Hari Kepulangan Keluarga Triton
"Terima kasih atas semua bantuanmu, Patricya." Vondest dan yang lainnya sudah bersiap-siap untuk pulang kembali ke kerajaan Triton.
"Itu tidak apa Vondest, aku yang seharusnya berterima kasih padamu. Kembali lagi setelah kau menyelamatkan dunia lagi ya!" Wajah Patricya memerah saat melihat Vondest.
"Ya! Kami akan kembali seribu tahun lagi Patricya!" Viole menyeret Vondest.
"Tunggu!"
Latina yang tidak hadir saat keluarga Triton akan kembali tiba tiba datang berlari."Latina? Ada apa?" Tanya Patricya.
"Ibu, aku ingin pergi bersama tuan Vondest untuk sementara waktu. Tolong izinkan aku pergi sementara." Latina memohon pada ibunya.
"Haduh.. Hazin sepertinya akan gembira jika Latina ikut." Viole tersenyum ketika mengetahui Latina berniat ikut bersama mereka kembali ke Triton. "Ehem! Maaf, tengorokanku sakit." Jack sengaja batuk.
"Tapi apa yang akan kau lakukan disana Latina?" Tanya ratu Patricya. "Em.. aku ingin liburan, ya! Aku belum sempat berkeliling disana, hehe." Latina menggaruk kepalanya.
"Baiklah, ibu tidak bisa melarang keinginan putri cantik." Ucap Particya setelah menghela napas. Mengetahui ia telah mendapat izin sang ratu, Latina tampak senang, "Terima kasih ibu! Aku akan kembali jika aku ingin kembali."
Setelah berpamitan, mereka semua pergi meninggalkan The Down kingdom. Hazin berada dikereta yang sama dengan putri Latina.
"Kenapa kau tidak membawa keretamu sendiri?" Hazin menunjuk kearah Latina yang duduk di depannya.
"Aku juga tidak ingin satu kereta denganmu. Tapi, aku memiliki alasan kenapa aku tidak membawa keretaku." Latina memalingkan pandangan kearah jendela.
"Putri tidak berguna." Hazin berkata dingin.
"Bisakah kau tidak mengucapkan kata itu?! Jika aku membawa kereta sendiri, ibu pasti akan menyuruhku untuk pulang sesuai keinginannya." Jelas Latina.
"Kau tidak bilang apa yang kau akan lakukan pada ibumu, apa kau manusia setengah iblis?" Hazin menjauh. "Tentu saja bukan!" Sentak Latina.
"Tapi, kemana pengawal cengengmu?" Hazin baru menyadari bahwa Kairo tidak ikut bersama Latina sebagai pengawal pribadinya.
"Em.. itu.."
Tanpa diketahui Patricya, ternyata Kairo tengah di ikat oleh Latina dan disembunyikan di sebuah gudang dekat kastel The Down. "Apa.. tidak ada yang mengingatku?" Kairo seorang diri dengan tali yang mengikat seluruh badannya.
Mereka menghabiskan enam hari untuk perjalanan kembali ke kerajaan Triton. Setelah sampai, Latina langsung masuk kekamar yang diberi oleh Viole. Karena merasa lelah, hari itu mereka langsung tidur dikamarnya masing masing.
Esoknya, Viole seperti biasa membangunkan Hazin dari tidurnya. Namun, mereka tidak sarapan pagi bersama seperti biasa, Vondest terlihat bulak-balik dari perpustakaan kastel. Jack datang dan membantu Viole bersih bersih, Latina melakukan aktivitasnya diluar kastel, sedangkan Hazin.
Tap-tap..
Ia menuju perpustakaan yang penuh buku, Vondest sedang duduk mengamati buku di bangku yang tersedia didalam perpustakaan. "Apa yang sedang ayah cari?" Hazin menghampiri ayahnya.
"Sebuah petunjuk Hazin, ayah tidak akan pergi tanpa persiapan." Vondest terus membuka selembar demi selembar buku yang sedang ia baca.
"Petunjuk? Bukannya ayah bisa merasakan dimana batu batu itu berada, untuk apa lagi ayah mencari petunjuk?" Hazin duduk didepan Vondest. "Tidak seperti itu Hazin, ayah bukanlah seorang Fadelta yang mengetahui segalanya."
"Walau ayah bilang batu itu bisa ayah rasakan, tetap saja mencari lokasi keberadaannya akan sulit. Untuk bisa merasakannya ayah harus berada cukup dekat dengan batu itu. Lagi pula, ayah harus mencari petunjuk tentang Kuroi Akuma." Vondest membuka buku yang lain.
"Nama menggelikan macam apa itu?" Gumam Hazin dalam hatinya.
Lalu, Vondest mulai menjelaskan, "Kuroi Akuma adalah pengikut setia raja iblis semenjak terlahirnya raja iblis kedunia ini, seperti namanya. Mereka terdiri dari enam iblis yang memiliki keahliannya masing-masing. Jika mereka dan raja iblis sudah mati, Kuroi Akuma akan bangkit dengan sendirinya saat raja iblis berikutnya terlahir, walau dia masih belum mendapatkan kekuatannya."
"Mereka bangkit untuk melanyani raja iblis dengan cara mencari Death Stone dan mempersembahkannya pada tuan mereka. Setelah mereka berhasil, raja iblis akan menyerap tubuh mereka dan menjadikannya kekuatan tambahan untuk raja iblis."
"Mereka menganggap pengorbanan nyawa untuk raja iblis adalah sebuah kehormatan besar yang mereka lakukan seumur hidupnya." Vondest berhenti di suatu halaman buku yang baru ia buka tadi.
"Ayah pernah bertarung dengan orang terkuat di kelompok itu, Barong. Ayah kewalahan saat bertarung dengannya." Vondest menunjukan gambar yang ada dibuku tadi, mahluk dengan wajah merah dan taring besar dari mulutnya, wajah itu cukup menyeramkan.
"Ayah sampai kewalahan? Sekuat apa dia?" Hazin mengamati gambar itu.
"Hehe.." Vondest sedikit tertawa.
"Ya.. jika mau jujur, saat itu dia tidak sendiri. Si Barong tadi ditemani oleh tiga rekannya, jadi wajarkan jika ayah hampir kalah? Hehe." Vondest menutup buku itu.
"Baru saja aku menganggapnya lemah!" Gumam Hazin. "Jadi, kau perlu apa Hazin?" Tanya Vondest.
"Ya, sepertinya ini saat yang tepat untuk mengatakan hal itu." Gumam Hazin, ia terdiam saat Vondest menanyakan maksudnya mencari Vondest.
"Ayah, biarkan aku yang mencari batu itu!"
Hazin terlihat serius saat mengatakan hal tadi. Sedangkan ayahnya Vondest, ia tampak sangat terkejut akan permintaan putra nya.
"Hah?!"
"Aku ingin menggantikan ayah untuk mencari batu konyol itu, aku tahu ini sedikit aneh karena aku mendadak mengatakan hal ini. Tapi, ayah bilang hanya seseorang dari keluarga Triton lah yang dapat mencari batu itu kan? Jika begitu, akulah yang akan mencarinya. Aku adalah seorang Fadelta keturunan Triton kan?" Jelas Hazin.
"Tapi, kenapa kau menginginkan hal itu Hazin? Ayah tadi bilang bahwa kelompok iblis itu kuat kan?"
"Jika ayah bisa melawan mereka, kenapa aku harus takut?" Hazin membuka kembali buku yang berisi gambar anggota Kuroi Akuma tadi.
"Sepertinya ayah tidak bisa mengizinkanmu melakukan hal itu Hazin, apalagi dengan ibumu. Ia takan membiarkanmu pergi mencari Death Stone, kau belum cukup matang Hazin." sangkal Vondest.
"Aku ingin menjadi seperti ayah." Singkat Hazin. Vondest terdiam saat mendengarnya, tidak pernah ia dengar Hazin mengatakan kalimat itu, tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.
"Ayah tidak dilarang untuk menghentikan perang antar bangsa oleh kakek kan? Ayah berhasil melakukan hal itu pada umur lima belas tahun, setelah ayah berhasil mencari dalang dari perang tidak berarti itu dan menghajarnya, semua orang takjub dan ayah menjadi pahlawan untuk semua orang yang tinggal dibumi. Ayah melakukan semua hal itu atas dasar apa?" Hazin balik bertanya.
"Jika ayah bertanya kenapa aku ingin menghentikan kebangkitan raja iblis, sang pembawa kehancuran. Aku hanya bisa menjawab, itu adalah kemauanku sendiri. Itu karena aku berpikir itulah hal yang pantas aku lakukan, hal yang akan membuat semua orang bahagia."
Vondest terus mendengar penjelasan Hazin.
"Pengalaman, ayah bilang pengalaman itu penting dalam hidup seseorang kan? Seseorang akan menjadi lebih baik, lebik kuat karena pengalaman kan? Aku juga menginginkan sebuah pengalaman ayah, biarkan aku mendapatkan pengalaman itu."
"Karena, itu karena. Aku ingin melindungi semua orang, aku akan melindungi siapa yang inginku lindungi. Membuat mereka merasa aku ini sedikit berguna sebagai keturunan keluarga Triton."
"Aku tidak ingin mereka terus menganggapku sebagai orang yang gagal, seseorang yang tidak pantas terlahir kedunia ini."
Vondest terkejut tak dapat bicara sepatah katapun setelah mendengar perkataan Hazin tadi.
"Biarkan aku menggantikanmu ayah." Hazin menatap wajah Vondest dengan ekspresi yang sangat serius.
Untuk sesaat, Vondest teringat tentang masa remajanya saat ia bertekad untuk menghentikan perang antar bangsa.
"Tolong, izinkan aku pergi ayah!"
"Kemampuanmu memang luar biasa, tapi bagaimana dengan para iblis? Mereka itu kuat, kau ingat apa yang kakekmu katakan?"
Saat itu, ayah dari Vondest tidak mengizinkannya untuk pergi bahkan hanya keluar kastel. Mereka menguncinya dikamar, Vondest merasa hal yang dilakukan ayahnya itu salah.
Mereka membiarkan pertumpahan darah yang seharusnya tidak terjadi. Tapi, saat keluarga Triton lengah, Viole dan Ensberg datang dan mengeluarkan Vondest dari kamarnya. Dan, kini ia bisa merasakan keinginan Hazin, Keinginan untuk menyelamatkan banyak orang.
"Hazin, kau itu anak ayah satu-satunya. Ayah tidak tahu harus membiarkanmu pergi atau tidak. Tapi, berhentilah berpikir tetang pantas atau tidaknya kau terlahir kedunia ini, kau bukanlah anak yang gagal! Kau itu anakku Hazin! Ayah akan selalu melindungimu." Ucap Vondest sambil memegang pundak Hazin dengan kedua tangannya.
"Kau harus ingat itu! Ayah akan selalu ada disisimu, kau juga tidak boleh melupakan keberadaan ibumu Hazin. Ayah.. ayah berjanji, ayah bersumpah. Jika untuk melindungimu, nyawa ayah ini tidaklah cukup. Ayah tidak akan cukup untuk melindungimu Hazin!"
Vondest mengencangkan cengkraman tangannya dipundak Hazin sambil menutup matanya.
"Jadi, kehadiran ayah dan ibu tidak akan cukup, kau.. kau harus memiliki teman disampingmu." Vondest tersenyum.
"Te-.. man?" Hazin teringat masa lalunya yang suram.
Buk!
Vondest menepuk punggung Hazin. "Tidak usah terlalu dipikirkan Hazin, kau tidak perlu menggantikan ayah sepenuhnya. Kita akan mencari Death Stone bersama!" Vondest mengangkat jempolnya. "Bersama?" Hazin bingung.
"Iya, kau dan ayah akan mencari batu itu bersama. Bukankah itu lebih baik?" Tanya Vondest.
"Tapi.." Hazin sepertinya ingin menolak ucapan Vondest yang berkata mereka berdua yang akan melakukannya, dan.
"Hazin.." suara Varka terdengar dikuping Hazin.
"Varka? Kenapa disaat seperti ini?" Tanya Hazin dalam hatinya. "Aku harus bicara pada ayahmu."
"Bicara pada ayahku? Tapi, bagaimana cara melakukannya?"
Selama ini Varka hanya dapat bertukar kata dengan Hazin, ia tidak tahu bahwa Varka dapat berkomunikasi tidak hanya dengan dirinya.
"Jangan sepelekan aku, kau lupa ya? Aku ini Ancient Beast terkuat! Bahkan untuk menghancurkan suatu planet, itu hal mudah seperti membalikan telapak tangan. Kau tenang saja, aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan." Ucap Varka.
Tidak lama setelah itu, suara Varka menghilang. Vondest tiba tiba terdiam tidak bicara.
"Tunggu, apa saat ini ayah sedang berbincang dengan serigala aneh itu?" Hazin melihat Vondest seperti terhipnotis.
"Uhuk!"
Vondest seketika kesakitan, ia meremas baju di dadanya seolah menahan rasa sakit yang luar biasa. "Ayah! Apa yang terjadi padamu?" Hazin menahan ayahnya yang hampir terjatuh.
"Tidak Hazin, sepertinya ayah kurang sehat. Kita bicarakan hal ini besok, ayah, mau tidur dulu." Vondest perlahan keluar dari perpustakaan.
"Kenapa ayah tiba-tiba seperti itu? Tunggu, Varka!" Hazin langsung berusaha menyambungkan komunikasinya pada Varka. "Hei..!! Apa yang telah kau lakukan pada ayahku?!"
"Aku tidak melakukan apapun, aku hanya ingin menyampaikan keinginanmu padanya. Itu saja." Ucap Varka.
"Tidak melakukan apapun katamu! Jangan pura-pura tidak tahu! Kau jelas melakukan sesuatu yang buruk padanya." Hazin terlihat sedikit marah. "Sudah kubilang aku hanya bicara padanya!" Varka balas menyentaknya.
"Aku kira, keputusanmu tentang mencari batu sialan itu adalah pilihan terbaik. Kau akan bertarung dengan orang kuat, bukankah itu bagus! Saat kau tidak lagi sanggup bertarung, disaat itulah aku mampu untuk keluar dari tubuhmu! Haha...!!"
"Itu hal yang kuinginkan juga, tapi.. kenapa ayahku sampai seperti itu?" Hazin masih heran kenapa Vondest tiba tiba merasa kesakitan, ia tidak pernah merasakan sakit separah itu.
"Itu mungkin dampak dari energiku, hatinya tidak mampu menakan energi yang kugunakan untuk berkomunikasi dengannya. Jadi, mungkin dia merasa sakit." Jelas Varka.
"Jika itu benar, kenapa hal tadi tidak terjadi padaku?"
"Ah.. aku tidak mau membicarakan hal tentangmu. Sudah, aku mau kembali tidur." Varka mengakhiri pembicaraannya.
"Ayah." Hazin langsung menyusul Vondest.
Tap-tap...
"Hazin, kau terlihat terburu-buru." Viole menyentuh pundak Hazin yang sedang berlari.
"Em.. aku mau tidur ibu, tiba-tiba. Rasa ngatukku berat sekali." Hazin tidak jujur pada ibunya. "Maaf ibu, aku mau ke kamarku dulu." Hazin melanjutkan langkahnya.
"Ngantuk tapi berlari, haduh.. kau itu aneh Hazin."
Buk-buk!
"Ayah! Apa yang terjadi padamu?!" Hazin mengetuk kasar pintu kamar ayahnya. "Tolong buka pintunya!" Tidak terdengar balasan dari dalam kamar. "Tidak! Apa ayah sudah-..." Hazin langsung berusaha mendobrak pintu, namun.
"Hazin! Apa yang akan kau lakukan?" Viole menghentikannya.
"Ayah! Dia tidak membuka pintu kamarnya, tadi dia merasa kesakitan!" Hazin merasa cemas karena pintu kamar Vondest terkunci.
"Oh.. jadi itu, padahal tadi kau bilang kau ingin tidur. Biar ibu yang bicara pada ayahmu, tidak usah khawatir. Terkadang Vondest seperti itu." Viole menghilang dan meninggalkan asap hitam.
"Apa ibu masuk kedalam kamar?" Hazin menempelkan kupingnya kepintu.
"Tentu saja Hazin! Jika tidak keberatan, bisakah kau tinggalkan dulu ibu dan ayah?" Viole terdengar dari dalam kamar.
"Maafkan permintaan ibu ini ya Hazin. Ibu tidak bermaksud seperti itu. Tapi, kau tau maksud ibu kan anakku?"
"B-baiklah, aku akan.. pergi kekamarku." Dengam berat hati, Hazin meninggalkan kamar orang tuanya.
"Kenapa mereka menjadi aneh?"
Hazin terus memikirkan kedua orang tuanya, sementara itu. Latina..
"Hah... Benar-benar lega sekali, kenapa air disini terasa nyaman sekali." Latina merendamkan badannya di pemandian air panas.
"Ngomong-ngomong, apa yang sedang Hazin lakukan sekarang ya? Em..."
"Eh... Kenapa aku mempikirkan dia? Untuk apa." Latina menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tapi, kenapa hatiku terasa aneh setiap bertemu dengannya? Aku tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Haduh... Kenapa aku jadi seperti ini?" Latina membayangkan wajah Hazin.
"Tapi Hazin itu..." Latina terus berbicara dalam hatinya.
Tep-tep...
"Pemandian air panas! Huf.. akhirnya, perjalanan panjang kemarin membuat badanku lelah." Terdengar suara laki-laki masuk kedalam pemandian air panas tadi.
"Hah?! Itu suara lelaki kan? Kenapa masuk kesini?!" Latina gelisah karena mendengar suara lelaki tadi. Lelaki tersebut bersiul sambil mulai memasuki kolam yang penuh dengan uap, ia tidak menyadari bahwa ada orang lain didalam kolam.
"Hah... Ini memang yang terbaik!" Lelaki tadi meredamkan badannya, uap yang menghalangi pandangan tadi mulai menghilang.
"Heh?!"
"Hah?!"
Ternyata laki-laki tadi adalah Jack, mereka berdua sangat terkejut.
"HEI..!! Apa yang kau lakukan disini dasar landak m***m?!" Latina pergi kepojok kolam sambil menutupi badannya dengan handuk.
"Oi..!! kenapa kau bertanya, seharusnya aku yang menanyakan hal itu!" Jack ikut pergi kepojok kolam yang berlawanan dengan Latina.
"Jangan menyangkal! Ini kan pemandian wanita, kau sengaja kan masuk kesini! Aku.. aku akan membunuhmu sialan..!!" Latina mulai menggunakan aliran energi kearah Jack.
"Oi.. jangan lakukan itu! Semua orang akan datang kemari jika terjadi sesuatu." Teriak Jack.
"A-.. ku, tidak PEDULI...!!"
Blarr...!!
Latina menghancurkan kolamnya, air yang terhenbus membuat tempat itu menjadi hujan untuk sesaat.
"Huf huf.. nyawaku selamat!"
"Aku pasti akan membalasnya. Kurangajar, kenapa istirahatku terganggu oleh putri gila itu." Jack berhasil menahan serangan Latina menggunakan kedua tangannya, namun. Salah satu lengannya patah karena tidak kuat menahan amarah Latina.
"Hemp! awas saja, jika aku bertemu dengannya lagi. Aku pasti akan membuatnya menyesal karena telah masuk kedalam pemandian wanita, kurang ajar...! Bisa-bisanya dia masuk! Untung saja dia tidak sempat melihat badanku." Latina kembali mengenakan pakaiannya.
Tep-tep...
"Tunggu." Latina melirik ke papan nama tempat pemandian air panas tadi, dan ternyata tempat pemandian tadi adalah pemandian untuk laki-laki.
"APA..?!"
"Ba-bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa aku masuk kedalam?" Para penduduk yang lewat menahan tawa mereka.
"Ah...! Ini semua pasti karena aku terus berpikir tentang Hazin, ayolah Latina! Jadilah dirimu yang normal, Hazin memang terlihat baik, tapi.. sikapnya selalu membuatku ingin berkata-kata."
"Huf.. membuatku frustasi saja." Latina terbang kembali kearah kastel.