Part 1. Masa Putih Abu

1422 Words
Masa berseragam putih abu Masa itulah semakin dalam rasaku Berharap engkau akan tahu Dalamnya asa yang kupupuk padamu -Rieka tresna- ~~~ "Arya... dicari tuh ama cewek cakep, adik kelas." Tepuk Shano ke pundak Arya, yang sedang asik mengunyah mie ayam di kantin sekolah. Reflek mata Arya bersinar, "Mana??" "Nooh... Yang putih, tinggi, cantik." Tunjuk Shano dengan dagunya. Serentak mata Ana dan Givi juga mengikuti ke arah yang dimaksud Shano. Givi melirik ke arah Ana, yang raut mukanya tampak berubah. Ketika dilihatnya Arya beranjak menuju si adik kelas, Givi segera menarik tangan Ana untuk menjauh dari kantin. "An... temenin ke ruang guru ya, lupa nih ada tugas yang harus dikumpulin." Ana tersenyum kecut, selalu seperti ini. Saat Arya sedang bersama cewek lain, pasti Givi akan berusaha membuatnya tak melihat hal itu. Memang hanya Givi  yang sangat mengerti dirinya. Selesai piket kelas, Ana menuju gerbang sekolah. Sudah sepi, mereka sudah kelas XII. Selesai jam pendalaman materi, mereka berebut pulang berhubung sudah sangat sore. Seperti biasa, Gibran, kakaknya, yang akan menjemput Ana. Saat hampir mendekati pintu gerbang sekolah, Ana tertegun melihat mobil Arya yang masih terparkir. Semakin tertegun ketika melihat Arya sedang memagut mesra bibir cewek cantik yang tadi datang ke kantin menemui Arya. Menarik nafas panjang, Ana hanya menundukkan kepalanya, berharap mereka di mobil itu tak menyadari bahwa dia di dekat situ. Dia sengaja berjalan menjauh dari mobil itu dan berharap Gibran segera datang. Ana merasa Gibran lama sekali. Aah, mungkin Mas Gibran sibuk sama pekerjaannya, kan bentar lagi mau pindah ke Jakarta. Batin Ana. Untuk mengusir bosan, Ana membuka sketch book yang selalu dibawanya, dan mulai mencorat-coret. Entah menggambar apa. Saat sedang asyik, didengarnya suara klakson. "An... nunggu Mas Gibran? Ikut aku aja yuk, daripada sendirian di halte. Tapi kita anterin Nayla dulu." Ikut kamu dan aku hanya menjadi obat nyamuk saja? Tidak, terima kasih tawarannya. "Makasih Ar, bentar lagi Mas Gibran nyampe kok. Lagian masih ada pak satpam ini. Duluan deh." Jawab Ana kalem, dia tahu Nayla memandangnya tak suka. Apalagi kalau dia ikut nebeng. Memang sih rumahnya dan rumah Arya searah, tapi tetap saja, ada hati serapuh kristal yang harus dijaga. Arya membuka pintu mobil dan berjalan mendekati Ana. Membuat Nayla di dalam mobil semakin kesal. "Yakin An? Udah sore gini, hampir magrib. Kamu gak papa sendirian di sini? Atau aku temenin sampai Mas Gibran dateng ya?" Arya sungguh khawatir pada Ana, tetangga dan teman sepermainan sedari kecil. "Gak perlu. Bener deh. Nih Mas Gibran udah w******p bentar lagi sampai." "Ya wis, ntar kalau kamu udah sampai rumah, kabari ya. Aku jadi gak tenang ninggalin kamu sendirian. Givi ama Shano tadi langsung ngacir pulang sih."  Kata Arya sambil menjawil hidung bangir Ana, kebiasaannya dari kecil dulu. "Hati-hati ya An..., ingat kabari aku kalau udah sampai rumah." Dan Arya pun segera masuk mobilnya, karena Nayla sudah mengklakson, tak sabar melihat Arya yang begitu perhatian pada Ana. Tak lama setelah Arya pergi, Gibran sampai dan segera membonceng adik kesayangannya itu sebelum hujan turun. Hanya saja Gibran heran melihat wajah adiknya yang tampak sedih. "Dek.., kok wajahmu kusut gitu? Kenapa? Ada yang berani gangguin kamu lagi? Cerita sama mas, siapa yang berani bikin kamu sedih, biar mas kasih pelajaran dia." "Gak papa kok mas..., tadi lagi capek aja, habis nunggu Mas Gib lama banget siih." Jawaban andalan Ana yang sangat manjur agar kakaknya berhenti khawatir. ~~~ Malam itu langit tampak bersih, tak ada awan, dan bulan pun masih berbentuk sabit. Sehingga membuat Ana leluasa mengamati bintang-bintang di langit malam. Memakai mata telanjang. Dia sekarang masih menabung uang sakunya untuk tambahan biaya kuliah. Pinginnya sih beli EOS 60 Da. Tapi dia tak mau memberatkan ibu dan kakaknya. Harga sepaket kamera itu sungguh menguras tabungannya. Semenjak ayahnya meninggal tinggallah ibu mengandalkan uang pensiun ayah. Alhamdulilah ibu buka usaha jahit, memang tidak sekelas butik besar seperti di kota, tapi untuk ukuran kota kecil mereka, butik jahit milik ibunya cukup terkenal. Gibran kakaknya, juga sudah bekerja. Sebentar lagi Gibran akan ke Jakarta untuk mengikuti seleksi karyawan yang akan diberi beasiswa program master di luar negeri. Ayahnya almarhum sering mengajaknya mengamati bintang. Sehingga dia jadi jatuh cinta pada astronomi. Kecintaannya pada fotografi dan astronomi membuatnya mengkoleksi majalah dan artikel yang berhubungan dengan kedua hal tersebut. Ana suka sekali menonton Discovery Channel atau National Geography. Pernah dia menonton acara tentang aurora  saat masih di bangku SMP, di bumi bagian utara. Dan dia langsung jatuh cinta, berharap suatu saat nanti bisa ke bagian utara bumi untuk dapat melihat fenomena alam tersebut. Kuasa Tuhan yang Maha Besar! Ayahnya selalu mengingatkan bahwa semua fenomena alam itu bisa terjadi karena kuasa-Nya. Tahu bahwa anak perempuannya sangat menyukai astronomi, sang ayah berjanji untuk membawanya ke Teropong Bosscha di Lembang. Kota yang lumayan jauh dari kota kelahirannya. Sayangnya sebelum memenuhi janjinya, sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Yang Ana tidak tahu, Gibran kakaknya berjanji akan memenuhi keinginan ayahnya tersebut. Jika perlu langsung ke Norwegia untuk bisa melihat aurora dengan mata kepala sendiri. Jikalau merasa kesepian dan kangen pada ayahnya, Ana hanya perlu memandang langit malam. Berharap ayahnya bisa melihatnya dari atas sana, walau dia tahu harapan itu hanya sia-sia saja. Malam ini, untuk mengusir kegundahan hatinya, Ana menatap langit malam seorang diri. Selain melihat bintang-bintang yang tampak cemerlang, Ana juga memikirkan perasaaannya kepada Arya. Perasaannya yang dipendam selama ini. Menimbang, apakah perlu menyatakan perasaannya atau hanya dipendam saja. Yang dia tahu mungkin saja mereka akan kuliah di tempat yang berbeda. Arya akan kuliah di Jakarta, di Universitas negeri berjaket kuning, paling terkenal di Indonesia. Sedangkan dia dan Givi mendapatkan undangan beasiswa dan tanpa tes pula dari kampus dekat kota kelahiran mereka. Shano mendaftar ke ITB. Siapa yang tahu kapan lagi mereka akan kumpul seperti ini? Dia ingin sekali melanjutkan ke ITB, tapi mengingat ibunya akan seorang diri, berhubung Gibran akan ke Jakarta, jadilah Ana merasa cukup dengan universitas pilihannya sekarang. Kamu itu seperti bintang itu, Nduk. Kamu menjadi panduan ayah untuk selalu kembali pulang ke rumah. Saat ayah merasa capek sekali dengan pekerjaan di kantor, ayah hanya perlu melihat foto kalian. Kamu, mas-mu dan ibumu. Kamu tahu Nduk, kita berempat bagaikan rasi bintang Crux, kata orang Jawa rasi bintang Gubuk Penceng. Kamu yang paling kecil seperti bintang Epsilon Cru, dengan sinarnya yang paling redup di antara formasi Gubuk Penceng. Tapi hadirmu melengkapi. Seperti hadirmu di keluarga ini, yang melengkapi kehidupan ayah dan ibumu. Kamulah panduan ayah untuk selalu pulang ke rumah, Nduk. Ana mengingat kembali perkataan ayahnya saat masih duduk di sekolah dasar. Tentu saja dia belum sepenuhnya mengerti akan penjelasan ayahnya. Apalagi dengan kata-kata yang tidak umum didengarnya. Tapi dia hanya bisa mengangguk, sok tahu layaknya anak kecil pada umumnya.  Ayaaah... apakah sekarang aku masih tetap menjadi panduan langkah ayah? Apakah aku masih menjadi Rasi Bintang Gubuk Penceng, yah? "Eeh ngelamun aja dek. Dicari Arya tuh, katanya kamu gak kasih kabar sudah sampai rumah atau belum, karena khawatir dia jadi ke sini deh. Padahal dia belum sampai rumahnya loh. Temuin dulu tuh." Kata Gibran. Malas-malasan Ana menemui  Arya. Masih terbayang kejadian tadi sore di halaman parkir sekolahnya.  Hufft... lagian kenapa pula aku harus jatuh cinta pada lelaki seperti Arya? Hanya membuat hati ini sakit. Perlukah Arya tahu perasaanku? Menuju ke ruang tamu, ternyata Arya malah sudah berada di meja makan bersama ibu dan kakaknya. Mereka sedang asyik menikmati makan malam. "An... kok gak kasih tahu kalau udah sampai rumah sih? Aku telpon ponselmu juga gak aktif. Makanya dari rumah Nayla langsung mampir ke sini deh." "Eeumm kayanya ponselku mati deh, lowbat banget tadi, lupa ngecas lagi. Maaf ya.." Balas Ana. "Arya... kamu jadi lanjutin kuliah di Jakarta? Pisah dong ya geng kalian. Cuma Ana sama Givi yang masih berduaan aja." "Insya Allah jadi Mas Gib, Shano daftar ke ITB. Gak gitu jauh kan Jakarta - Bandung. Jadi kami masih bisa atur jadwal ketemuan sesekali. Emang kenapa Mas?" "Yaaah..., padahal Mas mau nitipin Ana. Mas juga kayanya akan kerja di Jakarta, cuma sebentar sih. Kalau tes seleksi lolos, perusahaan akan kirim Mas ke Norwegia untuk lanjutin master. Nah, sepertinya mas gak akan bisa jagain Ana. Mau titip ke kamu, eeh kamunya juga ke Jakarta." "Tenang aja Mas Gib, percaya deh ke Arya. Insya Allah Arya akan jaga Ana baik-baik, jadi bodyguard Ana kalau perlu. Pasang gps juga boleh tuh biar bisa tahu Ana ke mana!" Jawab Arya dengan tampang iseng. "Iya, mas percaya padamu. Kalian sudah saling kenal dari bayi loh." Dan dari bayi sampai sekarang ini, entah sejak kapan rasa itu tumbuh dengan subur di hatiku. Suatu saat nanti semoga aku bisa memberitahumu akan perasaanku ini. | | | Jakarta, 3 Mei 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD