Al-Sarem kingdom, kediaman raja Mehmed
Hari masih terlihat terang, matahari masih masuk dari luar jendela yang terbuka, mereka berbincang didalam ruangan diskusi milik kerajaan Al-Sarem, Jack makan dengan lahap dibangkunya, Minaki bermain dengan burung elang peliharaan Mehmed, sedangkan Latina tengah menyeruput secangkir teh dengan elegan.
Hazin sudah menceritakan seluruh kejadian yang terjadi selama mereka berada didalam kota bawah tanah, "Maafkan aku, Al-Sarem tidak memiliki prajurit yang cukup untuk mengatasi mahluk buas itu. Tapi berkat kalian, mungkin kita bisa membuat kota itu kembali berfungsi, sedikit demi sedikit." Ucap Mehmed.
Hazin berdiri dari bangkunya, "Bukan urusanku. Sekarang, kita tidak memiliki waktu banyak, kita tidak tahu kapan orang itu akan bertidak." Ucap Hazin, ia menuju pintu keluar.
"Memiliki kemampuan untuk membuat hewan kecil menjadi mahluk buas dengan kekuatan luar biasa, kemungkinan besar ia adalah ras Iblis. Baiklah, aku akan segera mengirim beberapa anak buahku untuk mencarinya." Ucap Mehmed, ia dan teman-temannya Hazin mulai berdiri.
"Hei, dimana kepala keamanan yang terlihat sombong itu? Zaheed Pantoar, membiarkan orang mencurigakan masuk adalah tindakan yang bodoh, dengar Mehmed! Aku belum memberinya pelajaran." Ucap Latina, ia menunjuk wajah Mehmed.
Minaki sedikit melamun, "Entah kenapa nama belakang orang itu seakan mengingatkanku tentang kerajaan Triton." Ia kemudian keluar menyusul Hazin.
Hazin dan teman-temannya meninggalkan kastel Al-Sarem setelah mendapatkan Death Stone ketiga, keberadaan orang bertudung yang mereka lihat didalam kota bawah tanah masih membuat Hazin khawatir.
Setelah terbang melewati ibukota, mereka turun sejenak digerbang utara kerajaan Al-Sarem. Itu karena, mereka tidak tahu tujuan mereka selanjutnya. "Jadi, kemana kita sekarang?" Tanya Jack.
Latina menghela napas panjang, "Padahal tadi kau terlihat kesal." ia melirik Hazin.
"Hazin, kau itu keturunan keluarga Triton kan? Ayahmu juga sudah memberikan tugas ini padamu dengan sihir aneh itu. Tapi, kenapa kau masih saja tidak bisa merasakan keberadaan Death Stone?" Tanya Latina.
Ia kembali mengingat saat Hazin berada dikota bawah tanah saat melawan monster kelinci. Saat itu, Hazin memberi tahu bahwa Varka yang mengatakan batu itu berada didekat pintu.
"Hazin! Kau lupa ya? Kita harus melapor dulu kepada raja Vondest kan?" Minaki ikut bertanya, Hazin lupa untuk memberi tahu soal orang bertudung itu kepada ayahnya.
"Aku tidak lupa, kita keluar untuk menjauhi kerajaan ini sebelum menggunakan Telephaty dan berbincang dengan ayahku. Orang itu, besar kemungkinannya dia masih berada dikota ini." Jawab Hazin, ia sedikit menurunkan nada bicaranya.
"Memangnya kau tahu tempat yang aman dimana? Keluar rumah saja langka, apalagi tahu daerah ini." Ucap Jack, ia duduk ditepi jalan. "Kita cari saja." Balas Hazin, ia langsung kembali terbang dan keluar meninggalkan Jack melalui tembok besar Al-Sarem.
Jack sedikit melamun. Pada saat ia kembali menengok, teman-temannya sudah terbang melewati tembok. "Oi tunggu!" Ia langsung menyusul yang lainnya.
Triton Kingdom, kamar raja Vondest
Dakk!!
"Sial! Kenapa aku sampai lupa soal pasukan pembantu itu?!" Vondest memukul tembok kamarnya, ia terlihat kesal. "Hentikan Vondest! Itu bukanlah salahmu, kau tidak bisa menolong semua orang dalam waktu bersamaan." Viole menggenggam tangan Vondest khawatir.
Vondest masih menghadap tembok, tangannya masih mengepal dan menempel di tembok. "Tapi, jika mereka sampai mati dengan mudah seperti itu. Bagaimana, bagaimana dengan anak kita Viole? Mereka dalam bahaya." Ia mengeraskan kepalannya.
Viole mengambil tangan Vondest yang sedang mengepal itu dan menggenggamnya, "Aku tahu kau sangat khawatir, aku tahu saat ini kau terbebani oleh tanggung jawab sebagai raja. Ditambah, dengan munculnya masalah baru tentang hancurnya kerajaan Ironland, aku tahu ini berat untukmu. Tapi, ini bukanlah dirimu."
"Aku sudah mengenalmu sejak kecil, aku masih ingat kau mengompol dicelana ketika kau bertemu dengan mahluk buas. Kalau tidak salah, saat itu kau masih berusia enam tahun, hal yang wajar kan? Anak kecil yang mengompol saat bertemu dengan ancaman besar." Viole melepaskan tangan Vondest untuk sesaat dan mencolek hidung Vondest.
"Vondest, ketakutan dan khawatir adalah hal yang wajar. Saat ini kau tengah ditimpa oleh berbagai masalah besar, walaupun sekarang kau sudah besar, menjadi raja, dan juga sudah menjadi ayah. Tetap saja, kau boleh mengeluarkan emosi ketakutan dan kehawatiran itu, sama seperti kau mengompol." Viole tersenyum lebar.
"Jadi. Yang kumaksud adalah..." Viole memeluk erat Vondest yang sedang emosi akan masalahnya, "Aku ada disini Vondest! Seberat apapun beban yang kau tanggung, sekuat apapun musuh yang kau lawan. Aku akan selalu berada disisimu, membantumu."
"Itu karena, aku adalah istrimu! Vondest yang kukenal adalah sosok pria yang sangat memegang teguh prinsipnya, prinsip hidup untuk menjadi yang terkuat."
Vondest terdiam dan terus mendengarkan Viole dalam pelukannya.
"Aku ada disini karena temanku, dan aku akan menjadi yang terkuat untuk temanku. Tidak lupa kau ucapkan, aku akan menjadi yang terkuat untuk semua orang, impian dan moto hidupmu hampir sama dengan anak kecil yang ingin menjadi pahlawan kan? Setidaknya, ucapanmu saat itu terus teringat dalam memoriku, jadi."
Viole melepaskan pelukannya dan memegang pundak Vondest dengan kedua tangannya, "Biarkan aku membantumu, biarkan orang-orang dan teman-teman yang berada disisimu untuk membantumu. Biarkan... Hazin membatumu." Ucap Viole.
Ia menatap Vondest penuh dengan senyuman, Vondest kembali tenang, ia teringat akan Hazin. Putra satu-satunya yang tengah menempuh jalan yang sama dengannya, seorang putra yang ingin menjadi sosok seperti ayahnya.
"Kau lupa? Kau sendiri yang mempercayakan tugas itu padanya, bukan berarti kau memanfaatkan dan memberikan tugas yang tidak mampu dia lakukan. Tapi, kau secara tidak sengaja mendidik anakmu menjadi lebih baik, sudah bertahun-tahun ia tidak memiliki semangat hidup. Setidaknya, biarkan ia melakukan apa yang ia mau, Vondest." Ucap Viole.
Vondest menutup matanya lalu tersenyum, "Terima kasih Viole, aku bahkan lupa tentang mengompol itu, haha... Maafkan aku, mudah terpancing emosi seperti tadi bukanlah sikap baik untuk seorang pemimpin, aku yang salah." Ucapnya.
Viole melepaskan tangannya dari pundak Vondest, "Nah... Begitu, kau bukan lagi anak remaja seperti Hazin. Jadi, jangan sampai menangis ya!" Viole tetap tersenyum, Vondest hanya tertawa saat itu.
Vondest menghela napas panjang, "jadi, apa yang harus aku-.. tidak, apa yang harus kita lakukan Viole? Kita tidak tahu kapan bangsa iblis akan menyerang dan dimana tujuam mereka selanjutnya. Dan juga, kematian seluruh kelompok yang membantu pencarian Death Stone. Sudah jelas, kita tidak bisa lengah sedikitpun mulai sekarang." Ucapnya.
Viole berjalan menuju meja dikamarnya, "karena kau sudah tenang, kita bisa menyusun rencana kita selanjutnya dengan benar kan?" Viole menuangkan teh kedalam cangkir kecil.
"Setelah mengirim pasukan pembantu setelah hilang kontak cukup lama dengan kelompok pencari Death Stone, dapat dipastikan bahwa seluruh kelompok itu sudah tewas tanpa jasad."
"Perlengkapan yang tertinggal dan juga energi terakhir yang mereka kirimkan menjadi alasan kenapa kita menganggap mereka sudah tiada, kemungkinan mereka disandra sangatlah kecil. Setelah mengetahui hal itu, tidak ada tindakan lain selain menerima kenyataan bahwa kita gagal."
Ucap Viole, ia duduk setelah menuangkan tehnya.
Vondest menghampiri Viole dan duduk disampingnya, "lalu, apa yang seharusnya kita lakukan? Menghabisi seluruh Kuroi Akuma jelas tidak bisa dilakukan dengan mudah. Aku hanya takut, bangsa iblis akan langsung mengincar Hazin."
Ucap Vondest sebelum mengambil dan sedikit menyeruput tehnya.
Viole ikut menyeruput teh lalu berhenti, "Sudah jelas kan? Kita hanya perlu membantunya saat Hazin bertemu dengan salah satu dari kelompok Kuroi Akuma." Balas Viole.
"Tapi, bagaimana cara kita sampai ditempat Hazin dengan cepat? Ia juga sedang mencari Death Stone, sudah pasti ia berpindah-pindah tempat. Melakukan Teleportasi akan sulit." Vondest kembali meletakan cangkir tehnya.
"Energi Trasfering." Setelah mengatakan itu, Viole kembali menyeruput teh lalu berhenti lagi. "Jika Hazin mengirimkam energinya kepada kita, dapat dengan mudah kita melakukan Teleportasi dan menuju lokasi tempat Hazin berada.
"Haha..!! Kau memang jauh lebih hebat dariku Viole. Tapi, hanya satu yang kukhawatirkan, apakah Hazin akan melakukan itu? Setahuku, dia tidak akan menerima bantuan kita selama masa pencarian Death Stone." Ucap Vondest.
"Ia mengatakan biar aku yang melakukan tugas ini, itu yang ia katakan sebelum pergi. Yang berarti, ia benar-benar ingin melakukan semuanya sendiri." Vondest kembali merenung.
"Kita lihat saja nanti." Viole tersenyum, "Satu masalah sudah diatasi, tinggal satu masalah lagi. Serangan bangsa iblis." Wajah Viole berubah derastis menjadi serius.
"Padahal tadi kau tersenyum, em.. tapi, bagaimana kita mengatasi yang satu itu Viole?" Tanya Vondest, ia kembali mengambil cangkir teh dan menyeruputnya.
"Dari awal kita sudah menyusun rencana kan? Anti Magic Blade, kita harus segera mengamankan senjata itu ketempat yang tidak bisa diraih oleh bangsa iblis. Aku yakin sekali, walaupun kerajaan Liner memperketat keamanannya, bangsa iblis pasti akan tetap berusaha untuk mendapatkan senjata yang satu itu." Balas Viole.
"Baiklah, dengan begitu kita mungkin bisa mengatasi dua masalah ini, sekarang-.."
"Ayah..."
Samar-samar Vondest dan Viole mendengar suara Hazin, ia menggunakan Telephaty untuk berbincang jarak jauh.
"Hazin! Sudah berapa lama kau tidak menghubungi ibu? Kau tahu betapa cemasnya ibu dan ayah disini?" Ucap Viole, ia langsung bersemangat saat mendengar suara Hazin, Vondest juga sedikit tersenyum mengetahui bahwa putra kesayangannya baik-baik saja, "Itu benar Hazin, apa yang terjadi?" Tanya Vondest.
"Begini. Mungkin saat ini ada salah satu anggota Kuroi Akuma yang sedang mengawasiku." Ucap Hazin, Vondest dan Viole langsung terkejut saat mendengar kata Kuroi Akuma.
"Kuroi Akuma?!" Vondest dan Viole mengatakannya disaat yang bersamaan dengan wajah yang masih terlihat terkejut.
"Kau berada dimana sekarang Hazin?! Bisakah kau sedikit terangkan lokasimu? Seperti daerah tandus, berapa pohon disana, ataupun-.."
Hazin menyela perkataan Ayahnya, "Kenapa ayah terburu-buru? Saat ini kita sedang berada jauh dari orang itu, ayah tidak perlu khawatir. Lagipula, saat ini si serigala aneh didalam diriku tidak tidur hanya untuk mengawasi orang itu."
Vondest dan Viole menghela napas, "Sudah berapa kali kita menghela napas hari ini? Eh.. tapi Hazin, ayah sedikit lega jika kau dapat mengerti keadaanmu. Kebetulan juga, saat ini ayah dan ibu ingin menyampaikan sesuatu, kau harus mendengarkannya." Ucap Vondest.
Viole dan Vondest langsung menerangkan tentang kematian para kelompok pencari Death Stone yang membantu Hazin, Viole juga menjelaskan tentang Energy Trasfering dan juga apa yang harus Hazin lakukan jika hal yang ditakutkan Vondest terjadi.
"Hah..? Untuk apa ayah membuat kelompok pembantu itu? Ayah tidak bilang padaku sebelumnya." Ucap Hazin.
"Maafkan ayah Hazin, sebenarnya informasi ini sangat rahasia, akan gawat jika bangsa iblis mengetahuinya. Tapi, yah... Mau bagaimana lagi, mereka sudah membunuh kelompok itu." Balas Vondest.
"Ya, mungkin aku bisa melakukannya. Ayah, hanya itu yang ingin kusampaikan." Ucap Hazin.
"Kau pasti bisa melakukannya Hazin! Jangan sampai lupa ya, kita pasti akan datang! Ibu menyayangimu Hazin." Viole tersenyum.
"Emm... Oke."
Suara Hazin mulai menghilang, ia memutuskan kominikasinya. Viole meregangkan tangan dan kakinya, "huahh... Tidak terasa, ternyata sekarang sudah sore." Viole melihat keluar jendela.
"Semoga kalian baik-baik saja... Hazin, semuanya. Lalu... Iblis, aku tidak akan membiarkan semua rencanamu berjalan dengan lancar. Pasti, aku pasti akan mencegah semua itu." Gumam Vondest, ia ikut melihat keluar jendela.
Hari sudah mulai sore, kerajaan Triton terlihat lebih sepi dari biasanya. Itu karena, sebagian besar turis yang datang untuk menonton Turnament Gya sudah kembali kenegerinya masing-masing.