?!" Vondest dan Viole terkejut.
"Sudah wajar kan jika aku melakukan itu? Semua ini karena aku anak kalian, ayah dan ibu telah melakukan hal besar, menyelamatkan bumi itu adalah hal yang patut aku tiru kan? Jika ayah dan ibu ingin melakukan apa yang kalian pikir benar, maka. Aku juga berpikir demikian." Ucap Hazin.
"Ahaha.. kau benar benar sudah dewasa ya Hazin." Vondest bangun dari bangkunya.
"Sepertinya begitu." Viole ikut bangun sambil tersenyum.
"Jika itu yang kau pikir, ayah dan ibu tentu saja tidak bisa berkata-kata. Tapi.. baiklah, sebelumnya ayah akan mengingatkanmu agar selalu berkomunikasi dengan ayah maupun ibu, dan juga. Kau tidak boleh melakukan hal itu seorang diri Hazin." Vondest datang dan menepuk pundak Hazin.
"Jadi, aku hanya tinggal mencari orang yang akan menemaniku?" Tanya Hazin. "Tentu saja!" Jawab Viole.
"Itu hal yang mudah, kenapa tidak kalian beritahu saja dari awal? Kenapa harus panjang lebar seperti ini?" Hazin melepaskan tangan Vondest dari pundaknya. "Ya.. jika sudah begini, mau bagaimana lagi." Vondest melirik Hazin.
"Ayah dan ibu. Mengizinkanmu untuk mencari Death Stone, Hazin Triton."
Setelah akhirnya Hazin mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya, ia langsung mulai merapikan barang-barang yang mungkin ia perlukan untuk perjalannya.
Hal itu memakan waktu cukup lama, pada sore hari, Jack datang menemuinya.
"Oi-oi.. apa yang kau lakukan?" Jack datang kekamar Hazin dan melihat barang yang begitu banyak telah disiapkan oleh sang putra raja. "Mengemas barangku." Hazin terus memasukan barang kedalam kain dan peti.
"Mengemas? Memangnya kau mau kebelahan dunia mana sampai membawa barang sebanyak ini bodoh?!" Ucap Jack. "Bukan urusanmu."
"Bukan urusanku? Kau pikir siapa yang selalu disalahkan setelah kau melakukan sesuatu yang konyol?"
Jack selalu dimarahi setelah Hazin melakukan kesalahan, sebagai contoh.
Jack pernah dipekerjakan sebagai nelayan setelah Hazin memporak-porandakan pasar ikan dekat ibukota, itu semua karena ia adalah pengawal pribadinya.
"Jangan salahkan aku, mereka saja yang salah karena.. mereka salah." Hazin melirik Jack. "Mana bisa seperti itu sialan!"
"Oh ya, aku ingin bertanya serius padamu. Kau mau pergi kemana?" Jack duduk dikasur.
"Death Stone."
"Hah?!" Jack bingung. "Death Stone, aku akan mencari batu-batu itu menggantikan ayahku." Wajah Hazin terlihat dingin.
"Hah?! Apa kau bilang? Oi.. orang bodoh sepertimu mana bisa melakukan hal semacam itu, dan juga.. dunia luar itu, kau tidak bisa mendapatkan apa yang biasa kau dapat disini." Jack berbisik diakhir kata.
"Aku tidak peduli."
"Hei..! Dengarkan aku! Aku berkata jujur bodoh, jika kau berencana mencari batu itu, bukan sebuah kemungkinan saja kau akan bertemu bangsa iblis, kau akan kesulitan melawan para berengsek itu!" Jack mengikuti pergerakan Hazin.
"Aku mendengarkanmu Landak merah."
"Sialan..!! Kenapa kau malah mengejekku?!" Jack menarik kerah Hazin. "Aku tidak akan pergi tanpa persiapan, jadi. Aku melakukan ini untuk persiapan itu." Wajah Hazin masih tetap dingin.
"Oh ya, apa kau tahu orang kuat yang bisa disewa?" Tanya Hazin.
"Memangnya orang itu penginapan yang bisa kau sewa begitu saja?" Ucap Jack. "Tapi biasanya seperti itu kan?"
"Mana ada!" Sentak Jack.
"Em.. ngomong-ngomong, jika kau membutuhkan orang, kenapa kau tidak mengajakku saja? Ya.. walaupun bayaranku itu cukup mahal untuk hal berbahaya seperti itu ehem." Jack pura-pura batuk. "Tidak beguna."
"Apa kau bilang hah?!" Jack menahan emosinya.
Tep-tep..
"Apa yang kalian lakukan?" Viole diam dipintu kamar.
"Ratu Viole, Hazin mencoba untuk melarikan diri dari kastel. Hampir saja dia berhasil pergi." Jack langsung menahan tangan Hazin saat Viole datang.
"Hahaha... Kau itu aneh Jack, Hazin tidak mencoba untuk kabur, ia sedang mengemas barang-barang...nya?" Viole bingung karena Hazin mengemas begitu banyak barang.
"Hah? Apa?" Jack bingung.
"Aku menyiapkan semua ini karena aku pikir ini akan menjadi perjalanan yang panjang, semua barang ini memiliki fungsi yang beragam dan mungkin cukup untuk tiga tahun, tidak.. mungkin lima tahun." Jelas Hazin.
"Lama sekali!" Viole kaget.
"Jadi ratu tahu bahwa Hazin akan pergi?" Tanya Jack.
"Tentu saja! Oh ya Hazin, kenapa kau tidak mengajak Jack saja? Dia pasti akan membantumu, itu akan menjadi perintah. Jadi, Jack tidak bisa menolaknya." Viole tersenyum jahat.
"Ahk.. senyuman itu." Gumam Jack.
"Justru sebaliknya ibu, dia pasti akan menyulitkanku dengan tingkah lakunya yang menyebalkan." Hazin menunjuk Jack. "Kau membalikkan kenyataan oi..!" Ucap Jack.
"Tidak Hazin, ibu yang memutuskan hal ini. Kau tidak akan diizinkan untuk pergi jika Jack tidak bersamamu, dia pengawal pribadimu kan? Dia sudah bersamamu sejak kecil, jadi. Membiarkanmu pergi bersamanya akan membuat ibu sedikit lebih tenang." Viole tersenyum.
"Baiklah." Hazin tidak mampu menyangkal perkataan ibunya.
"Huwaa.. kau pasti akan menjadi sahabat dekat, sama seperti ayah kalian masing-masing." Viole memeluk Hazin. "Bersahabat dengannya? Ini akan berat." Jack seperti kecewa.
"Ya, mungkin." Hazin melepaskan pelukan ibunya.
"Aku mau mencari udara segar dulu ibu." Hazin berjalan dan keluar dari kamarnya.