Triton's Fate

2340 Words
Tepat sebelum Jack menghampiri Hazin ke kamarnya. "Bosan, aku benar-benar bosan jika terus seperti ini." Latina dengan lesu berjalan menuju kastel. "Setiap hari aku hanya makan, berkeliling kota, makan, berkeliling, makan. Dan, Mandi? Ah..! Itu semua membuatku merasa sangat bosan berada disini. Dan juga, kenapa Hazin masih saja diam di kastel? Apa dia tidak bosan berada dibalik batu?" Ia terus berjalan. "Tunggu, apa aku harus menemuinya? Eh.. tidak, itu tidak mungkin kulakukan. Jika ratu Viole melihatnya, pasti ia beranggapan bahwa aku sudah berpacaran dengannya! Ya, ia pasti berpikir seperti itu. Tapi... Sepertinya hanya aku yang berpikir itu akan terjadi." Latina menghentikan jalannya. "Ahk..!! Aku sudah bukan lagi Latina! Kenapa sepanjang hari aku terus membayangkan wajah jeleknya?!" Selama Latina berada di kerajaan Triton, ia selalu berpikir tentang Hazin. Bahkan, ia menunggu Hazin mengatakan apa yang ia lakukan disini? Namun, hal itulah yang membuatnya terus menunggu. Tep-tep.. "Ahk.. sial sial..!!" Latina menarik ikat kepalanya. Bukk! "Hey! Hati-hati jika-.." seseorang menabrak Latina dari belakang, dan itu adalah. Minaki Ista. "Big Foot?!" "Marmut?!" Mereka berdua terkejut dan hanya saling menatap. "Apa yang kau lakukan disini hah?!" Latina meninggikan nada suaranya. "Seharusnya aku yang bertanya itu." Ucap Minaki. "Ah..! Kau duluan yang jawab, ayo cepat sebelum aku menendangmu!" Latina menggulung kemejanya. "Oke-oke, aku akan menjawabnya." Minaki terlihat takut saat Latina menghampirinya. "Bagus, jadilah marmut yang jinak." Ucap Latina. "Aku bukan marmut! Aku datang kesini untuk menemui Hazin, aku tahu dia sedang merencanakan sesuatu, jadi aku datang untuk melihatnya langsung." Jelas Minaki. "Apa? Menemui Hazin? Kau.. kau pasti sedang merencanakan sesuatu yang jahat, tidak! Aku juga ingin bertemu dengannya, urusanku lebih penting." Latina melanjutkan jalannya. "Hoho.. lebih penting? Apa yang lebih penting dari cin-.. ta." Minaki berbisik diakhir kata. "Diam kau! Hanya dirimu saja yang berpikir tentang hal itu! Jika kau ingin bertemu dengannya, bagaimana kalau kita bertaruh?" Ucap Latina. "Baik!" Minaki menerima tawaran itu. "Siapa yang pertama mencapai pintu utama kastel, dialah yang berhak menemui Hazin. Bagaimana, bukankah itu tidak buruk?" Latina menunjuk kearah kastel yang masih terlihat cukup jauh. Untuk mencapai kastel dengan jalan kaki, mereka berdua harus menempuh jalan menanjak yang berliku-liku sejauh kurang lebih satu kilometer. "Baiklah, satu.. dua.. ti-.. GA.!!" Latina langsung berlari walapun ia belum selesai menghitung. "Apa?! Curang!" Minaki berlari dibelakang Latina. "Haha.. itu tidak curang, itu namanya taktik untuk mencapai kemenangan!" Latina terus berlari kencang. "Jadi begitu, inilah taktik ku..!!" Minaki menggunakan energi kegelapan nya untuk menebang tiang yang ada disepanjang jalan. "Et-.. et-.. Curang! Ini baru yang namanya curang!" Latina terus menghindari tiang yang terus berjatuhan. "Diam dan kalah saja! Ahaha..!" Minaki terus melakukan cakarannya. Tong..!! "Huahaha..!! Rasakan itu marmut kecil! Aku tidak akan tinggal diam! Sampai jumpa digaris finis pecundang!" Latina mengeluarkan salah satu senjatanya, ia membuat salah satu tiang yang ada di depan nya terpental dan mengenai Minaki. Karena taruhan yang dibuat Latina tersebut, seluruh tiang yang berfungsi sebagai lampu itu hancur, tiang-tiang itu juga banyak yang merusak rumah warga yang berada dibawah jalan menuju kastel. Bisa dibilang, mereka berdua telah membuat sedikit kekacauan. "Kalah telak! Huahaha!" Latina sampai dipintu utama lebih dulu dari Minaki. "Aku-.. tidak menerima ini!" Buk Minaki terjatuh, badannya penuh dengan debu dan benjol lan. "Ada apa ini?!" Vondest tiba-tiba berada di belakang Latina. "Eh?! Tuan Vondest? B-bukan apa-apa, em.. aku akan membereskan semua ini, hehe." Latina terkejut saat melihat Vondest. "Tidak, aku bercanda Latina. Tapi, kenapa kalian terlihat tergesa-gesa?" Tanya Vondest. "Hazin!" Latina dan Minaki secara bersamaan menyebutkan nama Hazin. "Hey! Aku pemenangnya, jadi aku yang akan menemuinya sebelum kau!" Ucap Latina. "Itu bukan sebuah taruhan! Kau berbuat licik sejak awal." Minaki dan Latina mulai berdebat. "Sudah-sudah, kalian kan bisa menemui Hazin." Ucap Vondest sambil tersenyum dan berusaha membuat dua gadis di depan nya berhenti berterngkar. "Tapi, aku kan pemenangnya tuan Vondest!" Latina membalikan badannya kearah Vondest. "Tapi dia curang!" Minaki menyangkalnya. "Huh.. akan sulit jika mereka berdua berdebat." Gumam Vondest. "Baiklah, aku yang akan memutuskannya. Latina, kau yang akan menjadi orang pertama untuk bertemu dengan Hazin. Maaf ya Minaki. Tapi, Latina akan sulit untuk dicegah." Vondest berbisik saat bilang Latina sulit dicegah. "Yeay! Kau dengar itu? Keputusan tuan Vondest memang yang terbaik." Latina menjulurkan lidahnya pada Minaki dan masuk ke kastel. "Kalian berdua lucu sekali, kalian mengingatkan aku saat orang tua yang berada dihadapanmu ini masih remaja. Ya, ini hampir sama." Vondest melirik kearah Latina yang sedang berjalan. Minaki hanya diam mendengar ucapan Vondest tadi. Tap-tap.. "Hazin!" Latina teriak memanggil saat melihat Hazin keluar dari kamarnya sore itu. "Latina?" Hazin yang baru saja keluar dari kamarnya terkejut karena Latina memanggilnya dengan ekspresi gembira. "Hazin, kenapa kau terus saja diam di dalam kastel? Kau mau berubah menjadi vampir?" Latina menghampirinya. "Bukan urusanmu." Hazin melanjutkan jalannya. "Tu-t-tunggu!" Latina menghentikannya, Hazin terdiam dan melihatnya. "Ma-ma-ma.. m-maukah kau bi-b-bicara denganku?" Latina mengeluarkan keringat hanya untuk mengajak Hazin bicara dengannya. "Bicara, ha-hanya berdua saja." Latina masih terdengar gugup. "Hah? Berdua? Kau tidak sedang merencanakan hal buruk padaku kan?" Hazin curiga karena Latina tidak pernah mangajaknya berbincang. "Ahk.. sial! Aku tahu dia pasti akan menjawabku seperti itu." Gumam Latina. "Tentu saja tidak! Aku hanya... Hanya.. hanya-.." Latina terus berkeringat. "Apa yang kulakukan?! Kenapa aku melakukan hal tidak berguna ini?! Seharusnya aku tetap diam saja dirumahku." Gumam Latina. "Ya sudah, aku juga sedang ingin menghirup udara segar ditaman. Kau boleh bicara denganku disana." Hazin berjalan. "Hah?! Dia membiarkanku? Eh..!! Tunggu Latina, dia hanya pria tidak berperasaan, Kenapa aku harus merasa senang? Aku harus berusaha bersikap seperti biasa, ya! Kau bisa melakukan ini Latina!" Latina terus berbicara dalam hatinya. Mereka berdua diam ditaman, menikmati suasana sore hari yang tenang. Waktu seperti inilah yang disukai Hazin jika ia ingin mendinginkan kepalanya, warna orange dari matahari yang mulai meredup merupakan saat yang selalu membuat Hazin merasa lebih tenang. "K-kau mau mendengarkanku kan?" Latina diam disebelah Hazin, mereka berdua sama-sama menatap langit. "Jika kau bertanya saran padaku, jangan harap aku akan memberi kata bijak untukmu. Tapi, aku tidak semenyebalkan yang kau pikir sampai tidak mau mendengarmu bicara." Ucap Hazin. "Tentu saja tidak begitu, aku ingin bertanya apa yang kita bicarakan sebelumnya, kau bilang kau akan mencari Death Stone kan?" Tanya Latina. "Tentu saja." "Em.. J-jadi.. itu-.." wajah Latina mulai memerah. "Sini! Biar kutarik lidah pendekmu." Hazin sedikit menghampirinya. "Tidak!" Latina menjauh. "A-aku ingin, aku memutuskan untuk pergi bersamamu!" Latina memaksakan dirinya mengatakan itu. Namun, hal itu sudah ia pikirkan sebelum ia kembali ke kerajaan Triton. "Hah?" Hazin tampak curiga. "T-tentu saja aku melakukan itu bukan karena aku ingin pergi menemanimu, aku hanya tidak ingin raja iblis sampai bangkit. Dan.. dan juga, aku hanya merasa bosan hidup tanpa ada sedikitpun tantangan. Jika kau bertemu dengan para pemuja raja iblis, aku pasti akan cukup berguna." Jelas Latina. "Tidak berguna." Hazin memasang wajah dinginnya. "Tentu saja berguna!" Sentak Latina. "Wah-wah... Kalian terlihat lebih akrab saja." Viole dan Jack menghampiri mereka ditaman. "Jika itu keinginan puteri Latina, kenapa kau harus menolaknya Hazin? Kau sedang butuh orang untuk perjalananmu kan?" Viole berbisik dikuping Hazin. "Tapi dia akan menjadi beban aku rasa." Hazin berusaha untuk menolak Latina ikut bersamanya. "Percaya pada ibu Hazin, kau bisa mengandalkannya." Viole tersenyum. "Em.. ya, mungkin dia bisa membawa barang-barangku." Ucap Hazin. "Aku bukan pembantu!" Latina cemberut. "Kebetulan sekali kalian berkumpul disini." Vondest datang bersama Minaki. "Ayah?" Hazin menoleh dan sedikit kaget. "Vondest! Kenapa kau membawa gadis kucing cantik bersamamu? Kau mau memamerkan selingkuhanmu pada semua orang hah?" Wajah Viole berubah. "Ahaha.. mana mungkin aku berani melakukan itu Viole, ia adalah Minaki, salah satu peserta turnamen tahun ini. Kau pasti sudah melihatnya kan?" Vondest memperkenalkan Minaki di depan semua orang. "Untuk apa dia disini?" Tanya Hazin. Vondest langsung menjawab, "Untukmu Hazin, ia memaksa ayah agar dia bisa bertemu denganmu." Vondest duduk dibangku taman. "Maaf mengganggu percakapan kalian. Tapi, aku datang kesini ingin membicarakan hal yang sama denganmu Latina." Minaki melirik kearah Latina. "Hal yang sama? Berarti, kau menguping pembicaraanku dengan Hazin ya?!" Wajah Latina memerah karena malu. "Tentu saja." Serentak semua orang yang ada ditaman. "Kau berbicara dengan suara yang keras Latina, apa kau tidak menyadarinya? Aku ingin memutuskan pergi bersamamu, benar.. benar-benar ucapan yang romantis!" Minaki meledeknya. "Tutup mulutmu marmut!" Latina membungkam mulut Minaki. "Memangnya kenapa jika kau meminta hal itu padanya Latina? Itu sudah wajar kan untuk seorang kekasih, hihi.." Viole sedikit tertawa, Latina melepaskan tangannya dari mulut minaki. "Ke-ke-ke-.. kekasih?!" Latina bertambah malu. "Wow.. jadi seperti itu, Latina adalah kekasih simpanan Hazin." Minaki menatapi tubuh Latina. "Aku bukan kekasihnya!" Teriak Latina. "Baiklah baik, sudah cukup basa-basinya, aku ingin langsung keintinya saja. Aku sebenarnya sudah menduga hal ini akan terjadi, dimulai dari energi aneh yang kurasakan dari tubuhmu, nama keluarga yang kau miliki, dan juga rasa keinginan untuk mencari tahu kebenaran dari iblis." Minaki melirik Hazin. "Ya, walaupun aku tidak mengucapkan seluruh sebabnya. Namun, aku yakin itu semua ada hubungannya dengan keputusanmu untuk mencari Death Stone kan?" Jelas Minaki. "Death Stone? Bagaimana kau mengetahui tentang batu itu?" Tanya Jack. Ia heran dan mencurigai Minaki karena berita tentang batu itu hanya diketahui oleh keluarga Triton dan orang yang sudah berhasil menghentikan perang antar ras, ia heran karena Jack baru mengetahuinya saat ia ikut dalam diskusi di kerajaan The Down bersama Hazin. "Bagaimana aku bisa mengetahuinya? Itu simpel kan? Aku ini selalu ingin tahu tentang energi aneh yang berada diseluruh dunia, contohnya energi yang dimiliki Hazin. Jadi, batu yang kau bilang tadi tidak mungkin aku lupakan." Ucap Minaki. "Lalu, mau apa kau dengan batu itu? Jangan bilang kau adalah salah satu dari pemuja raja iblis?" Latina juga mulai mencurigainya, Viole dan Vondest sedikit melirik Minaki. "Bukan sesuatu yang spesial, aku hanya ingin mengetahui keberadaan batu mistis itu saja. Jadi, karena targetku ingin mencari batu itu, kenapa aku tidak ikut saja dengan Hazin? Satu batu jatuh dua, bukankah itu bagus?" Ucap Minaki. "Tetap saja kita tidak akan mempercayaimu begitu saja, aku sendiri masih tidak tahu apa tujuanmu sebearnya dari mengetahui Death Stone ataupun energi yang dimiliki Hazin." Jelas Latina. "Aku yang akan menjaminnya." Vondest menyela. "Apa?!" Latina terkejut karena Vondest mendukungnya. "Aku yang akan menjamin Minaki tidak akan berbuat hal yang negatif." Vondest mengulangi ucapannya. "Tapi bagaimana anda bisa seyakin itu tuan Vondest?" Latina tidak percaya bahwa Vondest sendirilah yang akan menjamin Minaki. "Em.. bagaimana ya, selama ini, aku tidak pernah salah menilai orang. Jadi, aku sangat yakin bahwa Minaki tidak memiliki niat busuk dalam tujuannya." Vondest berdiri. "Jadi bagaimana Hazin, apa kau akan menerima Minaki untuk ikut bersamamu?" Tanya Jack, Hazin terdiam dan berpikir sesaat. "Ya, aku menerimanya." "Yeay..!! Terima kasih Hazin ku!" Minaki berusaha memeluk Hazin, Latina menahannya. "Jadi, sudah diputuskan. Kalian berempatlah yang akan menghentikan kebangkitan raja iblis." Viole menepuk tangannya. "Ya! Hazin, Latina, Minaki, dan Jack. Dengan ini aku resmikan kalian sebagai orang-orang yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mencari keberadaan Death Stone dan menghentikan kebangkitan raja iblis, aku sebagai raja tertinggi dari bangsa Fadelta, Vondest Triton telah memberi kalian sebuah Izin." Vondest menjulurkan tangannya pada mereka dan mengeluarkan semacam cahanya disekitar Hazin dan yang lainnya. "Sekarang, tugas ini sudah kuberikan padamu. Berikan harapan dan kehidupan damai untuk semua penduduk bumi, ayah percaya, dan ayah akan selalu percaya bahwa kau bisa melakukan apa yang ingin kau lakukan, selagi itu adalah hal baik. Terimalah takdir keluarga kita, Hazin." Cahaya tadi seketika menghilang. "Wow.. apa itu tuan Vondest? Apa itu semacan teknik perlindungan? Teknik peningkatan?" Minaki terlihat antusias dan bertanya dengan semangat. "Tidak, itu adalah kutukan." "Kutukan?!" Latina langsung terkejut saat mendengar balasan Vondest. "Ahaha.. bukan sebuah kutukan jahat seperti yang kalian tahu, itu adalah kutukan yang mengharuskan keturunan keluarga Triton agar selalu melindungi batu itu tidak jatuh keorang yang salah. aku menyebutnya kutukan karena hal itu akan terus terikat pada seseorang yang merupakan keturunan keluarga Triton, sampai orang itu memiliki keturunan selanjutnya." Jelas Vondest. "Jadi, suatu hari nanti. Hazin juga akan menurunkan kutukan itu pada anaknya dimasa depan?" Tanya Minaki. "Ya, seperti itulah." Jawab Vondest. Minaki kembali berusaha mendekati Hazin, "Ayo Hazin, kita harus segera memiliki anak!" Dengan cepat Latina menggenggam tangan Minaki dan menariknya, "Jangan menghancurkan suasana!" "Vondest, apakah ini tidak terlalu cepat? Hazin bisa mencari batu itu tanpa harus memiliki beban keluarga Triton kan?" Viole menggunakan Telephaty. "Tidak Viole, ini adalah saat yang paling tepat untuk melakukannya." Balas Vondest. Hazin melihat kedua telapak tangannya. "Tugasku?" Gumam Hazin. Hari sudah mulai gelap, tidak terasa mereka telah berbincang cukup lama ditaman. "Kau tidak bisa pergi dimalam hari Hazin." Ucap Viole, anaknya Hazin melirik. "Tunggu, jika saat ini adalah waktu pergantiannya siang kemalam, itu berarti aku memiliki waktu dua belas jam yang kosong kan? Aku sudah merapikan barangku, jadi.." gumam Hazin. "Apa yang kau pikirkan?" Tanya Jack, ia melihat Hazin yang melamun saat Viole berbicara padanya. "Hidrus!" Hazin tiba-tiba bicara. "Hah? Kakek tua itu?" Jack kembali bertanya. "Hidrus.. benar juga, sudah lama aku tidak melihatnya, kemana perginya dia Hazin?" Vondest ikut bertanya. "Aku akan menyiapkan diriku dengan bertemu Hidrus." Ucap Hazin. "Oi.. setidaknya jawab dulu pertanyaan tadi." Jack sedikit kesal karena Hazin tidak menjawab pertanyaannya dan Vondest. "Itu jawabannya, kita Harus menemuinya sebelum kita pergi." Ucap Hazin. "Hah? Jawaban macam apa itu?" Balas Jack. "Tapi itu akan memakan waktu yang cukup lama Hazin, kita tidak tahu dimana dia berada, ibu juga tidak merasakan keberadaannya didekat ibukota." Ucap Viole. "Tidak usah khawatir ibu. Dan juga, ayah sebelumnya bilang bahwa ayah sendiri harus memiliki persiapan sebelum pergi kan? Jadi, itu akan menjadi persiapanku sebelum pergi, ini tidak akan memakan waktu yang lama." Hazin melirik Vondest dan Viole. "Kita semua tidak mengerti apa yang kau katakan Hazin." Ucap Latina. "Pastinya." "Ayah, ibu. Kita akan pergi, mungkin sampai besok pagi." Lanjut Hazin bicara. Viole kembali bertanya, "Tapi, kemana Hazin?" "Nanti kujelaskan. Sekarang, ayo, pegang badanku." Hazin menjulurkan kedua tangannya. "Pegang? Pegang apa maksudmu?!" Latina berpikir Hazin akan melakukan sesuatu yang aneh. "Wah.. ternyata badanmu lebih berotot dari yang terlihat diluar ya.." Minaki memeluknya Grep. "Aa..!!" Teriak Minaki, Hazin meremas ekor Minaki saat ia memeluk dengan erat. "Baiklah, aku pergi dulu." Mereka berpegangan pada badan Hazin. Ngiung.. JKIT!! Mereka seketika mengihilang menggunakan Teleport. "Senang sekali rasanya melihat Hazin tumbuh menjadi anak yang dewasa." Vondest menatap kearah langit yang memiliki begitu banyak bintang. "Ya, hal inilah membuat kita menjadi orang tua yang sesungguhnya." Ucap Viole.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD