Pagi itu, Zaven terbangun dengan kepala berdenyut hebat, seolah ada palu besar yang menghantam kepalanya berkali-kali. Tenggorokanya kering, lidahnya pahit dan perutnya terasa mual.
Dia mengerang perlahan, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Potongan-potongan ingatan muncul dengan samar, lampu bar yang temaram, suara musik berdentum, gelas-gelas kosong, tawa yang terdengar asing, juga rasa marah yang tak terkendali.
Zaven mengusap wajahnya kasar, jam di dinding menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit.
“b******k!” gumamnya.
Seharusnya dia sudah berangkat kerja. Biasanya dia tak pernah telat, setidaknya itulah satu-satunya hal yang masih bisa dia banggakan di tengah rumah tangga yang berantakan. Dia duduk di tepi ranjang kamar lamanya, di rumah orang tuanya. Memegangi kepala yang terasa mau pecah. Bau khas kayu tua dan aroma pengap dari kamar yang jarang ditempati itu membuatnya semakin sesak.
Zaven meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Layarnya menyala menampilkan puluhan notifikasi yang belum dibaca. Sebagian besar berasal dari grup kantor. Dia tak langsung membukanya. Ada rasa takut yang tiba-tiba menyergap. Perasaan tidak enak yang membuat dadanya mengencang.
Namun waktu tak berpihak padanya. Dia harus segera berangkat kerja.
Zaven bangkit dan masuk ke kamar mandi. Air dingin menyiram wajahnya, sedikit menyadarkannya dari sisa mabuk semalam. Dia menatap pantulan dirinya di cermin. Mata merah, wajah kusut dan ekspresi seseorang yang tampak kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.
Dia memilih mengenakan kemeja seadanya yang masih tersisa di lemari itu, celana kerja yang semalam dia pakai, tanpa menyisir rambutnya dengan layak.
Dalam perjalanan keluar kamar, rasa penasaran akhirnya membuatnya membuka grup chat itu. Grup yang diisi rekan-rekan kerja satu divisinya. Dan ketika dia mengeja tulisan itu satu persatu, dunia seolah runtuh di bawah kakinya.
Matanya membelalak, napasnya tercekat. Chat demi chat berisi ejekan, kemarahan juga cercaan. Kata-kata kasar yang tak pernah dia bayangkan akan diarahkan kepadanya. Mereka membullinya habis-habisan, menyebutnya gila, tidak punya hati, serta pria paling rendah yang pernah mereka kenal.
Tangannya gemetar saat dia menggulir layar. Di antara semua pesan itu, dua nama yang mencolok, Eldiro dan Khalen, keduanya hampir tak mengirim ejekan dan di situlah letak horornya.
Zaven menelan salivanya. Waktu sudah mepet. Dia tak sempat membalas satu pun pesan. Dia menyambar kunci motor dan melajukan kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Pikirannya sangat kacau, bahkan beberapa kali dia hampir menyerempet kendaraan lain. Dia harus cepat tiba di kantor dan menjelaskan bahwa semua ini salah paham, dia mabuk dan tidak sadar melakukan itu. Semalam itu bukan dirinya.
Di tengah perjalanan, ponselnya bergetar lagi. Sebuah notifikasi masuk dari Eldiro. Zaven sempat ingin mengabaikannya, namun sebuah gambar pratinjau membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak. Bukti transfer yang baru dikirim oleh Eldiro sementara uangnya sudah masuk semalam. Mungkin dia lupa mengirim bukti itu.
Jumlahnya membuat pandangan Zaven berkunang-kunang, “enggak, ini enggak nyata!” bisiknya lirih.
Zaven mencengkram setang motor semakin kuat, dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya dalam hidup, dia benar-benar dicekam ketakutan.
Dia tiba di kantor dengan napas terengah, ruangan kerja sudah ramai. Semua mata karyawan satu divisi langsung tertuju padanya begitu dia masuk. Suasana yang biasanya riuh mendadak senyap. Tatapan-tatapan itu bukan tatapan biasa. Ada jijik, marah, kecewa, dan keterkejutan bercampur jadi satu.
Zaven menelan saliva, matanya bergerak cepat mencari satu sosok. Eldiro. Namun, lelaki itu belum terlihat. Padahal biasanya Eldiro adalah karyawan yang datang paling pagi dibanding teman lainnya. perasaan tidak enak semakin menekan dadanya.
Zaven merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel berniat untuk menelepon Eldiro. Namun jarinya berhenti di udara ketika layar kembali menampilkan foto bukti transfer itu, seakan menamparnya sekali lagi dengan kenyataan pahit.
Kakinya melemas. Dia terduduk di kursi terdekat. Rekan-rekannya mengerubungi, beberapa berbicara bersamaan, namun tak satu pun benar-benar dia dengar. Kepalanya dipenuhi penyesalan.
“Aku gila! Apa yang sudah kulakukan semalam!” gumamnya lirih.
Dia memejamkan mata. Bayangan Avelline muncul, wajahnya yang lembut, matanya yang sendu dan juga Kaivan. Anak kecil mereka yang selalu memanggilnya dengan suara riang. Istrinya adalah wanita baik. Istri yang setia. Ibu yang luar biasa. Dan dia seorang suami yang telah menginjak-injak martabatnya sendiri.
“Istriku bukan barang, dia bukan perempuan murahan,” bisiknya dengan suara yang serak.
Seketika pintu ruangan terbuka. Semua mata tertuju padanya. Seorang pria masuk dengan langkah tenang dan penuh percaya diri. Kemeja abu-abu panjang dengan lengan digulung hingga siku membalut tubuh atletisnya. Celana hitam jatuh sempurna, sepatu kulitnya terlihat mengkilap. Rambutnya tetata rapi dengan sedikit jambul di ujung dahi. Seolah sengaja dibiarkan begitu. Wajahnya tampan, terlalu tampan untuk sekadar disebut karyawan kantoran. Dan ... dialah Eldiro.
Zaven mendongak, jantungnya berdetak keras.
“Kalian kenapa?” tanya Eldiro santai, seolah tak terjadi apa-apa.
Zaven bangkit dengan tubuh gemetar, dia melangkah mendekat. Menunduk sedikit, suaranya terdengar parau. “El, aku enggak serius sama ucapan semalam. Sumpah aku mabuk. Aku di bawah pengaruh alkohol. Aku enggak sadar sudah ngetik hal sebodoh itu,” ucapnya penuh penyesalan. Wajahnya memucat, matanya merah hampir berkaca-kaca.
Eldiro hanya tersenyum miring. Senyum yang begitu dingin. Dia melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan Zaven. Tinggi badannya membuat Zaven harus sedikit mendongak.
“Apa yang sudah aku keluarkan,” ucap Eldiro pelan namun tajam, “enggak akan kutarik lagi.”
Dia berhenti sejenak. Menegakkan tubuhnya, lalu melanjutkan dengan suara yang membuat ruangan terasa lebih dingin.
“Kamu sudah bersumpah semalam, kan?”
Zaven mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras.
Dia mengangkat alisnya sebelah, seraya berucap, “kapan aku bisa ajak pulang Avelline?” tanya Eldiro lugas, tanpa basa basi.
Zaven merasa darahnya mendidih. Namun tubuhnya seolah terkunci. Dia tak bisa memukul, tak bisa berteriak, tak bisa melakukan apa pun selain menelan pil penghinaan itu.
“Dia ... dia lagi datang bulan,” ucap Zaven akhirnya. Suara itu terdengar begitu rapuh bahkan di telinganya sendiri, nadanya sumbang dan bergetar. Tubuhnya tiba-tiba terasa dingin. “Jadi ... jadi enggak bisa dalam waktu dekat,” imbuhnya.
Itu alasan. Alasan yang dia pegang mati-matian. Setidaknya dia butuh waktu untuk berpikir, waktu untuk berbicara dengan Avelline dan astaga ... mereka bahkan masih bertengkar. Bagaimana dia akan menjelaskan ini?
Zaven berbalik, melangkah keluar ruangan dengan napas berat. Namun langkahnya terhenti oleh suara Eldiro dari belakang.
“Kabarin kalau dia sudah selesai dapetnya,” ucap Eldiro dingin, lalu dia menatap ke seluruh penjuru ruangan, ke arah teman-temannya, “dan buat kalian semua, aku harap hal ini enggak bocor ke luar.”
Eldiro kemudian duduk di kursinya, menatap layar komputer yang bahkan belum menyala. Matanya nyalang, tajam dan penuh amarah yang dia sembunyikan dengan rapi. Tangannya mengepal di bawah meja.
Zaven hanya mengangguk lemah, lalu keluar dari ruangan itu. Setiap langkah terasa seperti menyeret beban ribuan kilogram. Bernapas pun terasa menyakitkan baginya.
Khalen duduk di samping Eldiro. Tubuhnya sedikit lebih besar, wajahnya tampak gelisah. Dia menepuk bahu Eldiro pelan.
“Kamu yakin?” tanyanya dengan suara yang berat.
Eldiro mengangguk tanpa menoleh.
“Kalau calon istri kamu tahu, bagaimana? Bukannya kalian mau menikah?” tanya Khalen lagi.
Eldiro menghela napas panjang. Nama Winora terlintas di kepalanya. wanita yang sudah dia kenal sejak kecil. Sahabat, teman dan sebentar lagi ... istrinya. Pernikahan itu tinggal beberapa bulan lagi.
“Aku tahu apa yang aku lakukan, aku bisa beresin ini,” jawab Eldiro pada akhirnya. Dia diam sejenak lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah. “Aku cuma mau kasih pelajaran ke Zaven, karena dia sudah menyia-nyiakan istri sebaik itu.”
Khalen menatapnya lama, lalu mengangguk pelan meski dalam hatinya tak sepenuhnya tenang. Dia kembali ke kursinya, mencoba fokus bekerja, namun pikirannya tetap gelisah.
Sementara itu, di rumah kecil mereka, Avelline duduk di ruang tamu, memeluk lututnya sendiri. dia sudah mengenakan pakaian kerja dan menunggu pengasuh anaknya datang. Kaivan bermain dengan mobil-mobilan kecil di lantai, sesekali tertawa riang tanpa tahu badai apa yang sedang mengancam keluarganya.
Avelline menatap ponselnya, tidak ada pesan dari Zaven. Dan entah mengapa hatinya terasa semakin berat pagi itu. Seolah sesuatu yang kelam sedang mendekat. Perlahan tapi pasti.
***
Avelline membuka pintu mobil yang mengantarnya ke kantor Zaven dengan gerakan pelan, seolah ragu untuk benar-benar menjejakkan kaki di tempat itu. Begitu kedua kakinya menyentuh lantai parkiran, dia menarik napas dalam-dalam, cukup kencang, lalu mengembuskannya perlahan. Udara yang keluar dari paru-parunya terasa panas, berat, seakan membawa serta kegelisahan yang menyesaki kepalanya sejak semalam.
Bayangan pertengkaran mereka kembali menyeruak tanpa diundang. Suara Zaven yang meninggi. Tatapannya yang keras. Kata-kata Avelline yang terdengar lelah, datar dan jujur. Dia telah mengatakannya. Mengakui bahwa dia sudah tidak lagi mencintai suaminya seperti dulu. Bukan karena orang ketiga. Bukan karena pengkhianatan. Melainkan karena kelelahan yang menumpuk bertahun-tahun tanpa pernah benar-benar disembuhkan.
Avelline mengusap pelipisnya. Sejujurnya, dia enggan datang ke kantor ini hari ini. Sangat enggan. Bukan karna dia lelah secara emosional. Tetapi karena ada kemungkinan dia akan bertemu Zaven. Bagaimana jika mereka berpapasan di lorong? Bagaimana jika mereka saling bertemu? Apakah dia sanggup bersikap profesional seolah rumah tangga mereka baik-baik saja?
Tidak! Avelline menggeleng cepat, seolah menolak pikiran itu. dia tidak boleh memikirkan Zaven sekarang. Dia datang ke sini untuk bekerja. Untuk menyelesaikan laporan keuangan perusahaan klien. Untuk menjadi Avelline yang profesional, bukan Avelline yang terluka.
Dengan langkah sedikit ragu namun dipaksakan tegas, Avelline mamasuki lobby gedung perkantoran itu. Udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyergap kulitnya. Aroma karpet dan pembersih lantai bercampur dengan wangi parfum para karyawan yang lalu lalang. Semuanya terasa begitu familiar.
Dia berjalan menuju meja resepsionis dan mengambil buku tamu. Tangannya bergerak otomatis menuliskan nama dan keperluan kunjungannya. Resepsionis wanita yang duduk di balik meja itu menatapnya sambil tersenyum ramah. Wanita itu mengenakan blazer hitam dengan rok mini senada, riasannya cukup tebal namun rapi.
Avelline tahu, wanita itu mengenalnya. Dia sering datang ke kantor ini. Bahkan dulu, saat awal pernikahannya dengan Zaven, suaminya dengan bangga mengenalkannya pada beberapa orang di kantor sebagai istrinya. Dan sekelebat kenangan itu kembali menusuk! Dia tak bisa baik-baik saja sekarang.
***