The Down Kingdom, ruang diskusi kerajaan.
"Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, kita berkumpul disini untuk membicarakan soal keberangkatan anak-anak kita." Vondest duduk dibangku paling depan.
"Anak tidak tahu sopan santun! Kenapa dia bisa pergi tanpa menemui ibunya dulu." Lien menghadiri ruangan itu.
"Kau tidak boleh seperti itu Lien, dia sudah besar, dia pasti tahu bahwa jika ia pulang dan menemui mu dulu, maka dapat dipastikan kalau kau tidak memberi izin padanya. Lagi pula, itu adalah sebuah perintah dari raja, dia sedang menuruti perintah dan melakukan hal yang benar kau paham." Ensberg duduk disamping Lien.
"Itu benar, Latina juga pergi tanpa mengatakan apapun padaku, ia memang sering melakukannya, tapi. Jika tujuannya adalah mencari Death Stone, apakah ini tidak terlalu berbahaya untuk mereka Vondest?" Ratu Patricya juga terlihat duduk didepan Lien.
"Hemm..." Ratu Viole duduk disamping Patricya sambil terus cemberut.
"Maafkan aku semuanya, aku sampai melibatkan anak kalian dalam masalah ini, memang salahku karena langsung membiarkan mereka pergi, aku juga telat memberi kabarnya pada kalian, maafkan aku. Tapi, kita berkumpul disini bukan hanya membicarakan tentang berpamitan kan?" Vondest melirik kearah Patricya.
"Ah.. i- iya! Ten- tentu saja Vondest." Jawab Patricya malu-malu.
"Jadi, apa yang ingin kau sampaikan Vondest?" Tanya Ensberg.
"Tugas menemukan Death Stone itu sangat berat, kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita melakukannya sendirian, kita sebagai orangtua dan pemimpin negeri ini harus melakukan sesuatu yang dapat membantu mereka, tentu saja ini berhubungan dengan Death Stone." Jawab Vondest.
"Seperti yang kita tahu, Death Stone berjumlah enam buah batu, masing-masing darinya tersebar luas secara acak diseluruh penjuru dunia, mencarinya hanya dengan satu kelompok pasti akan memakan waktu, kita tidak bisa membiarkan para Kuroi Akuma sampai berhasil mendapatkan bahkan hanya salah satu dari batu tersebut."
"Maka dari itu, setelah berpikir panjang, aku telah memutuskan bahwa kita akan membuat kelompok untuk mencari Death Stone juga, sama seperti anak-anak kita." Vondest terus menjelaskan apa yang ingin ia katakan.
"Kelompok pencari Death Stone?" Ensberg sedikit terkejut.
"Ya, masing-masing dari kelompok tersebut dipimpin oleh salah satu orang yang kalian anggap kuat, mungkin seperti perdana mentri, ataupun jendral. Kita harus mendahului ras iblis untuk mendapatkan batu itu, karena. Aku sangat yakin bahwa Kuroi Akuma pasti sudah mulai bergerak mencari kekuatan tuannya." Jawab Vondest.
"Ta-tapi, kenapa tidak kita saja yang me-melakukan hal itu Von-Vondest?" Tanya Patricya, ia terus berkata malu-malu sambil memandangi wajah Vondest.
"Kenapa kau mengucapkan kata patah-patah seperti itu? Patricia!" Viole mulai marah karena mengetahui Patricya terus memandangi wajah Vondest.
"Jika kita yang melakukannya, bagaimana dengan negeri yang kita pimpin? Siapa yang akan menjanganya?" Jelas Viole, ia tidak lagi cemberut setelah sedikit menyentak Patricya.
"Viole benar, jika kita yang melakukannya, bagaimana dengan kerajaan kita masing-masing? Kita tidak tahu rencana busuk apa yang akan dilakukan oleh bangsa iblis, bagaimana jika mereka memanfaatkan kepergian kita dengan cara menyerang kerajaan, mereka tidak tahu bahwa orang yang mencari Death Stone bukanlah kita." Ucap Vondest.
"Hem... Kau benar Vondest, tapi kita juga tidak tahu apakah para Kuroi Akuma membagi anggotanya atau tidak, mereka akan lebih cepat mendapatkan apa yang mereka mau jika menyebarkan seluruh kelompoknya, tapi. Bagaimana jika tidak? Akan berbahaya untuk anak kita jika bertemu seluruh kelompok itu secara langsung." Ensberg mengangkat cangkir yang ada didepannya.
"Dan juga, jika mereka mengira bahwa kita yang mencari batu itu dan menyerang kerajaan, korban dalam jumlah besar tidak bisa kita hindari. Belakangan ini mereka lebih agresif dari biasanya, mereka sampai berani menyerang desa-desa yang berada dekat dengan ibukota, dan. Kita yang berpikir kitalah yang terkuat untuk melindungi para rakyat akan BUM..!"
Trang!
Ensberg menghancurkan cangkir yang tadi ia angkat diakhir kata.
"Kau mengerti maksudku kan, Vondest?" Ensberg menatap Vondest dengan serius.
"Haduh... Maafkan aku Patricya, dia selalu saja menghancurkan barang didekatnya, kita sampai kehabisan gelas dirumah." Lien tersenyum.
"Aku sama sekali tidak menganggap remeh mereka Ensberg, yang kumaksud adalah kita harus mempercayakan hal ini kepada anak-anak kita. Mereka adalah keturunan kita yang telah berhasil membunuh raja iblis, kita harus memastikan mereka bisa menjadi orang seperti kita suatu hari nanti." Jelas Vondest.
"Kita? Hem.. dia itu, walau dia selalu berkata kasar, dia tetap saja selalu melakukan hal yang ceroboh." Ensberg mengingat Jack.
"Latina bersama mereka, jadi. Kita tidak perlu khawatir tentang Kuroi Akuma." Patricya tersenyum.
"Ya, Hazin juga pasti tidak akan membiarkan temannya terluka, iya kan Vondest?" Viole terlihat memaksakan senyumnya.
"Wah.. iya juga, Latina kan bisa mengalahkan monster batu raksasa walau masih kecil." Balas Patricya, ia juga tersenyum secara paksa.
"Aku baru ingat, Hazin bisa menghancurkan.."
"Viole."
Vondest menyela perkataan Viole, ia tidak ingin apa yang telah dilakukan Hazin dimasa lalu diceritakan kembali.
"Maaf.." Viole cemberut.
"Jika seperti itu, bagaimana kalau kita memancing mereka untuk menyerang ibukota Triton?" Tanya Vondest.
"Memancing mereka?!" Ensberg terkejut.
"Ya! Kita bisa menyebarkan berita palsu tentang kepergian kita mencari Death Stone kepada masyarakat luas, dengan begitu. Bangsa iblis akan merasa leluasa untuk menyerang ibukota, karena. Mereka berpikir kita tidak bisa melindungi masyarakat yang kenyataanya terbalik." Ucap Vondest semangat.
"Ehh.. itu kan teknik anak kecil Vondest, mereka tidak akan semudah itu percaya berita palsu." Viole masih cemberut.
"Memang ada kemungkinan bahwa mereka mengetahui berita itu palsu, tapi. Bagaimana dengan..." Vondest berhenti bicara.
"Dengan apa Vondest?" Tanya Patricya.
"Ahaha, aku tidak tahu. Sangat rumit untuk membuat rencana seperti itu ahaha.. maafkan aku." Vondest sedikit tertawa, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Huff... Dari dulu kau selalu bertindak tanpa rencana sedikitpun Vondest." Viole menghela napasnya.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" Tanya Lien.
"Aku... Tidak tahu." Jawab Vondest.
"Huhh..."
Viole dan yang lainnya kecewa.
"Jika sudah begini, kita hanya perlu diam saja dirumah kita masing-masing. Kita masih bisa berkomunikasi dengan Hazin atau yang lainnya dari jarak yang jauh kan, maka. Kita akan melakukan apa yang Vondest katakan tadi, kita jaga kerajaan kita masing-masing dan mengirim pasukan Khusus untuk membantu menemukan Death Stone." Jelas Patricya.
"Kau benar!" Vondest terlihat senang.
"Cih! Kau mencuri kata-kataku." Viole tadinya ingin mengatakan apa yang Patricya ingin katakan.
"Kita harus memberikan kabar ini pada Warlock, tapi. Hal ini harus dipastikan tidak bocor kesiapapun, kita tidak bisa menggunakan Telephaty untuk memberikannya, seseorang harus pergi ke Wildtress Kingdom." Ucap Vondest.
"Biarkan aku yang melakukannya." Ucap Ensberg sambil berdiri.
"Kawan, aku tidak bisa membiarkanmu berada dalam bahaya lagi. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi kesana." Vondest menolak permintaan Ensberg.
"Tapi kau bilang hal ini tidak boleh sampai bocor kan? Kalau begitu, salah satu dari kita yang berada disini yang harus melakukannya. Kalian sebagai pemimpin negeri tidak bisa meninggalkan negeri kalian, karena itu adalah bagian dari rencana tadi. Jadi, kau mengizinkanku atau tidak, aku akan tetap melakukannya." Ensberg kembali duduk.
"Tapi!"
"Tidak usah khawatir tuan Vondest, aku akan ikut bersamanya." Lien menyela perkataan Vondest.
"Tapi pastikan kau akan baik-baik saja Ensberg!" Mendengar perkataan itu, Vondest tidak bisa lagi menolaknya.
"Dengan ini, rencana kita untuk membantu pencarian Death Stone telah ditentukan." Viole mengakhiri dikusi mereka.
Vondest masih tidak begitu setuju dengan keputusan yang Ensberg ambil, setelah diskusi mereka selesai, Vondest dan Viole masih terdiam diruangan itu.
Viole tahu bahwa Vondest hanya berpura-pura bodoh dihadapan semua orang.
Cawilva, kota pembajak.
"Uhuk-uhuk! Tenggorokanku, terdapat padang pasir ditenggorokanku." Jack turun dari kereta.
"Ahk..." Latina turun dari kereta dengan wajah yang terlihat tua, ia juga merasa capek karena disepanjang jalan, Latina dan Jack sama-sama terus berbicara.
Setelah berada diatas kereta Zego selama satu hari penuh, mereka akhirnya tiba dikota bernama Cawilva, mereka tiba disaat matahari berada tepat diatas kepala.
"Jadi ini yang disebut kota pembajak?" Tanya Hazin, ia melihat kearah kota didepannya.
Kota itu terlihat cukup ramai, bukan hanya karena penduduknya saja yang sibuk dengan perdagangan, namun. Banyak kapal mulai dari ukuran kecil sampai kapal dengan ukuran super besar berjajar dipelabuhan.
"Oke..! Ini saatnya kita bernegosiasi!" Ucap Latina semangat, mereka berempat langsung berjalan menuju kearah pelabuhan.
"Oi, apakah tidak apa-apa kita kesini? Dari awal mereka sudah menatap kita dengan tatapan membunuh." Tanya Minaki.
Para penduduk disana merupakan manusia setengah hewan atau biasa disebut Half Man, tidak seperti kota lainnya, kota ini dipenuhi oleh Half Man berbadan kekar, mulai dari manusia setengah kucing, sampai manusia setengah burung ada disini.
"Haha..! Padahal kau yang bilang kita harus kesini, tapi kenapa justru kau yang ketakutan karena para sampah, memalukan." Latina berjalan paling depan.
"Oi, siapa yang kau maksud sampah?" Seseorang menghadang mereka dengan wajah seram.
"Ihkk!!" Minaki ketakutan dan langsung memeluk Hazin, namun seperti biasa. Hazin langsung melepasnya.
"Yang kumaksud itu kau macan cengeng, kau hanya bisa hidup dari Harta orang yang kau rampok, kehidupanmu itu tak lebih dari.. sam.. pah." Latina maju dan bicara didepan wajah manusia setengah macan tadi.
"Hoh, ternyata kau puteri Latina, jarang sekali ada keluarga kerajaan datang kekota ini, apalagi seorang puteri. Itu karena, mereka ta.. kut." Half Man tadi balik menantang Latina.
"Eheh.. ehehe.. kau sepertinya mengejekku." Latina mengeluarkan energinya.
"Bukankah kau yang pertama melakukannya?" Half Man itu masih terus menantang Latina.
"Dasar berengsek, inilah yang menyebabkan kita dianggap sebagai musuh oleh penduduk Cawilva. Kau itu seorang puteri, bisakah kau tunjukan sedikit sifat feminimmu?" Jack menahan Latina.
"Diam kau landak! Ini adalah urusan antara orang kuat." Latina masih belum berhenti.
"Latina, kita punya misi yang harus diselesaikan." Ucap Hazin dibelakang Jack, Latina langsung terhenti ketika mendengar ucapan Hazin.
"Kau selamat kali ini sampah, untuk selanjutnya jangan salahkan aku jika wajahmu akan sama dengan gumpalan kain itu, hemp!" Latina melanjutkan jalannya, ia dengan sengaja menyenggol badan orang tadi.
"Bisakah kau tidak mencari masalah?!" Tanya Minaki kesal.
"Hey marmut, kau sebagai wanita tidak boleh mau ditindas oleh lelaki seperti orang tadi." Latina masih berjalan didepan.
"Tapi kau yang berbuat salah tadi, kenapa malah kau seolah yang benar." Ucap Minaki.
"Kita harus kesana!" Hazin menunjuk salah satu toko yang berada dekat dengan pelabuhan, Minaki dan yang lainnya melirik.
"Kenapa kita harus kesana?" Tanya Jack.
"Itu karena tulisan ini bodoh, kau tidak bisa baca?" Hazin menyodorkan sebuah papan yang tertulis.
Tempat penyewaan kapal.
Anda bawa uang, kami senang. anda tidak bawa uang, kami tendang.
Seperti itulah tulisan dipapan tadi.
Kriett..
Pintu toko tadi dibuka.
"Permisi, kami ingin menyewa kapal." Ucap Minaki.
"Selamat datang para orang t***l!" Pemilik toko langsung menghampiri Latina, ia merupakan manusia setengah kadal atau Lizzard Man.
"Egk!" Latina tersedak.
"Kami menyediakan jasa penyewaan kapal apa saja! Mulai dari kapal nelayan sampai kapal perang! Tidak hanya kapal, para kru juga kami sewakan untuk menjalankan kapal sampai ketempat tujuan anda! Jangan lupa kaptennya, bagaimana?! Kalian siap mati?" Pemilik toko itu menepuk pundak Latina dengan penuh semangat.
"Apa-apaan kau ini?! Lepaskan tanganmu dariku!!"
Duakk!!
Latina meleparnya.
"Uhk.. maafkan, aku lupa." Pemilik toko tadi kembali bangun.
"Namaku adalah Meraju Nigul, aku adalah pemilik lebih dari lima puluh kapal dipelabuhan ini. Orang lain biasa memanggilku dengan julukan, King Of Pirate." Meraju memperkenalkan dirinya.
"Baiklah Meraju, kau pasti tahu kami datang kesini untuk apa, berikan kami satu buah kapal berukuran sedang." Hazin langsung menyampaikan maksudnya datang ke toko itu.
"Wohoho! Baiklah, ada beberapa jenis kapal sedang milikku, kau akan memilih yang mana? Meriam lima puluh, meriam seratus?" Meraju menghampiri Hazin.
"Kami tidak membutuhkan meriam." Singkat Hazin.
"Kita akan berlayar menuju samudra Tembula." Ucap Jack.
"Apa?! Samudra Tembula katamu..! Sebaiknya, kalian tidak pergi kesana, wa-walaupun aku sudah membunuh monster raksasa yang mendiami samudra itu, tapi. Em... Badai! Banyak badai besar terjadi disana." Jelas Meraju, ia terlihat ragu dan menutupi sesuatu ketika tahu bahwa tujuannya adalah samudra Tembula.
"Kau jelas-jelas ragu saat mengatakan bahwa kau telah membunuh monster disana." Ucap Latina.
"Tidak! Aku hanya khawatir badai akan menghancurkan kapal, aku juga tidak mau rugi." Jelas Meraju.
"Baiklah, aku tidak peduli dengan kapal milikmu, kita harus berlayar kesana, berikan kapal untuk kita, nanti kubayar." Hazin langsung mengatakannya.
"Dasar Hazin bodoh..!!" Gumam Latina.
"Nanti, kau bilang? Kau tidak membaca tulisan didepan tokoku hah?! Kalian tahu kan apa resikonya jika kalian tidak membawa uang kedalam tokoku!! Bersiaplah untuk pulang kerumah kalian secara paksa." Sentak Meraju.
"Tunggu-tunggu! Bisakah kita membicarakan ini perlahan?" Minaki menggunakan teknik penggoda miliknya, walau Meraju tidak terlalu terpengaruh, tapi setidaknya ia menjadi lebih tenang dan menerima tawaran Minaki untuk berbincang.
Mereka duduk dibangku yang berada didalam toko.
"Jadi, kalian sama sekali tidak membawa uang sepeserpun yah? Kalau begitu, kalian bisa mendapatkan uang dari bekerja sebagai kru dikapalku, walaupun gajinya tidak terlalu besar, namun. Itu hal yang dapat kalian lakukan jika kalian memang harus pergi kesana." Meraju menawarkan mereka untuk bekerja.
"Aku bekerja sebagai anak buahmu?! Jangan seenaknya ya, kau tidak tahu siapa aku." Latina berdiri, Hazin masih saja terdiam tidak ingin ikut campur dalam diskusi itu.
"Kau puteri Latina, pembawa onar." Meraju cemberut.
"Ehh?" Latina terkejut karena selama ini Meraju ternyata sudah mengetahui bahwa Latina adalah puteri dari kerajaan The Down.
"Latina! Biar aku saja yang menyelesaikan ini." Minaki menggunakan Telephaty untuk berbicara dengan Latina.
"Tapi kenapa kau-.."
"Huahh...!! Hah.. hah.." Minaki tiba-tiba teriak menyela Jack.
"Meraju.. apakah tidak ada pekerjaan lain yang lebih pantas untuk seorang wanita?" Minaki berusaha merayunya.
"Em.. aku tidak tahu apa lagi, tapi. Mungkin aku tahu bagaimana cara agar kau mendapatkan kapal dariku, tapi. Mungkin ini sedikit berbahaya untuk kalian." Ucap Meraju.
"Baik! Kita terima." Sentak Minaki, ia langsung menerima tawaran Meraju.
"Aku memiliki gangguan disebuah gudang, letaknya berada disebelah timur kota ini, tidak terlalu jauh. Setiap aku menyimpan barangku disana, aku dan anak buahku selalu diserang oleh mahluk buas yang aku sendiri tidak tau apa jenisnya."
"Jika kalian berhasil membunuh mahluk itu dan memperlihatkannya padaku, aku jamin. kapal yang kalian minta akan kuberi." Jelas Meraju.
"Oke! Itu hal yang mudah, iya kan Hazin?" Minaki melirik Hazin berusaha mendapat dukungan, namun Hazin justru berpura-pura melirik keluar toko.
"Mahluk itu hanya keluar dimalam hari, kalian akan kesulitan untuk melihatnya, aku yang merupakan Lizzard Man saja tidak bisa melihatnya, apalagi untuk mencium baunya. Jadi, walau diantara kalian adalah seorang Putri, kalian harus tetap berhati-hati." Ucap Meraju.
Mereka semua langsung keluar dari toko itu setelah mendengar dan mengetahui apa yang diinginkan Meraju.
Tidak membawa uang sepeserpun, hal itu memaksa Hazin dan teman-teman nya untuk segera menyelesaikan permintaan yang Meraju tawarkan. Menyelidiki adanya mahluk buas di kota, tidak satupun dari mereka yang mengetahui seperti apa wujud mahluk itu. Tapi, mereka harus tetap melakukan nya.