Part 3 Jangan Memancingku, An... Kecuali...

1709 Words
Bagaimana caranya agar kamu menyadari... Bahwa aku ada? - Riana 'Dalam Diam' - --- Masa kuliah, dilalui mereka berempat di kampus masing-masing. Mereka bertemu hanya pada saat Lebaran Idul Fitri, Idul Adha dan libur semester. Empat tahun sudah mereka jalani kuliah mereka. Shano yang paling dulu lulus dengan predikat sumacumlaude. Menyusul Ana dan Givi. Sedangkan Arya, yang paling akhir menyelesaikan studi kuliahnya. Bukan karena tak mampu. Tapi karena lebih sering menghabiskan waktu bersenang-senang dengan teman-temannya. Mereka sudah jarang berkumpul. Kalaupun libur, hanya satu atau dua kali bertemu dan hanya sebentar. Ana sudah bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang oil company di Jakarta. Gibran sendiri sudah melanjutkan studi masternya di Norwegia sejak Ana kuliah semester lima. Gibran sering mengirimi foto keindahan langit Norwegia. Berjanji suatu saat nanti akan mengajak Ana dan ibunya untuk melihat secara langsung. Sudah beberapa bulan Ana bekerja di Jakarta. Selama itu belum pernah menghubungi Arya, karena kesibukannya. Perasaannya terhadap Arya, belum hilang sepenuhnya. Masih ada, tersimpan rapi di sudut hatinya. Ana masih tetap sosok yang sama, pemalu dan introvert. Waktu kuliah, Ana sempat dua kali dekat dengan teman kampusnya. Hanya sebatas dekat saja, tidak sampai taraf berpacaran. Pergi makan dan nonton beberapa kali, iya, tapi ramai-ramai dengan teman-teman kampus lainnya. Setidaknya saat itu, perasaannya ke Arya sudah tidak semenggebu seperti dulu. Mungkin benar kata pepatah, cinta datang karena terbiasa. Jadi saat kita tidak lagi terbiasa melihat orang yang kita suka, mungkinkah perasaan itu juga akan terkikis? Di kantor Ana pun ada beberapa teman laki-laki yang berusaha mendekatinya. Karena Ana orang yang supel dan baik hati, dia mudah disukai orang lain. Sayangnya Ana belum menemukan orang yang bisa dijadikannya sahabat. Givi masih di kota kecil mereka. Berusaha merayu orang tuanya agar diperbolehkan mencari kerja di Jakarta. Bukan hal yang mudah tentunya, karena Givi anak bungsu dan orang tuanya dari kalangan mampu. Butuh waktu untuk menyakinkan orang tuanya. Beberapa hari ini, Ana mengikuti seminar sebagai perwakilan kantornya di sebuah hotel. Saat waktu istirahat makan siang, tanpa disangka Ana melihat siluet lelaki yang sangat dikenalnya. "Shan... hei... Shano..." Teriak Ana. Lelaki itu menoleh, tersenyum dan berjalan menuju Ana. Temannya sedari SMP. Ana yang kegirangan karena bertemu Shano di perantauan, tanpa sadar memeluk Shano dengan heboh. Yang tentu saja membuat heran rekan peserta seminar yang lain. "An... kamu gak berubah ya. Tetap heboh. Eeh malah tambah cantik ding. Tambah ayu kamu, An. Lagi ada acara apa di sini?" Tanya Shano lembut sambil memindai Ana. Sebenarnya dia ingin mengacak rambut hitam Ana, tapi sekarang sudah bukan masanya lagi. Shano merasa badan Ana yang cukup tinggi tampak agak lebih berisi dibanding pas SMA, tidak lagi kutilang darat! Terjadilah percapakan antara keduanya. Hingga ada seorang gadis cantik mengingatkan Shano untuk segera kembali ke ruangan. "An, aku ke ruang meeting lagi ya. Nanti sore kita pulang bareng. Aku w******p ya." Ujarnya setelah mendapatkan nomer ponsel Ana yang baru. Tentu saja Ana mengangguk senang. Akhirnya bisa bertemu sahabat lama lagi setelah beberapa bulan bekerja di Jakarta. *** Sore di hari yang sama "An... kamu sama sekali belum hubungi Arya? Sudah hampir delapan bulan loh kamu di Jakarta." Tanya Shano  saat mengantar Ana pulang ke kost selesai seminar. Ana menggeleng, menoleh ke arah Shano. "Shan, mobilmu bagus. Keren ya, bener kata orang kalau lulusan kampusmu itu, gajinya super duper guede yaaa?" Tanya Ana sambil mengagumi mobil milik Shano. Shano tersenyum. Ana dan kepolosannya. Itu yang membuat banyak orang suka padanya. Terlebih lagi Ana orang yang berhati baik dan tulus. Sayang saja semenjak dulu hatinya sudah tertutupi Arya, tak menyisakan tempat untuk lelaki lain.  Andai saja, An... ah andai saja... "Eeh kita makan malam dulu ya, An. Kutraktir. Mau makan apa?" Tawar Shano. "Asyiiik... gitu dong. Kamu kan masih ingat kesukaanku? Aku pemakan segala tapi sebisa mungkin jangan junk food ya." "Beres, Tuan Putri. Ayam penyet pedas dan capcay kan? Minumnya s**u coklat hangat. Eeh kamu masih suka minum s**u coklat?" Ana memberikan kode jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V, sambil mengangguk. "Badanmu tapi segitu-segitu aja tuh. Yakin gak cacingan?" "Enak aja! Nagaan adanya, bukan cacingan. Eh Shan, kita makan di warung langgananku ya. Kaki lima sih, tapi enak dan terjamin kebersihannya kok. Dekat kos ku juga. Jadi bisa anterin aku pulang sekalian." Kata Ana sambil nyengir manja. Kepada Shano, Ana merasa lebih bebas berekspresi. Mungkin karena tak ada perasaan apa pun. "Yakin di kaki lima? Mumpung aku lagi baik hati mau traktir loh, gak mau di restoran sekalian." "Kan bisa traktir lagi kapan-kapan, Shan. Dah lapar banget nih, kalau harus fine dining, gak sanggup ama porsinya yang imut-imut, Shan." Selesai makan, Shano mengantar Ana ke kosan. Dia tak bisa ikut masuk, karena kos khusus untuk putri. Lagipula sudah malam. "An, yakin gak mau nomer kontak Arya yang baru? Aku kirim ya?" Ana menggeleng. Ada yang disembunyikannya. Sebenarnya beberapa bulan ada di Jakarta, Ana sempat melihat Arya di gedung perkantoran tempatnya bekerja. Tentu saja Ana senang sekali, tapi saat hendak memanggil nama Arya, ternyata ada seorang gadis cantik dan seksi yang bersamanya. Mereka terlihat sungguh akrab, dekat. Layaknya sepasang kekasih. Tak mau mengganggu, Ana memutuskan untuk diam saja, sekali lagi, hatinya terluka. Dan sejak saat itu Ana mendedikasikan waktunya untuk bekerja dan bekerja. Mencoba memghilangkan bayang-bayang Arya yang kembali muncul di pikirannya. ~~~ "Bu Riana, ada yang cari." Ana mendungakkan kepalanya ke arah suara. "Siapa Pak?"Tanyanya pada office boy kantor. "Katanya namanya Mbak Givi. Saya sudah minta untuk menunggu." Setelah mengucapkan terima kasih pada ob itu, bergegas Ana menemui Givi. Aah, akhirnya Givi ke Jakarta juga. Horeee  akhirnya sahabatku datang. Batin Ana bersorak kegirangan. Segera setelah membereskan meja kerja dan berpamitan pada beberapa rekan kantornya, Ana menemui Givi. Senyum mengembang di wajahnya, dan segera memeluk sahabatnya itu dengan hebohnya. Saat sedang heboh, terdengar suara lelaki menyeletuk dari arah belakang Ana, suara yang sungguh familier di telinganya, yang kadang dirindukannya. "Aku kok gak dipeluk sih, An?" Ana langsung berbalik badan, sedikit terkejut melihat kehadiran Arya. "Arya? Kamu kok bisa ada di sini?" "Iya, tante Ayu wanti-wanti nitipin Givi sama aku. Kaya barang aja dititipin." Tangan Arya masih terbuka, dengan posisi tangan minta dipeluk, yang tentu saja hanya diacuhkan oleh Ana. "An, ini beneran kamu gak mau peluk aku?" Suara Arya berubah, pura-pura kecewa. Akhirnya dia hanya menjawil hidung Ana, kebiasaannya sedari dulu. Saat menuju lobi, seperti biasa Arya menjadi pusat perhatian para gadis. Dengan wajah tampan dan postur tubuh yang tinggi tegap, berkulit kuning, menambah kesempurnaan penampilan Arya. Seperti biasa pula, Arya akan tebar pesona. Matanya bergerak mencari target. Tiba-tiba Givi berkata dengan nada kesal, "Matamu tuh ya, Ar, tolong dikondisikan. Jangan sembarangan lihat sana sini. Lagian kamu udah jalan sama dua cewek cantik kaya gini kok ya masih sempet mencari target." Arya hanya nyengir ke arah Givi, "Yah, siapa tahu this is my lucky day, Vie. Lumayan lah buat peluk-peluk ntar malam." Membuat Givi mendelik ke arah Arya, dan Ana hanya tersenyum kecut. Bahkan aku yang jelas-jelas ada di depannya sekarang pun tak terlihat olehnya? Harus bagaimana agar Arya melihatku, menyadari kehadiranku? "An, kamu kok tega banget sih, udah hampir setahun ada di Jakarta tapi gak menghubungiku? Ini aja kalau Givi gak minta tolong dianterin ke kantormu aku gak tahu loh kamu juga kerja di Jakarta." Tanya Arya berpura kesal.  "Aku gak punya nomor ponselmu, Ar. Kata Shano kamu ganti nomor." "Apaaa? Jadi kamu udah ketemu Shano? Dan kalian gak kasih tahu aku?" Arya langsung membalikkan badannya, mendengkus kesal ke Ana, yang hanya dibalas dengan senyum manis Ana. "Piss... Ar. Kan udah dibilang tadi aku gak punya nomor ponselmu yang baru. Toh lagian ini kita udah ketemu kan?" "Ngapain aja ama Shano?" Arya tiba-tiba jadi ingin tahu. Dia penasaran. "Kenapa emangnya? Kami ketemu di hotel kok. Lagi..." "Apaaa? Ketemu di hotel? Kamu ngapain sama Shano ketemuan di hotel? Kamu sama Shano gak gitu kan An?" Tanya Arya membabi buta. "Gitu apa sih? Makanya dengerin kalau orang lagi ngomong!" Balas Givi sewot. Ana melanjutkan dengan tersenyum, senang dengan kepanikan Arya. "Waktu itu aku lagi ikut seminar. Kebetulan dari kantor Shano juga lagi ada acara di hotel yang sama." "Aah syukurlah... kirain kamu lepas segel ke Shano. Kalau mau lepas segel sama aku aja, An, sama ahlinya." Kata Arya sambil menepuk dadanya dan melihat ke arah Ana melalui spion tengah. "Ngarep!" Semprot Givi. “Ngarep opo mburi? ( depan apa belakang, Jv).  Lah ini jelas-jelas kamu duduk di depan, Vie!” "Kamu mau dihajar Mas Gibran?" Lanjut Givi lagi. "Hahaha.. aku kan cuma menawarkan diri ke Ana, Vie. Praktek langsung dari ahlinya. Jangan ngadu ke Mas Gibran aah. Kamu mau sepupumu yang ganteng maksimal ini tinggal nama aja ya?" Jawab Arya pura-pura serius. "Sudah sudah... kalian ini adu mulut terus sih. Segelku masih utuh kok." Kata Ana mencoba menengahi pertengkaran kedua sahabatnya itu. "Eeh jadi segelmu bener belum lepas kan, An? Kalau kamu kasih kuncinya, aku bersedia loh buka segelnya." Arya berkata sambil nyengir, mencoba menggoda Ana, yang pipinya sudah memerah karena kesal dan malu. "Segele embahmu po!" Celetuk Givi dengan logat Jawa yang kental. "Kamu tuh loh, Ar, sahabat sendiri mau diembat juga. Masih kurang tuh cewek-cewek centil yang kamu kencani gonta-ganti gak jelas gitu?” "Vie, kamu lupa ya, kalau embah kita tuh sama?" Jawab Arya pura-pura kesal kepada sepupunya. “Sudah almarhum loh Vie, embah. Jangan sampai embah ntar bangun lagi karena kamu sering panggil. Hiii…” "Duh kalian ini… Sudaah... sudah… segelku gak akan kubuka, kecuali buat suamiku nanti!" Kata Ana sedikit berteriak. Turun mobil setelah selesai makan malam bertiga, minus Shano karena sedang tugas ke Surabaya, Arya mengantarkan Ana sampai depan gerbang. Sementara Givi hanya menunggu di mobil saja karena masih kecapaian. "Sampai sini saja, Ar. Cowok gak boleh masuk. Kost ini khusus putri. Makasih ya traktirannya."  Saat Ana akan melangkah masuk, tiba-tiba Arya menggamit lengannya dan berkata dengan mimik serius, "Mas Gibran menitipkanmu padaku, An. Plis, kalau ada apa-apa let me know ya. Jangan sampai lepas segelmu kecuali untuk suamimu." Kata Arya sambil menjawil hidung bangir Ana. "Bagaimana kalau aku ingin melepasnya denganmu?" Jawab Ana perlahan, lirih, menunduk, seperti berharap Arya tak mendengarnya. Tapi sayangnya, telinga Arya yang tajam masih bisa mendengar perkataan lirih Ana. "Jangan memancingku, An!" Bisik Arya di dekat telingan Ana dengan nada berbisik, membuat bulu kuduk Ana mendadak merinding, "Kecuali….” | | | Jakarta, 4 Mei 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD