Someone Who Is Waiting For Him

1130 Words
The Kingdom Of Al-Sarem Sebelumnya, Mehmed mengatakan bahwa ia tidak hanya diberikan satu Death Stone oleh raja Vondest, satu hal yang cukup membuat Hazin dan yang lainnya diam tidak dapat berkata apapun. Itu karena, mereka tidak pernah menyanga jika orang yang tampak lemah didepan nya akan menjadi penjaga Death Stone yang memiliki lebih dari satu batu mistis. Untuk beberapa saat, ruang penjamuan kerajan Al-Sarem sunyi. Dari arah jendela, hanya terdengar beberapa suara kicauan burung dan beberapa suara angin saja yang terdengar di kuping mereka. Mendengar hal itu, Latina dan Jack tampak mulai menunjukan urat nadi mereka masing-masing, Hazin masih memasang wajah dingin. Sedangkan Minaki, ia tidak begitu mendengarkan apa yang dikatakan Mehmed barusan karena masih sibuk untuk memeluk Hazin. "Hei, bisakah kau jelaskan lebih rinci padaku?" Latina menatap Mehmed dengan mata yang seolah menyala karena marah. "Ba-baik! Aku akan jelaskan yang sebenarnya!" Karena terus terintimidasi oleh tatapan Latina, akhirnya Mehmed menjeaskan semuanya. "Tapi sebelum itu, bisakah putri Latina tidak berdiri dari bangku itu? Apapun yang kukatakan nanti tolong jangan berdiri putriku." Mehmed mengintip dan memohon dari bawah meja. "Baik, tapi jangan pernah sebut kata putriku lagi dihadapanku! Mengerti?!" Latina menyentaknya. "Ba-baik!!" Setelah itu Mehmed kembali kebangkunya, begitu juga dengan Minaki. Karena tidak tahu hal penting tadi, Latina sedikit menjelaskan padanya. Lalu, setelah semua kembali tenang, Mehmed memulai penjelasannya. "Seperti yang kukatakan sebelumnya, raja Vondest tidak hanya memberikan satu buah Death Stone padaku. Ia memberikan dua buah Death Stone sekaligus, karena cemas orang lain akan tahu hal itu. Vondest sendiri yang menunjuk kota bawah tanah yang saat ini sudah menjadi reruntuhan, saat itu kota bawah tanah masih kami gunakan untuk tempat kami menyimpan harta yang kami, harta kerajaan Al-Sarem." Jelas Mehmed. "Raja Vondest memilih tempat itu karena hanya para bangsawan pililihan dan para prajurit khusus saja yang tinggal disana. Jadi, raja Vondest menganggap tempat itu adalah tempat yang paling aman untuk memberikan dua Death Stone padaku." Mehmed melirik Death Stone dipeti kecil sebelumnya. "Lalu, kemana Death Stone yang satunya lagi pergi jika tidak ada disini?" Tanya Jack. "Tepat disaat raja Vondest mengangkatku untuk menjadi penjaga Death Stone dan memberikan dua batu itu, secara mendadak mahluk buas berhasil menerobos tembok dan masuk kedalam kota bawah tanah. Saat itu raja Vondest dan ratu Viole membunuh begitu banyak mahluk buas, lalu ia berkata." Mehmed kembali mengingat kejadian dimasa lampau itu. "Mehmed! Ini tidak akan ada habisnya, aku akan membukakan jalan keluar untukmu! Jangan kau hiraukan para penduduk yang berada disini, setelah kau berhasil keluar. Aku akan segera membantu penduduk sini!" Ucap Vondest saat itu. "Tapi." "Kau dengar ucapan Vondest kan? Sekarang, cepat ikuti kami!!" Sentak Viole. Karena saat itu keadaan sangat ricuh, Mehmed tidak menyadari bahwa satu Death Stone yang ia genggam terjatuh karena terkena ekor mahluk buas yang sedikit mengenai tangannya, ia baru menyadari hal itu setelah Vondest berhasil mengeluarkan seluruh penduduk kota bawah tanah. "Aku kehilangan satu Death Stone saat itu, disanalah tempatnya." Mehmed hanya menundukan kepalanya karena malu dan juga takut. "Ahh... Tidak lagi, aku tidak mau tubuhku yang imut ini dilumuri darah. Hazin! Bagaimana ini? Aku tidak mau-.." Minaki merengek, namun Hazin dengan cepat menyumpal mulutnya menggunakan roti yang Mehmed sediakan. "Apa kau yakin tempat yang kau tunjukan dalam peta itu adalah tempat dimana kau menjatukan batunya?" Tanya Hazin. "Aku sangat yakin." Balas Mehmed, ia masih saja menunduk. Latina sedikit menghela napas, "Kau tahu? Sebenarnya aku ingin marah karena kau membuat kita kesusahan karena ulah konyolmu itu. Tapi, saat ini aku sedang tidak ingin marah. Jadi, mau bagaimana lagi." Latina berdiri dari bangkunya. Malam menyambut kerajaan Al-Sarem. Latina dan juga Hazin memutuskan untuk masuk kedalam kota bawah tanah esok hari, Latina khawatir mereka akan kesulitan untuk menghadapi mahluk buas jika keadaannya gelap. "Tunggu, kami harus tidur disini?" Tanya Minaki. Mereka berempat berkumpul didalam satu kamar yang berukuran sedang, hanya terdapat satu tempat ditur didalam kamar itu. "Ya... Mau bagaimana lagi, sebagian besar wilayah kastel ini berupa taman dan kandang hewan peliharaanku." Jawab Mehmed sambil memalingkan wajahnya. "Jangan bercanda orang tak berakal!! Bagaimana bisa aku tidur dikamar seperti ini?! Ahk!!" Sentak Latina, ia meremas rambutnya sendiri karena kesal. "Tunggu, itu berarti aku harus sekamar dengan..." Latina memelankan nada bicaranya lalu melirik kearah Hazin dan Jack. "Mereka?" Ia menatap Jack dengan wajah yang merasa jijik. "Oi! Apa yang kau maksud itu aku?!" Jack merasa kesal dengan sindiran Latina. "Ahh.... Itu berarti kita bisa tidur bersama Ha-... Uhuk!" Minaki terjatuh saat lari menghampiri Hazin dengan semangat, Latina dengan sengaja menginjak salah satu kaki Minaki saat berlari. "Em... Bagaimana jika aku sewakan sebuah penginapan untuk kalian?" Tanya Mehmed. "Aku tidak akan menerima sedikitpun bantuan dari orang yang telah berani melawanku, apalagi sampai berusaha untuk membunuhku, hemp!!" Jawab Latina dengan spontan. "Bukankah selama ini si pudding berry selalu melawannya?" Gumam Jack. Dengan berat hati, Latina akhirnya bisa tidur dikamar itu. Minaki dan Latina saja yang berbaring diatas kasur. Jack memutuskan untuk tidur diatas lantai yang hanya dialasi oleh beberapa kain, sedangkan Hazin tidak terlihat didalam kamar itu. "Sudah kubilang, saat itu aku sedang asyik melihat awan. Kenapa kau memaksa sekali?" Ternyata Hazin sedang berada diatap kastel Al-Sarem, itulah kebiasaannya. Menikmati pemandangan baik itu malam ataupun siang. "Dasar tidak berguna! Jadi kau sama sekali tidak mendengarkanku saat itu?" Suara Varka terdengar dikuping Hazin, mereka berdua sedang berbincang semenjak teman-temannya mulai tertidur. "Ya." "Menyebalkan, saat itu aku bilang padamu bahwa ada suatu energi aneh yang sedang terdiam didalam kota yang kau diami saat ini. Hey kau!! Dengarkan aku!!" Varka menyentak karena Hazin seolah tidak mendengarkan ucapannya. "Aku dari tadi mendengarkanmu serigala aneh! Memangnya aku harus melihat kearah mana untuk melihatmu?" Hazin balas bertanya. Varka menghela napas panjang untuk meredamkan sedikit amarahnya. "Tidak ada gunanya berdebat denganmu. Pokoknya, kau harus lebih waspada Hazin. Mungkin dia akan sedikit berbahaya untuk dirimu yang sekarang, aku tidak dapat memberikan posisi tepatnya padamu, tapi aku sangat yakin bahwa ia sedang menunggu kedatanganmu. Ia tidak bergerak semenjak kedatanganmu kekota ini." Jelas Varka. "Itu karena memang aku yang benar." Ucap Hazin dengan wajah dingin. "Hah? Apanya yang benar?" Varka merasa bingung dengan apa yang dikatakan Hazin. "Aku. Kau kalah debat denganku karena akulah yang benar, mengaku saja." Hazin masih memasang wajah dingin. "Ahkk..!!! Kau telah membakar semua emosiku! Dengarnya, aku tidak akan peduli dengan apa yang akan terjadi dikota ini. Camkan itu! Aku mau kembali tidur." Suara Varka menghilang secara perlahan. Hazin terdiam untuk beberapa saat, ia sedikit menundukan kepalanya lalu melihat kearah ibukota Al-Sarem. Walau hari sudah cukup malam, kota tempat ia berdiri itu terlihat masih hidup. Perahu, kereta kuda dan barang-barang dari antar daerah membuat semua orang yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang terus bekerja, hal itu juga membuat para penjaga yang memeriksa seluruh barang dagangan tidak tertidur. Lalu, Hazin yang mendengar peringatan dari Varka sedikit berpikir, "Energi aneh?" Ucap Hazin, ia kembali menatap lautan yang bersinar karena cahaya bulan dari atap kastel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD