Part 2 Perpisahan

1212 Words
Cinta.., mengapa sulit untuk kuberkata Namun, teramat mudah untukmu bertahta Tumbuh subur meraja di dada              Riana to Arya ~|~ "An... nanti sore jadi kerja kelompok kan? Tugas kita nanggung nih, tinggal dikit lagi." Tanya Arya. "Boleh, tapi jangan lama-lama ya. Aku lagi flu nih, pusing. Lagian bentar lagi ujian nasional kok ya masih ada tugas kaya gini sih?" Keluh Ana, disertai bersin. Saat ini mereka sedang berkumpul seperti biasa, mengobrol ringan. "Kamu pasti kelamaan lihat langit malam ya? Masuk angin tuh, An. Jadi beli kamera yang kemarin itu kamu mau?" Tanya Givi kepada sahabatnya itu. Ana menggeleng perlahan, uang tabungannya memang lebih dari cukup untuk membeli kamera yang diinginkannya, tapi lebih baik disimpan untuk keperluan kuliahnya kelak. Diam-diam Arya mendengarkan pembicaraan dua gadis ini. Yang dia tahu, Ana sangat tertarik pada astronomi dan fotografi. Beberapa kali Ana bahkan dipercaya untuk food photography. Hasilnya bagusss. Tampak natural, seperti di buku resep yang sering ada di toko buku. Arya sungguh kagum pada Ana, sudah bisa menghasilkan uang dari hasil keringatnya sendiri. Tidak sepertinya yang masih saja tergantung pada papa mamanya. Yaah mau bagaimana lagi, sebagai anak lelaki satu-satunya dan anak bungsu dari tiga bersaudara, dia amat dimanja. Sepulang sekolah, mereka langsung ke rumah Givi untuk menyelesaikan tugas sekolah mereka. Beberapa kali Ana bersin, matanya berkunang dan dia merasa ngantuk. Mungkin efek kurang tidur beberapa hari ini karena sedang tidak enak badan. "Nih, milo hangat sama mie cup kesukaanmu. Baru banget aku buatin." Segelas milo hangat dan satu cup mie instant muncul di depan wajah Ana. Membuatnya tersenyum melihat dua hal itu. Ana mendunga, dan melihat siapa pemberinya. Arya. "Kamu tiduran dulu aja gih di sofa, bentar lagi selesai kok. Ntar kalau mau pulang aku bangunin." Kata Arya bijak, kasihan melihat Ana yang tak henti bersin. Ana mengangguk dan segera menuju ke sofa di ruang tamu rumah Givi. Di mobil Arya, saat perjalanan pulang, Ana kembali melanjutkan tidurnya. Rumah Givi cukup jauh dari rumahnya dan Arya, yang ada di pinggiran kota. Jadi lumayanlah untuk melanjutkan tidur. Sudah sampai di depan rumah Ana. Arya menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Ana. Halamannya luas dan hijau karena pepohonan. Arya tak tega membangunkan Ana. Dipandanginya wajah di sebelahnya yang sedang tertidur. Siluet yang terbentuk dari samping, tampak menarik hatinya. Mata yang terpejam, hidung bangir, bibir penuh yang berwarna merah muda walau tanpa polesan lipstik, dagu yang belah, dan  rambut hitam lebat sepundak, membuat Arya baru menyadari bahwa gadis yang ada disebelahnya yang sedang tertidur itu, ternyata cantik. Ternyata kamu cantik juga, An. Bersama selama belasan tahun, membuatku tak bisa melihat keayuannu. Lagian kamu adiknya Mas Gibran sih, yang sungguh overprotective sama kamu. Mau jadi apa aku kalau aku cuma iseng aja sama kamu. Perlahan Arya mendekatkan wajahnya ke bibir Ana. Dikecupnya perlahan bibir itu. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Then, your first kiss is mine, An. "An... bangun, heii bangun. Sudah di depan rumahmu nih." Goncang Arya perlahan usai mencuri ciuman pertama Ana. "Euuhmm..." Ana membuka matanya, dan mengucek mata beberapa kali. "Eh.. udah sampai ya, Ar? Dari tadi? Kok aku gak dibangunin sih? Jam berapa ini?" Ana malah tampak bingung. Saat akan mengambil hapenya, tiba-tiba ada deru motor terdengar. Ternyata Gibran baru pulang kantor. "Kok tumben baru pulang dek? Malam gini?" Tanya Gibran dengan pandangan penuh selidik ke arah Arya. "Mas Gib..." angguk Arya hormat. "Iya mas, tadi selesain tugas di rumah Givi. Ini aku ketiduran, Arya gak mau bangunin." "Habis kamu pules banget tidurnya, An. Pakai ngorok looh hehe.. piss..." Ana mendelik ke arah Arya. "Udaaah.. ayo masuk, udah malam. Arya mau masuk dulu? Makan malam sekalian?" Tawar Gibran. "Enggak Mas Gib, makasih. Mama tadi udah nelpon nyuruh cepet pulang." ~~~ Ujian nasional sudah selesai. Semua murid kelas XII akhirnya bisa bernafas lega. Bisa main sesuka hati, tanpa harus memikirkan jadwal belajar dan peer yang belum dikerjakan. Dan bisa ikut Prompt Night. Yang tentu saja itu tak berlaku untuk Ana. Gibran, kakaknya rela mengikuti Ana hari itu ke mana saja. Menjadi penjaga Ana tentu saja. Semenjak ayah mereka meninggal, praktis Gibran menjadi penanggung jawab atas apa yang terjadi di keluarga. Bagi Gibran, Ana itu gadis yang paling cantik, setelah ibunya tentu saja. Jangan tanya pacar ke Gibran, untuk saat ini dia sungguh fokus pada pendidikan Ana dan menjaga ibunya. Banyak perempuan cantik yang naksir, tapi dia hanya menganggap mereka sebagai teman saja, tidak lebih. Apalagi untuk Ana, semua laki-laki yang suka padanya, ciut nyalinya, karena Gibran sudah memberi peringatan bahwa Ana tidak boleh pacaran. Proses screening sungguh ketat, dan belum ada yang berhasil lolos semua tahapan itu. Bukannya Gibran tak tahu kalau Ana suka sama Arya. Dia juga tahu reputasi Arya sebagai seorang player. Tapi menurutnya masih dalam batas wajar. Dia setuju saja kalau Ana dan Arya berpacaran, hanya saja sepertinya cinta Ana bertepuk sebelah tangan. Entah Arya yang tidak ada rasa atau memang tidak bisa menangkap pandangan penuh cinta dari Ana untuknya. Seperti kali ini, baru jam sepuluh malam, tapi Gibran sudah memaksa Ana untuk pulang. Dilihatnya suasana sudah tidak kondusif lagi. Dia tak mau adiknya tercemar. Arya dan Shano yang berjanji akan mengantar Ana pulang dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun, tidak dipedulikan oleh Gibran. Ana hanya bisa mendesah pasrah. Akhirnya Ana hanya menuruti apa kata Gibran dan segera beranjak pulang. Matanya mencari sosok Arya, dan dilihatnya Arya yang sedang asik dengan teman angkatan mereka, hanya beda jurusan. "Makanya Mas ngajak kamu pulang biar kamu gak sakit hati. Ayo buruan, keburu ibu khawatir nih." Padahal rencananya malam ini Ana akan menyampaikan isi hatinya ke Arya. Tapi sepertinya dia akan tetap menyimpan rasa itu baik-baik di hatinya. Berharap suatu saat nanti akan bisa terucapkan. Arya pun sudah lupa akan hadirnya Ana. Terpesona dengan teman seangkatannya, lupa akan keadaan sekitar. Menuju ke mobil, dan mereka make out di mobil gadis itu. --- Setelah mendapat kepastian bahwa Ana akan kuliah di universitas negeri tak jauh dari kota tempat tinggal mereka, membuat Gibran bisa dengan tenang meninggalkan Ana. Perusahaan merekomendasikannya untuk pindah ke kantor pusat sekaligus agar Gibran bisa intensif kursus bahasa yang akan mempermudah dia berkomunikasi saat di Norwegia nanti. Empat sahabat itu pun berpisah. Arya di Jakarta, Shano di Bandung, hanya Ana dan Givi yang tetap bertahan di kota kecil mereka. "Kirain kamu bakalan ambil astronomi di ITB, An. Kan kita bisa bareng." Ucap Shano saat makan malam bersama sebelum mereka berpisah. "Pinginnya sih gitu, tapi nanti ibu sama siapa? Lagian kalian bisa sering pulang kan? Cuma butuh waktu sejam-an dari sini ke Jakarta atau ke Bandung kan?" "Maksudmu sejam itu kalau turun di Soetta atau Husein kan, An? Kamu tentu belum memperhitungkan jarak dari Soetta ke Depok? Butuh waktu tempuh lebih lama loh, belum lagi kalau hujan. Hadeuuuh... itu salah satu alasan kenapa aku gak mau kuliah di Jakarta. Bisa tua di jalan." Kata Givi sambil mencomot anggur hijau kesukaan Ana. "Lah kamu kan ke Jakarta itu buat kuliah, buat belajar Vi, bukan buat jalan-jalan." Jawab Arya tenang. "Kost aja deketan sama aku, Tante Ayu pasti tenang." "Hidupku yang gak akan tenang karena tiap hari akan melihatmu gonta ganti bawa cewek ke kost. Uupsss... piss.." Arya tersenyum kesal. Ditimpuknya Givi pakai tisu kotor. "Behave Vi.... behave...." Entah kapan keceriaan dalam kebersamaan ini akan ada lagi. Jikapun ada, apakah akan tetap sama? Atau ada yang berubah? | | | Jakarta, 4 Mei 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD