Six Red Stones, Death Stone

2418 Words
Kingdom Of The Down, ibukota terbesar bangsa manusia "Tuan putri telah kembali! Putri Latina telah kembali!!" Para penjaga gerbang dan masyarakat menyambut mereka setelah menempuh perjalanan selama enam hari dari kerajaan Triton. Mereka menaiki kereta tanpa kuda yang mampu terbang dan di kendalikan oleh energi sang sopir yang duduk di depan. Kereta itu dinamai, kereta Zego. Hanya keluarga kerajaan dan para bangsawan saja yang memiliki kereta tersebut. Kereta itu dapat terbang karena sebagian kerangkanya terbuat dari batu magis bernama Floating Stone, batu itu hanya bisa didapat oleh ahli tambang di daerah dingin sebelah utara dunia, gua yang bernama Frozen Cave. Karena wilayah tersebut memiliki cuaca ekstrim dan menjadi tempat terdekat dengan wilayah iblis. Maka, para petambang selalu dikawal oleh prajurit elit hanya untuk mengambil Floating Stone. Jadi, tidak aneh jika hanya pemimpin daerah saja yang memiliki kereta itu. "Disini selalu ramai ya latina." Viole melihat para penduduk yang membungkukan badannya saat mereka lewat. "Ya, seperti itulah nyonya, hehe.." Mereka menuju kastel kedua terbasar di dunia setelah kastel milik keluarga Triton, kastel yang terlihat bersinar karena kaca-kaca besar membuatnya menjadi lebih megah lagi. Drap-drap. Para prajurit kerajaan berbaris di sepanjang jalan menuju pintu masuk kastel saat Hazin dan yang lainnya keluar dari kereta. "Selamat datang putri Latina, ratu Viole dan juga, raja Vondest." Seorang penasihat kerajaan, Lucas Walker menyambut mereka. "Dimana ibu?" Latina melihat kebelakang Lucas untuk mencari ibunya yaitu ratu Patricya The Down. Lalu, penasihat kerajaan tadi sedikit tersenyum, "Maaf nyonya, beliau masih... Tidur." Lucas menjawabnya malu. "Hah?! Bagaimana ibu masih tidur disaat putrinya kembali!" Latina langsung masuk kedalam kastel mencari ibunya "Silahkan tuan, nyonya." Lucas mempersilahkan Vondest dan yang lainnya untuk masuk kedalam kastel. "Apa kau memikirkan apa yang kupikirkan?" Bisik Jack pada Hazin. "Ya, ternyata buah tidak akan jatuh dari pohonnya." "Hey kalian, jangan berkata seperti itu! Bagaimana jika ratu Patricya mendengarnya? Ibu beritahu ya, kalian akan menyesal!" Bisik Viole. "Jangan menakuti mereka seperti anak kecil Viole." Ucap Vondest sambil terus berjalan, "Tidak, aku tidak mengatakan apapun." Viole senyum-senyum sendiri. Glek "Senyuman ibu yang seperti itulah yang membuatku lebih takut." Tok-tok! "Ibu? Bangun ibu! Aku tahu ibu sudah bangun. Jika ibu tidak mau membuka pintunya, terpaksa aku akan-.." Brak! Pintu dibuka paksa, "Tunggu, kenapa ibu menarikku tiba-tiba?" Latina yang sedang berusaha membangunkan ibunya di depan pintu kamar tiba-tiba di tarik masuk oleh sang ratu. "Sutt..!! Diam, kenapa kau mengetuk pintunya keras seperti itu?" Patricya membungkam mulut Latina. "Em... Emm!!" Latina berusaha melepasnya. "Huah..! Ada apa dengan mu ibu?! Kenapa sikap ibu jadi seperti ini?" Latina berhasil terlepas dari genggaman ibunya. "Sutt..!! Pelankan suaramu! Jika tidak-.." "Jika tidak kenap-.. Em.. emm...!!" Patricya menutup mulut Latina lagi. "Jangan berbicara dengan suara yang keras Latina!" Patricya terlihat seperti ketakutan. Tidak lama dari itu, Patricya lembali melepas tangan nya dari mulut Latina, "Oke-oke, ada apa sebenarnya ibu?" Tanya Latina. "Apa raja Vondest benar benar datang mengunjungi kita?" Patricya balik beetanya. "Em.. benar, memangnya kenapa?" Latina tidak tahu kenapa ibunya ketakutan seperti itu. "Ahh.. tidak..!! Ini gawat!" Ratu Patricya menutup wajahnya dengan bantal. Namun, Latina dengan cepat menarik bantal itu lagi. "Ada apa ibu?!" Tanya sang putri. "Ibu tidak bisa menemui Vondest!" Jelas Patricya. Pastinya, Latina yang tidak tahu apa-apa langsung terkejut, "Hah? Kenapa ibu? Apa dia pernah berbuat sesuatu yang membuat ibu malu?" Latina duduk di kasur. "Ibu.. ibu... Suka padanya." "Apa?! HAH..!!" Latina lebih terkejut lagi saat mendengar perkataan ibunya tadi dengan wajah yang mulai memerah. Ruang Penjamuan "S-selamat da-da-datang Vondest!" Ucap Patricya malu-malu. "Ahaha, maafkan aku Patricya, sepertinya kedatanganku mengganggu tidurmu yang nyenyak, maafkan aku." Ucap Vondest. "Egk!" Viole mencubit Vondest. "Kau baik sekali ya Patricya, jamuan ini benar-benar mewah." Viole tersenyum pada Patricya. "Tidak Viole, ini tidak ada apa-apanya. Yang lebih penting, kalian terlihat mesra seperti biasa, aku jadi iri." Patricya sedikit menutup mulutnya sambil berpaling kearah Vondest. "Haha..! kau juga terlihat-.." Vondest terdiam saat merasakan energi Viole membesar karena marah sambil melihat kearah Vondest. "Sakit!" "Ibu, bisakah kita tidak memperdebatkan masalah seperti ini?" Latina mencubit kaki ibunya. "Benar! Kenapa sejak kau masuk kesini pandanganmu tidak lepas dari suamiku!" Viole berdiri dari bangkunya. "Apa?! Aku-Aku tidak memandangnya! Aku hanya.. em.. kagum." Patricya juga bangun dari bangkunya, namun tidak seperti Viole yang terlihat marah. Ia terlihat senang saat kembali menatap Vondest. "Kau..! Dia itu sudah menjadi suamiku tahu! Benarkan Vondest?" Viole memeluk tangan Vondest. "Sudahlah Viole, kita sudah saling mengetahui hal itu kan? Jadi, kenapa kau masih mempermasalahkan ini?" Tanya Vondest. "Vondest..! Kau membelanya ya?!" Tanya Viole, ia mendekati wajah Vondest. "Tentu saja bukan itu maksud ku Viole, sudahlah." Vondest menyangkal nya. Hazin, Jack dan yang lainnya hanya terdiam disaat mereka bertiga berdebat. "Um.. tuan Vondest, anda datang kesini karena ada hal yang ingin anda sampaikan pada ibuku kan?" Latina menyela perdebatan mereka. Untuk sesaat, Vondest diam dan kembali melirik kearah Patricya. "Ya, kau benar. Kita tidak punya waktu untuk memperdebatkan hal yang tak penting." Wajah Vondest kembali terlihat serius. "Hump!" Viole cemberut saat mengetahui Vondest melirik kearah Patricya, sedangkan ratu tertinggi bangsa manusia itu menjulurkan lidah kearah Viole guna meledeknya. "Ibu!" Latina mencubit kaki ibunya lagi. "Patricya, maksud kedatangan kami kesini adalah untuk membahas tentang p*********n para petani Fadelta diwilayahku, namun. Setelah kuselidiki lebih lanjut, ternyata p*********n itu tidak hanya terjadi diwilayahku saja." Jelas Vondest. "Aku tahu itu, tadinya aku mengira itu hanyalah rumor belaka. Ternyata, itu memang benar-benar terjadi." Wajah Patricya pun mulai serius. Tiba-tiba, Lucas menghampiri ratu Patricya dan membisikan sesuatu. "Maaf Vondest, tapi kita kekurangan satu orang lagi yang juga harus mengetahui permasalahan yang kau hadapi. Tidak, yang sedang kita hadapi ini." Patricya melihat kearah pintu keluar ruang penjamuan. Gdeg.. deg. Seorang dengan kuping dan buntut serigala datang dan masuk keruangan itu. "Sepertinya aku telat datang kesini haha..!" Ucap Warlock Tirano Zugaru, raja tertinggi bangsa manusia setengah hewan pemilik kerajaan terkuat ketiga setelah The Down Kingdom. Raja dari Wildtress Kingdom. Ia langsung duduk dengan sopan didepan Vondest duduk. "Kau pasti Hazin! Aku tidak menyangka kau lebih tampan dari berita yang tersebar itu" Warlock menyapa Hazin. "Tidak usah memuji." Hazin membalasnya dengan wajah dingin. "Hazin..!" Viole berbisik pada Hazin. "Tidak apa Viole, setiap pemuda harus memiliki sifatnya masing masing, mereka harus dapat mempertahankan karakteristiknya sendiri." Warlock tersenyum kearah Hazin. "Jadi, apakah sekarang kita bisa mulai?" Tanya Vondest. "Tentu saja!" Balas Patricya. "Walaupun kau baru datang kesini, sepertinya aku tidak harus menjelaskan masalah ini dari awal kan?" Vondest kembali bertanya. "Ya, kau bisa melanjutkan pembicaraanmu tadi." Warlock yang dari tadi melihat kearah Hazin berpaling dan mengarah ke Vondest. "Baiklah, seperti yang kukatakan tadi. Serangan itu tidak hanya terjadi di wilayahku saja. Dan, aku yakin kalian semua sudah mengetahui akan hal itu." Vondest melihat kearah Patricya dan Warlock. "Kau benar. Namun, ini hanya dugaanku saja, tuan dari pembunuh itu dengan sengaja menyebarkan para pembunuhnya agar kita semua terkecoh dan tidak menyadarinya. Ia sepertinya tidak berfokus untuk membunuh baik itu ras manusia ataupun ras manusia setengah hewan, saya berpikir demikian di karenakan saya melihat berapa jumblah korban dan cara mereka memperlakukan jasad para korban yang bukan ras Fadelta." Jelas Warlock. "Aku tidak mengerti maksudmu Warlock?" Tanya Viole, Vondest terdiam saat mendengar perkataan Warlock tadi. "Tunggu, apakah maksud dari ucapanmu tadi adalah ras Fadelta lah yang menjadi incaran mereka?" Patricya terlihat kaget. "Kau benar. Mamun, itu hanya anggapanku saja." "Itu benar, aku sangat yakin tujuan mereka sebenarnya adalah untuk melenyapkan bangsa Fadelta." Ucap Vondest. "Tapi kenapa? Kenapa mereka bertujuan seperti itu?" Viole merasa sedih karena suaminya yaitu Vondest adalah ras Fadelta, begitu pula dengan anaknya Hazin. "Mungkin, itu semua dikarenakan aku sudah membunuh raja iblis pendahulu." Semua orang yang ada didalam ruang penjamuan terlihat kaget karena ucapan Vondest tadi. "Apa hubungannya dengan itu Vondest?" Tanya Patricya. "Mereka yang telah membunuh para petani diseluruh bagian negara adalah iblis, mereka dapat menyamar menjadi salah satu ras yang menjadi target mereka." Jelas Vondest. "Bagaimana kau bisa mengetahui itu?" Warlock sedikit tidak mengerti. "Saat pertama kali aku mengetahui telah terjadi p*********n didekat kerajaanku sendiri, aku langsung datang kelokasi tersebut. Pembunuh didesa itu sedikit ceroboh karena dia tidak langsung pergi karena dia tidak dapat membunuh seluruh petani disana, aku berhasil membongkar penyamarannya dengan Soul Tracking. Seorang Fadelta memiliki ciri khas energi yang berbeda dengan ras manapun." "Dia menggunakan mayat mayat yang dia bunuh untuk melakukan suatu ritual aneh. Namun, sepertinya dia kekurangan satu nyawa lagi. Yaitu, salah satu istri dari petani disana, disaat dia ingin berusaha membunuh nyawa terakhir itu. Aku berhasil datang tepat waktu dan berhasil menghentikannya, dan juga. Aku berhasil mengintrogasinya sedikit." Vondest melanjutkan ucapannya. "Mengintrogasinya?" Patricya bingung. "Ya, dia dengan jujur mengatakan sedikit rencana busuk mereka. Mungkin Hazin dapat menjelaskan apa yang terjadi selanjutnya." Semua orang langsung melirik kearah Hazin. "Ahk sial.. kenapa harus aku?" Gumam Hazin dalam Hazin. "Ya, ucapan ayahku tadi memang benar, dan menurutku. Apa yang Warlock tadi bilang bahwa mereka sedang mengincar ras Fadelta itu ada benarnya juga. Itu karena, saat Turnament Gya berlasung, aku sempat bertarung melawan salah satu pembunuh yang berhasil masuk kedalam kerajaan." Jelas Hazin. "Apa yang membuatmu yakin jika mereka benar ingin membuat bangsa Fadelta lenyap Hazin?" Tanya Warlock. "Itu karena saat bertarung, aku sempat mendengar ucapannya tentang membunuh keluarga Triton." "Membunuh keluarga Triton?!" Patricya kaget mendengarnya. Hazin kembali menjelaskan, "Ya, jika mereka tidak membunuh para petani dan hanya memfokuskan misinya untuk menghabisi keluarga Triton. Mungkin mereka memang benar hanya akan membunuh keluargaku saja, tapi." "Untuk apa mereka membunuh para petani, apa hanya untuk umpan saja? Menurutku tidak begitu. Jadi, anggapan Warlock tentang mereka mengincar bangsa Fadelta aku anggap benar." Jelas Hazin. "Hem.. kalau begitu ini menjadi kabar yang sangat buruk Vondest, kita harus segera memberitahukan barita ini keseluruh dunia. Ini tentang kelangsungan hidup salah satu ras yang hidup di dunia ini!" Warlock berusul untuk menyebarkan berita yang ia dengar tadi. "Tidak Warlock! Aku menolak perkataanmu itu. Jika seluruh dunia tahu tentang masalah ini, bukan suatu kemungkian para pembunuh itu ikut tau dan merubah rencananya." Vondest menolak usul Warlock tadi. "Vondest benar! Kita tidak bisa membuat seluruh masyarakat diberbagai dunia merasa tidak aman." Ucap Viole. "Patricya, Warlock, dan semua orang yang ada disini. Aku tahu apa yang kurasakan, ini merupakan sebuah rencana besar untuk bangsa iblis, aku bisa merasakan ini karena aku pernah sekali bertarung dengan orang yang memiliki energi serupa." Semua orang terdiam dan menatap Vondest. "Ini akan menjadi kebangkitan untuk raja iblis." "Apa?! Bagaimana itu bisa terjadi Vondest?" Hampir semua orang didalam ruangan itu kaget, ruangan menjadi ricuh akibat ucapan Vondest tadi. Tapi, Hazin terdiam. Brak! Vondest memukul meja. "Harap tenang semuanya! Kita tidak boleh sampai terpecah dan hanya melindungi diri sendiri, jangan sampai peristiwa tiga ratus tahun yang lalu terulang lagi! Inilah yang diinginkan para iblis itu! Perpecahan bangsa! Kita tidak bisa membiarkan hal itu terjadi." Semua orang diam seketika. "Tapi, aku mendengar ramalan dari seorang penyihir tinggi bahwa raja iblis akan segera bangkit dan menghancurkan dunia. Awalnya aku tidak percaya. Tapi, dia tidak pernah salah jika meramalkan sesuatu Vondest." Ucap Patricya. "Itu hanya kemungkinan, karena aku tidak merasakan keberadaan nya. Mungkin energi yang kurasakan belakangan ini hanya jiwa yang tertinggal saja, jiwa raja iblis. Kita masih bisa menghentikan kebangkitan nya." Vondest kembali duduk setelah sempat berdiri. "Menghentikannya?" Tanya Latina. "Ya, menghentikan nya, sama seperti dulu." Viole sedikit menyela. Evanhell datang dan langsung memberikan sebuah buku kepada Vondest, "Aku mengetahui ini dari sebuah catatan yang telah diturunkan dari nenek moyang keluarga Triton, dicatatan itu tertulis. Untuk bisa membangkitkan kekuatan raja iblis, para pemujanya harus mengumpulkan enam batu merah yang bernama Death Stone." "Setelah mereka berhasil mengumpulkannya, barulah raja iblis akan terlahir kembali." Vondest membuka sebuah buku tua yang Evanhell berikan padanya saat Vondest menjelaskannya tadi. "Death Stone, ya! Itu adalah kunci untuk kehancuran dunia." Warlock melihat gambar batu merah yang ada dibuku tua milik Vondest. "Kita memang sudah mengamankan batu itu. Tapi, itu bukan berarti mereka bisa tetap terkurung.." Vondest menutup bukunya. "Jadi, bagaimana kita bisa mencari batu itu sebelum para pemuja raja iblis mengambilnya?" Tanya Patricya. "Hem, nyawa sudah mereka dapatkan, pasti batu batu itu telah aktif kembali. Jadi, untuk bisa menemukan batu itu serahkan saja padaku." Vondest menepatkan genggaman tangan di dadanya. "Vondest! Aku tidak akan mengizinkanmu melakukan hal itu. Kau sudah melakukannya 300 ratus tahun yang lalu, kita bisa mengirim para prajurit untuk mencari batu tersebut. Pokoknya, aku sama sekali tidak akan mengizinkanmu untuk pergi sendiri. Sekarang kau berbeda Vondest, kau sudah menjadi seorang raja." Viole cemberut. "Viole, apa kau meragukanku? Yang bisa melacak keberadaan batu batu itu hanyalah seseorang dari keluarga Triton dan para pemuja raja iblis. Jadi, orang lain tidak akan pernah bisa menemukannya, kau tahu kan?" Tanya Vondest. "Kita berlima saja yang mengetahui dimana batu itu diletakan, bukannya aku tidak percaya. Namun, itu akan memakan waktu lama, kita tidak boleh membiarkan bangsa iblis mendahului kita." Vondest mengusap kepala Viole. "Kenapa hanya keluarga Triton tuan?" Tanya Latina. "Itu karena salah satu nenek moyang keluarga triton pernah menggunakan salah satu batu itu, setelah mengaktifkannya. Batu itu merubah aliran darah nya yang kemudian para keturunan selanjutnya dapat merasakan energi yang keluar saat batu itu telah aktif." Jawab Vondest. "Jika begitu, aku akan ikut denganmu!" Ucap Viole. "Aku juga harus ikut! Jika memang raja iblis bangkit kembali, kita semua akan mengalahkannya. Sama seperti dulu, Vondest." Patricya ikut khawatir. "Apa kau bilang?! Kau tidak memiliki urusan untuk ikut dengannya tante gendut!" Viole meledek Patricya. "Siapa yang kau bilang gendut kucing pucat! Aku berhak ikut melindungi pahlawanku kan?!" Mereka berdua mulai berdebat lagi. "Sudah diputuskan, kita harus segera mencari Death Stone sebelum mereka menemukannya." Ucap Warlock. "Ya, kau benar. Aku akan segera memberikan informasi ini kepada sahabatku, Ensberg." Ucap Vondest ditengah peperangan antar wanita." "Seperti kembali kemasa lalu saja ya, saat itu kita masih remaja. Yang kita lakukan hanyalah, mengikuti tekad kita." Gumam Vondest sambil tersenyum melihat tingkah laku Viole dan Patricya. "Tidak terasa waktu berjalan cepat, karena kita sudah mendapatkan keputusan. Saya akan permisi dulu tuan Vondest." "Silahkan Warlock." Warlock meninggalkan ruang diskusi. "Viole benar, sekarang aku adalah seorang raja. Siapa yang akan melindungi rakyat Triton jika aku pergi? Bukan hanya kemungkinan saja, Kuroi Akuma. Mereka pasti akan kembali bertindak, saat itu terjadi. Aku harus segera menghentikan mereka. Itu adalah kewajibanku yang lain. Viole, Patricya, Ensberg, Lien. Kita akan segera berkumpul dalam waktu dekat, kita akan bergerak dibalik layar pertunjukan." Vondest berpikir rumit. "Jadi, ini yang sebenarnya terjadi ketika para petinggi negara mendiskusikan masalah penting?" Gumam Latina. "Aku mau mencari udara segar dulu." Hazin ikut meninggalkan ruangngan itu. "Oi, tunggu aku! Dari tadi aku hanya terdiam kau tahu! Aku sangat ingin mengeluarkan emosiku saat ini! Kenapa aku tidak disebut sejak diskusinya dimulai?" Jack mengikuti Hazin. Latina yang melihat kepergian Hazin sedikit berpikir, "Keluarga Triton ya..." Gumam Latina dalam hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD