Samudra Tembula
"Hah... Udara segar.. kita kembali hidup." Minaki menghela napas panjang.
Hazin, Latina, Jack serta Minaki. Berkat jasa mereka berempat, akhirnya Death Stone pertama berhasil di dapatkan, mengamankan nya dari incaran raja iblis.
Namun, itu hanya satu dari enam batu mistis. Masih ada lima lagi yang tersisa, perjalanan Hazin yang bertekad untuk menghentikan kebangkitan raja iblis masih panjang. Maka dari itu, setelah meninggalkan kerajaan Blue Heart, mereka berempat langsung kembali kepermukaan laut.
"Hazin, kapan kau akan menghubungi ayahmu? Kita harus mendapatkan informasi darinya." Tanya Latina, mereka berempat diam melayang diatas permukaan air.
"Kita kembali dulu ke Kargoa." Jawab Hazin, ia melihat kearah sebuah pulau kecil. Asap terlihat dipinggir pulau itu, kapal yang mereka naiki juga sedang menurunkan jangkarna didekat pulau.
Mereka terbang kearah pulau itu, Hazin sampai terlebih dahulu. "Wah... Kalian kembali, bagaimana, apakah kalian berhasil menemukan kerajaan bawah laut itu?" Kargoa menyambut Hazin dan yang lainnya kemudian bertanya.
"Tentu saja kami menemukannya." Jawab Minaki.
"Bagaimana kerajaannya? Bagaimana penduduknya? Apakah mereka terlihat seperti ikan? Apakah wanita disana cantik seperti puteri duyung? Ayo ceritakan padaku!" Kargoa berkali-kali menanyakan soal kerajaan Blue Heart, ia terlihat begitu penasaran.
"Itu tidak akan memenuhi bayanganmu, orang yang hidup disana tidak secantik yang kau kira. Kerajaannya saja sudah aneh." Balas Jack sambil memegang perutnya.
"Haha... Kukira gambar yang kulihat dalam buku itu benar, baiklah. Kalian bisa beristirahat dulu dipulau ini sebelum melanjutkan pelayarannya." Kargoa berbalik dan kembali berjalan menuju api unggun dan para kru kapal lainnya.
"Wuahaha.... Kambing guling itu terlihat enak sekali... Hehe... Datang kesini daging.." Jack meneteskan air liurnya ketika melihat kambing guling yang sedang dipanggang didekat api unggun yang cukup besar.
Setelah kembali kepermukaan, Jack, Latina, Minaki maupun Hazin merayakan pesta kecil dipulau kecil bersama Kargoa dan para kru kapal.
Mereka mabuk didekat api unggun yang menjadi pusat mereka berkumpul, Jack sangat mabuk sampai bernyanyi bersama Minaki, para kru mengikuti Jack bernyanyi nyayian yang tidak jelas itu. Mereka saling bergandengan tangan, semua hal itu berlanjut sampai sore hari datang.
Hazin hanya melihat semua itu dari kejauhan, ia ikut meminum minuman beralkohol secara perlahan, sebelumnya dia tidak pernah meminum bir ataupun wine seperti yang ia lakukan sekarang.
Saat teman-temannya dan para kru tertidur pulas, Kargoa menghampiri Hazin yang sedang duduk dipinggir pohon kelapa sambil melihat keatas lagit yang dipenuhi bintang, itu memang hal yang biasa Hazin lakukan dimalam hari.
"Kenapa kau tidak bergabung putra raja?" Tanya Kargoa, ia duduk didekat Hazin.
"Untuk apa aku melakukan semua hal bodoh itu?" Hazin bertanya balik.
"Haha... Itu memang bukan hal yang menarik untukmu, namun. Kau lihat semua wajah mereka? Mereka terlihat senang bukan? Dibandingkan pesta besar para bangsawan, hal kecil seperti ini akan lebih berarti, itu menurutku." Kargoa dan Hazin melihat kearah teman-temannya yang sedang tertidur.
"Hazin, aku mewakili seluruh pelaut yang hidup diwilayah ini ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya untukmu. Kau telah berhasil membunuh monster laut bernama Kraken itu, kau telah memberikan kebebasan untuk kami. Walau, kami ini tidak lebih dari penjahat yang merampas hak orang lain. Kami, benar-benar berterima kasih." Kargoa sedikit melirik Hazin.
"Selama Kraken hidup, kami para pelaut baik itu pembajak ataupun pedagang terus saja dihantui oleh keberadaan Kraken. Monster itu terus melahap kapal-kapal yang lewat disekitar samudra Tembula, kesenangan yang mereka rasakan saat ini berasal dari apa yang telah kau lakukan sebelumnya, pangeran Hazin." Kargoa terus melihat semua orang tertidur.
Hazin sedikit menoleh, "Tidak usah berterima kasih padaku pak tua, bukan hanya aku yang melakukannya. Jack, Minaki, dan juga. Puteri Latina, mereka semua sudah membantuku untuk bisa menghancurkan monster itu. Jadi, berterima kasihlah pada mereka." Hazin menatap putri Latina.
"Haha... Ombak besar, cahaya biru yang kuat, benda hitam yang terbentuk, dan juga. Cahaya putih yang keluar dari air, itu semua adalah kekuatan yang kalian gunakan untuk melawan Kraken kan? Tidak salah jika aku mengucapkannya padamu." Balas Kargoa, ia sedikit tertawa.
Hazin kembali menatap langit, begitu juga Kargoa, ia mengikuti Hazin.
"Apa kau tahu tentang para manusia setengah hewan yang hidup dibawah air itu? Kenapa mereka terlihat jauh lebih tua dari ayahku? Padahal sebelumnya ia bilang bahwa ayahku telah menjadi gurunya saat ia masih muda." Tanya Hazin.
"Ya, itu karena umur mereka lebih pendek dibandingkan tiga ras yang hidup didaratan, Termasuk bangsa iblis. Karena umur pendek itulah mereka menjadi golongan yang hampir punah, bahkan. Banyak orang yang menganggap mereka sudah tidak tersisa, setidaknya itu yang ditulis didalam buku." Jawab Kargoa, ia beralih melihat ombak, itu karena bulan sedang terang.
"Rajin sekali." Singkat Hazin.
"Ya, begitulah. Kau akan mendapatkan banyak pengetahuan baru dari sebuah buku, karena buku yang kita baca banyak ditulis oleh orang yang hidup lebih dulu dari kita. Mereka pasti memiliki banyak pengalaman." Ucap Kargoa.
Mendengar hal itu, Hazin teringat ucapan ayahnya.
"Pengalaman akan merubah hidup seseorang lebih kuat, pengalaman akan membuat seseorang berubah."
"Ya, tapi siapa sangka. Manusia bawah air yang dikatakan sudah binasa itu masih hidup, kalian bahkan bertemu dengan mereka." Kargoa tersenyum.
"Aku ingin mengambil suatu barang dikapal, aku akan kembali." Tanpa basa-basi Hazin langsung terbang ketempat kapal berlabuh.
"Anak muda." Kargoa sedikit tersenyum sambil melihat Hazin pergi.
Hazin langsung masuk kedalam kabin, ia duduk dikamar yang ia gunakan sebelumnya.
"Ayah."
Hazin menggunakan teknik Telephaty untuk berkomunikasi dengan Vondest.
"Yo..! Anakku, bagaimana perjalananmu?" Vondest langsung membalasnya. "Hazin?! Hazin! Kau baik-baik saja kan? Ibu sangat khawatir denganmu, apa kau merasa pusing? Lelah? Mual? Katakan saja pada ibumu Hazin, ayo!" Viole tergesa-gesa menanyakan hal itu pada Hazin.
"Viole... Hazin itu sehat, percaya padaku." Suara Vondest terdengar seperti sedang cemberut karena tiba-tiba Viole menyelanya.
"Yang dikatakan ayah itu benar ibu, tidak usah khawatirkan aku." Balas Hazin.
"Hah?! Bagaimana ibu tidak khawatir padamu Hazin! Ibu dan ayah merasakan ada pertarungan didekatmu dia sekarang, kau pasti bertarung kan? Dengan siapa Hazin? Raja? Bangsa iblis?" Viole terus terdengar khawatir.
"Sut! Sut..!! Kenapa kau mengatakan hal itu Viole?!" Bisik Vondest. "Eh? Maaf, aku keceplosan." Viole ikut berbisik.
"Ayah, ada yang ingin kutanyakan padamu." Ucap Hazin.
"Ya! Tentu saja, katakan hal apa yang ingin kau tanyakan pada ayahmu ini Hazin! Ayah pasti akan menjawabnya." Vondest semangat menunggu pertanyaan Hazin.
"Sebelumnya ayah sudah pasti tahu kan? Bahwa aku sudah mendapatkan Death Stone yang berada dikerajaan Blue Heart, tapi. Pertanyaanku yang sebenarnya yaitu, kemana aku harus pergi selanjutnya? Aku sama sekali tidak bisa merasakan energi Death Stone dari jauh." Tanya Hazin.
"Em.. ya-ya, ayah tahu kau sudah mendapatkan batu pertamamu, selamat ya Hazin..!!" Balas Vondest, ia bertepuk tangan.
"Wuhu...!! Selamat anaku! Kita sepertinya harus merayakan keberhasilanmu, apa ibu boleh menarikmu kesini? Saat ini ibu ingin sekali memelukmu." Tanya Viole, ia ikut bertepuk tangan.
"Sudah jelas tidak." Singkat Hazin.
"Jadi, jawaban dari ayah tentang pertanyaanmu tadi yaitu.." Vondest berpikir untuk sementara, Hazin menunggu dengan serius. "Maaf, ayah tidak tahu, hehe.." Vondest terdengar malu.
"Eh?! Kenapa ayah sampai tidak tahu? Ayah kan sudah berhasil mengumpulkan semua batu itu sebelumnya kan?" Hazin kaget dan bertanya.
"Eh... Pasti kau mengetahui hal itu dari Ar-... Archon!" Vondest menebak.
"Ya, dia adalah muridmu sekaligus menjadi penjaga Death Stone kan? Ayah sendiri yang menunjuknya." Ucap Hazin.
"Hehe.. memang benar. Tapi, begini Hazin, walau ayah sudah berhasil mengumpulkan semua batu Death Stone saat ayah masih remaja sepertimu, ayah memang mengetahui dimana letak semua Death Stone dikembalikan, tapi... Sekarang ayah sudah lupa." Ucap Vondest.
"Eh?!" Hazin memasang ekspresi kaget.
"Maklumi ayah ya Hazin, umur ayah sudah lebih dari tiga ratus tahun, jadi.. ayah sudah pasti lupa soal tempatnya, hehe.. maaf ya." Vondest masih merasa malu, Hazin hanya cemberut mendengarnya.
"Tapi Hazin, mungkin ibu bisa memberi tahu apa yang ibu tahu. Jika kau terus berlayar kearah timur dari lokasimu sekarang, kau akan sampai disebuah benua. Cari kerajaan yang bernama Al-Sarem, ketika kau menemui kerajaan itu. Cari orang yang bernama Mehmed, ia adalah Half Man, manusia setengah kucing yang menjadi raja di negeri itu." Jelas Viole.
"Ketika kau bertemu dengannya, kau hanya perlu bertanya soal labirin, dia pasti akan memberimu sebuah petunjuk Hazin, namun. Jika ia tidak mengenalmu maka katakan, Loe-loe. Dia pasti menerimamu jika kau mengucapkan kata itu." Viole kembali menjelaskan apa yang Hazin harus lakukan kedepannya.
Hazin sedikit cemberut dan bergumam, "Apa itu loe-loe?" Walau tidak mengerti maksudnya, Hazin tetap menerima usul dari ibunya, "Baiklah ibu, aku akan melakukan apa yang ibu katakan itu." Ucap Hazin mengerti.
"Hemp, orang menyebalkan itu. Maaf ya Hazin, ayah tidak bisa membantumu." Ucap Vondest, ia takut Hazin merasa kecewa padanya.
"Vondest! Kemana memorimu hilang hah?! Apa kau menyimpan memorimu itu di gadis lain? Kau selingkuh ya?!"
"Ti-tidak Viole! Mana mungkin aku melakukan itu..."
Suara Vondest dan Viole perlahan menghilang.
"Baiklah, aku pasti bisa melakukan ini!" Hazin mengepalkan kedua tangannya dan bersemangat.