bc

Cinta Sejati

book_age18+
16
FOLLOW
1K
READ
dark
one-night stand
fated
forced
heir/heiress
drama
bxg
loser
office/work place
lies
love at the first sight
naive
like
intro-logo
Blurb

Pernikahan seharusnya menjadi tempat pulang. Namun bagi Avelline, rumah justru berubah menjadi tempat yang paling menyesakkan.

Lima tahun pernikahan yang tampak utuh menyimpan retakan yang tak kasat mata. Di balik senyum seorang istri dan ibu dari Kaivan, Avelline menyembunyikan luka dan cinta yang perlahan memudar. Sementara Zaven, suami yang dulu dia percaya kini terperosok dalam kemarahan dan ego yang tak terkendali.

Satu malam, pesan dalam keadaan mabuk dan keputusan bodoh, mengubah segalanya. Zaven menjual harga diri istrinya sendiri, kepada orang-orang yang mengenalnya.

Ketika Eldiro menerima tawaran itu, batas antara kesalahan dan kejahatan menjadi kabur. Uang telah berpindah tangan, sumpah telah terucap. Dan Avelline yang tak tahu apa-apa berada di ambang kehancuran terbesarnya.

Apakah cinta masih layak diperjuangkan, ketika kepercayaan telah diinjak-injak? Mampukah sebuah pernikahan bertahan setelah pengkhianatan yang tak pernah diminta?

Ini bukan kisah tentang perselingkuhan, ini adalah kisah tentang pilihan, penyesalan dan harga yang harus dibayar ketika cinta diperlakukan seperti barang.

Karena terkadang, badai terbesar dalam pernikahan bukan datang dari luar, melainkan dari orang yang seharusnya melindungi!

chap-preview
Free preview
1. Prolog
Pernikahan itu ibarat sebuah perahu kecil yang dilepaskan ke tengah samudra luas, membawa dua jiwa dengan harapan dan keyakinan yang sama, bahwa mereka akan sampai di tujuan yang indah. Di awal pelayaran, air tampak tenang, angin sepoi-sepoi membelai layar dan matahari bersinar hangat seakan merestui perjalanan tersebut. Tawa dan janji terucap dengan mudah, tangan saling menggenggam erat dan dunia terasa cukup hanya dengan keberadaan satu sama lain. Namun, samudra tidak pernah benar-benar bisa ditebak. Ada masa ketika perahu itu harus melawan arus yang deras, ombak yang datang silih berganti tanpa memberi waktu untuk bernapas. Riak-riak kecil mulai muncul, membasahi dasar perahu perlahan. Awalnya hanya percikan air yang dianggap sepele, kata-kata yang terlewat, kebiasaan kecil yang diabaikan. Semua itu jika dibiarkan membuat air itu menggenang, menjadi beban yang kian berat, mengancam keseimbangan perahu yang dulu terasa begitu kokoh. Tidak semua perjalanan menuju keindahan ditempuh melalui jalur yang mulus. Ada saat di mana langit mendung, gelap menutupi arah, dan kompas kehilangan fungsinya. Ketakutan menyusup pelan-pelan. Menimbulkan tanya yang tak terucap, apakah tujuan itu masih sama? Atau justru telah berubah tanpa disadari? Dalam kegelapan, suara ombak terdengar lebih mengerikan, dan keheningan di antara dua insan terasa lebih bising daripada badai itu sendiri. Di beberapa titik perjalanan, air mata jatuh tanpa suara. Bukan karena lemah, melainkan karena terlalu lama bertahan. Ada luka yang tidak terlihat, ada lelah yang tidak sempat dijelaskan dan ... ada cinta yang perlahan memudar bukan karena hilang, melainkan karena terlalu sering disakiti. Perahu itu tetap melaju, bukan karena yakin akan sampai, tetapi karena takut berhenti dan tenggelam. Namun justru di tengah gelap dan suram itulah, manusia diuji, apakah mereka akan tetap mendayung bersama, menambal retakan dan saling menguatkan, atau memilih melompat meninggalkan perahu yang pernah mereka bangun dengan penuh cinta. Sebab keindahan yang sesungguhnya tidak selalu terlihat dari kejauhan, terkadang dia baru menampakkan diri setelah badai terlewati, setelah rasa sakit dipeluk dan setelah keberanian untuk bertahan atau melepaskan. Dipilih dengan penuh kesadaran. Dan tidak semua perahu berakhir di pelabuhan yang sama, sebagian tiba dengan selamat, sebagian karam di tengah jalan. Namun setiap pelayaran selalu meninggalkan kisah, tentang cinta, kehilangan dan harga yang harus dibayar untuk sebuah perjalanan bernama pernikahan. *** Di sini dia berdiri, menatap dirinya sendiri di depan cermin tinggi yang menempel kokoh pada pintu lemari jatinya. Lemari itu terlihat tua, namun terawat, serat kayunya berkilau tertimpa cahaya lampu kamar yang redup. Avelline Kinara, mengamati pantulan wajahnya dengan tatapan kosong. Wanita yang tampak anggun dan berwibawa itu sesungguhnya sedang sangat rapuh di dalam. Sorot matanya sendu, menyimpan kelelahan yang tak mampu lagi dia sembunyikan. Bibir tipisnya tampak pucat kemerahan meski tanpa riasan. Rambut panjangnya tergerai lurus hingga melewati punggung seakan menjadi satu-satunya hal yang masih tertata rapi dalam hidupnya. Tubuhnya langsing semampai, tinggi 163senti meter dengan berat badan 50kg, cukup kurus namun masih menyisakan keanggunan alami. Dia tidak terlihat sakit, namun jelas tampak lelah yang tak bisa dia sembuhkan dengan tidur semalam atau liburan singkat. Lelah yang bersumber dari pernikahan. Avelline mematung, membiarkan pikirannya kembali pada pertengkaran yang baru saja terjadi, lebih dari satu jam lalu. Pertengkaran yang entah sudah keberapa puluh dalam lima tahun pernikahan mereka. Kata-kata tajam, suara meninggi dan keheningan yang menyakitkan yang selalu datang setelahnya. Dia menikah di usia dua puluh tahun dengan Zaven, pria yang dulu begitu dia cintai, begitu dia banggakan. Pernikahan mereka kala itu meriah, penuh tawa dan juga harapan. Semua orang bahkan mengatakan bahwa mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Namun, waktu mengikis segalanya. Bukan karena hadirnya pria lain. Avelline bahkan tak pernah berpikir untuk berpaling. Dia hanya kecewa. Terlalu kecewa. Zaven yang dulu lembut dan penuh perhatian, kini berubah menjadi pria yang temperamental, mudah marah dan sering menghilang tanpa kabar. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang dulu dia maklumi kini terasa menyesakkan. Janji-janji yang dulu mudah terucap kini terdengar kosong. Beberapa kali Avelline mengutarakan keinginannya untuk berpisah. Bukan karena benci, melainkan karena sudah terlalu lelah bertahan. Namun, Zaven selalu menolak. Tidak pernah ada alasan yang cukup kuat di mata hukum, kata Zaven. Dan Avelline tahu, perceraian bukanlah hal sederhana, terlebih dengan kehadiran seorang anak. Kaivan. Anak laki-laki mereka yang kini genap berusia tiga tahun. Malaikat kecil dengan mata bulat dan senyum polos yang selalu berhasil membuat Avelline mengurungkan niatnya untuk pergi. Setiap kali dia melihat Kaivan tertidur lelap, d**a Avelline terasa sesak. Bagaimana mungkin dia merenggut keutuhan dunia anak itu? Zaven, suaminya yang tujuh tahun lebih tua darinya. Seharusnya menjadi pelindung, tempat berlindung yang paling nyaman, namun justru sering menjadi sumber luka. Pertengkaran demi pertengkaran membuat rumah itu kehilangan maknanya sebagai rumah. Avelline mengalihkan pandangannya pada sebuah foto besar berbingkai kayu di samping lemari. Foto mereka bertiga. Dia, Zaven dan Kaivan, senyum mereka terlihat begitu nyata, begitu bahagia. Namun Avelline tahu, foto itu hanya menyimpan satu momen bukan keseluruhan kenyataan. Rumah yang mereka tempati adalah hasil kerja keras bersama. rumah sederhana di atas tanah berukuran 45 meter persegi. Terdiri dari dua kamar, satu kamar mandi kecil dan ruang tamu yang menyatu dengan dapur. Tidak mewah, namun dulu terasa hangat. Zaven sudah cukup mapan, terlebih setelah menikah, Avelline pun bukan istri yang hanya bergantung dengan pendapatan sang suami. Dia bekerja sebagai analisis keuangan, sebuah perusahaan besar, sering terlibat dalam rapat-rapat penting dengan klien, termasuk perusahaan tempat Zaven bekerja. Ironisnya, profesionalitas di luar rumah tak mampu menyelamatkan hubungan di dalamnya! Avelline menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dadanya terasa sesak. Zaven telah pergi satu jam lalu. Meninggalkan rumah tanpa tujuan yang jelas. Mungkin ke rumah orang tuanya? Jaraknya hanya tiga puluh menit dengan motor dari rumahnya. Atau mungkin berkumpul dengan teman-temannya, seperti biasa. Tempat-tempat yang selalu dia pilih untuk lari dari beban berat yang mengganggu pikirannya. Sementara itu, di sudut kota Jakarta yang ramai dan penuh cahaya dari lampu remang-remang, Zaven duduk di sebuah bar yang pengap. Musik berdentum keras, bercampur dengan tawa orang-orang yang sudah mabuk. Di hadapannya, gelas berisi minuman keras sudah hampir kosong, gelas yang sudah entah keberapa yang diteguknya sejak dia baru datang. Rambutnya acak-acakan, dasinya terlepas dan wajahnya kusut. Frustasi menggerogoti pikirannya. Dia lelah. Lelah bertengkar, lelah mendengar pengakuan Avelline yang mengatakan bahwa tak lagi mencintainya dan meminta bercerai darinya. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, menusuk harga dirinya sebagai kepala keluarga, sebagai suami yang sah! Dalam kondisi setengah sadar, Zaven meraih ponselnya. Dia membuka grup chat kantor. Berisi lima belas pria dewasa yang selama ini menjadi tempat bercanda, mengeluh dan melarikan diri dari realita. Biasanya isi grup itu ringan, namun malam itu sesuatu yang gelap menguasai pikirannya. Tangannya bergerak lebih cepat dari akal sehatnya. “Aku mau nyewain istriku semalam. Ada yang mau enggak?” Pesan itu terkirim dilengkapi dengan nominal angka yang cukup besar untuk menyewakan sang istri! Hening beberapa menit. Zaven menatap layar ponselnya, jantungnya berdegup tak karuan. Dia bahkan tak sepenuhnya sadar apa yang baru saja dia lakukan, namun notifikasi pun bermunculan. “Gila kamu! Lagi butuh duit sampai istri sendiri dijual?!” tulis Khalen. “Aku enggak jual. Aku sewain,” balas Zaven dengan senyum miring yang terasa getir. “Serius, Bro?” “Serius. Sumpah atas nama orang tuaku!” Entah setan apa yang merasuki dirinya? Dia tak memikirkan konsekuensi. Tak memikirkan bahwa semua orang di grup itu mengenal Avelline. Wanita yang sering hadir di kantor mereka untuk rapat. Wanita yang dihormati karena kecerdasannya. Bahkan dia pernah dengan bangga memperkenalkan Avelline pada rekan satu divisinya yang tentu saja membuat semua saling mengenal meski tak dekat. “Aku mau.” Pesan dari Eldiro masuk hampir bersamaan dengan balasan dari Khalen. d**a Zaven berdesir. Antara kaget, bangga dan hancur. “Wah laku juga istriku!” balas Zaven, “karena pesan El masuk duluan, jadi Eldiro yang berhak. Sorry ya Len.” “Nomor rekening?” balas Eldiro singkat. Zaven mengirimkan nomor rekeningnya dengan mata sedikit redup dan juga tangannya yang gemetar. Dalam benaknya dia seakan melihat dirinya sendiri terjun bebas ke jurang yang tak berdasar. Tak lama kemudian, sebuah notifikasi transfer masuk. Zaven tertawa kecil, tawa kosong yang tanpa kebahagiaan. Dia berdiri sempoyongan dan berjalan gontai keluar dari bar. Bukan menuju rumahnya, melainkan ke rumah orang tuanya. Dia terlalu takut kembali, terlalu pengecut untuk menghadapi istrinya. Sementara itu di rumah, Avelline duduk di sisi tempat tidur Kaivan, menatap anaknya yang tertidur pulas. Air mata jatuh tanpa suara. Dia tak tahu bahwa pada saat yang sama, hidupnya sedang dipertaruhkan oleh orang yang seharusnya menjaganya. Malam itu, dua manusia yang terikat janji suci berada di tempat berbeda, dengan jarak yang bukan sekedar kilometer, melainkan sebuah jurang pengkhianatan. Dan tanpa mereka sadari satu pesan mabuk telah mengubah segalanya. Tidak akan ada jalan kembali yang sama! Saat kata telah terucap dan sumpah telah keluar! ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
313.6K
bc

Too Late for Regret

read
308.1K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
144.0K
bc

The Lost Pack

read
427.8K
bc

Revenge, served in a black dress

read
151.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook