8. Bulan sabit

1528 Words
Menurutku ini semua hanya salah paham jadi tidak perlu ada nyawa yang melayang sia-sia hanya untuk kesalahan pahaman kecil. Masih hidup sampai sekarang itu sudah cukup bagiku, pintu gerbang itu terbuka dan kami masuk ke dalam. Suasana desa ini berbeda tidak ada satu orang pun yang aku lihat seperti terakhir kali, tidak hanya itu entah kenapa hawanya terasa sangat mencekam. Aku mengikutinya dari belakang, kami mengendap-ngendap bagaikan maling, dan sampailah di tempat waktu itu aku di bawa untuk dijadikan persembahan yang mereka sebut dewi. Seketika merinding menjalar ke seluruh tubuh ketika aku mengingat hal itu, dan ketika sampai begitu terkejut melihat ada sebuah panggung besar seperti altar yang ada di film-film dengan obor besar di sisi kiri dan kanan sebagai penerangan. Tidak hanya itu ada juga dua algojo di sana yang berbadan besar dan memaki topeng hitam, ada juga sebuah tempat mirip pemenggal kepala yang bagian tengahnya berlubang dan berisi mata pisau yang berkilauan terkena sinar di kala bulan sabit tengah mengintip malam ini. Nenek ada di depan altar itu dengan sebuah sofa yang terlihat begitu lembut berwarna kuning gading, dia memakai baju kebaya yang mewah dengan kain sebagai rok berwarna senada. Nenek berada di tengah-tengah, di sisi kiri dan kanannya semua makhluk kerdil berjejer dengan rapi dengan menggunakan baju berwarna hitam seperti berduka sama seperti baju nenek yang berwarna kelam. "Mulai!" teriak nenek dan tidak lama bunyi genderang di tabu, aku tidak tau dari mana bunyi itu berasal. Tidak lama kemudian salah satu algojo yang tadinya berdiri di sisi obor turun dari altar dan membawa anak kecil kerdil yang menculikku waktu itu. Si ibu anak itu sudah berlari dari tempat persembunyian kami dan menuju ke arah nenek. "Saya mohon Nyai, jangan, jangan bunuh anak saya." Mohonnya sampai bersujud, aku merasa iba melihatnya. Aku ikut menyusulnya. "Nenek," panggilku. Dengan mata tajam dia melihat ke arahku "Jangan bunuh dia, Nek. Kasihan," tambahku lagi. "Apa urusanmu!?" bentak nenek. "dia kan sudah mencelakaimu aku juga melakukan ini demi kau!?" "Tapi, Nek. Tidak harus sampai di bunuh juga, aku juga tidak sampai di bunuh mereka," jawabku. "Tapi niat mereka begitu! Kalau sampai aku terlambat menyelamatkanmu sekarang kau hanya tinggal tersisa nama saja, jangan menghalangi cepat pulang!" Aku diam tidak berkutik karena apa yang nenek katakan adalah kebenaran. "Iya, Nek aku tau itu tapi kita tidak perlu sama jahatnya dengan mereka bukan?" tanyaku. Nenek terdiam, aku meneruskan apa yang ingin kusampaikan "kalau kita lakuin hal itu kita sama jahatnya sama mereka Nek, Papa selalu ajari Genta untuk enggak membalas kejahatan dengan kejahatan yang Genta yakin pasti Nenek yang ajari ke Papap juga. Biar aja mereka begitu tapi kita jangan, yang penting Genta udah selamat Nek." Aku maju teratur dan aku berlutut di depan kaki nenek sunggu lelah rasanya. "Berterimakasihlah pada cucuku yang baik hati karena sudah memaafkan kalian semua, sebagai hukuman ganti aku akan potong salah satu tangannya saja. Ingat kalian juga harus cari pengganti untuk malam ini atau kalian akan tau akibatnya!" "Terimakasih, Nyai." Ibu itu menyembah berkali-kali. "Ayo, pulang!" ajak nenek mengulurkan tangannya, aku meraih uluran tangannya dan saat aku membuka mata aku sudah ada di kamar seperti semula tapi dengan badan yang terasa sakit semua. Apakah tadi itu mimpi ataukah kenyataan tidak bisa aku bedakan, aku melihat sekeliling mama dan papa tidur di samping dengan postur yang tidak biasa ada juga baskom berisi air yang ada di atas meja kayu. "Haus," gumamku sambil memegang tenggorokanku, aku bangkit perlahan agar tidak membangunkan mama dan papa juga karena badanku masih terasa ngilu. Selesai minum dan hendak kembali ke kamar wajah panik mama dan papa menyambutku. "Sayang kamu udah bangun?" tanya mama sambil menggenggam tanganku. "Kami pikir kamu hilang lagi, Dek," tambah papa dengan nada dan raut wajah khawatir yang tidak disembunyikan. Mereka berdua memelukku. "Memang ada apa si, Ma, Pa?" tanyaku aneh, tidak mengerti kenapa mereka begitu khawatir bukankah aku tidur di samping mereka dan hak yang aku alami hanyalah aku anggap mimpi saja. "Kamu tadi gak napas Nak denyut nadi kamu juga gak ada," jawab mama. "Pas Papa mau bawa ke rumah sakit katanya Nenekmu gak usah tunggu aja sampai malam jadi kami tunggui dan akhirnya kamu bangun juga, Dek. Syukurlah." Mereka kembali memelukku. "Sekarang, Nenek di mana?" tanyaku lagi. "Di kamar," jawab mama masih memelukku. Aku hanya diam saja, dan membalas pelukan mereka. Tidak mau berpikir macam-macam, karena hal tidak logis itu dipikirkan bagaimana pun tidak akan logis. *** Sejak saat itu papa dan mama selalu mengingatkan aku agar aku tidak tidur menjelang sore sampai malam, atau tidur dari siang sampai sore. Mencoba aku menuruti hal itu dan mengubah kebiasaan yang bisa dibilang buruk itu, pagi ini papa dan mama sudah pergi dan hanya menyiapkan nasi goreng sebagai sarapan pagi. Mereka bilang sudah menemukan rumah yang cocok di pinggiran kota dan pagi ini mereka ingin melihat kondisi rumah itu kepada makelar yang menawarkannya. Akhirnya hanya ada aku lagi dan nenek di rumah, hal tadi malam kami anggap tidak ada itulah kesepakatanku dengan papa dan mama. Akhirnya untuk pertama kalinya aku bertemu nenek di meja makan hanya berdua, dan sepertinya nenek sudah minum kopi karena aku bangun agak siang seperti biasa jadi ketinggalan menyaksikan ritual pagi nenek itu. Hanya diam yang menyelimuti. "Nek," panggilku pelan. "Kalau lagi di meja makan jangan ngobrol," tegurnya membuatku langsung diam mengurungkan niatku untuk bertanya, setelah itu aku mencuci piring bekas makan kami dan nenek menuju ke ruang tengah masih sibuk dengan sulamannya yang sudah membentuk gambar bunga kecil-kecil yang ada beberapa di sana. Aku dengan ragu duduk di depan nenek. "Nek, Genta mau tanya soal sesuatu," kataku dengan takut-takut. "Mau tanya apa soal tadi malamkah?" tanya nenek masih asyik dengan sulamannya. "Bukan, Nek. Kalau soal itu Genta udah janji sama Mama dan Papa gak akan bahas lagi." Tidak ada tanggapan dari nenek. "gini Nek, Genta penasaran kenapa Nenek dipanggil Nyai?" tanyaku akhirnya. Kulihat gerakan jarum nenek saat menyulam terhenti beberapa saat, kemudian tangan nenek mulai menggerakkan jarum itu lagi. "Siapa memang yang memanggilku begitu?" Nenek malah balik bertanya. "Ibu yang punya warung sama dalam mimpi Genta tadi malam," jawabku sambil melihat ke arah lain. "Hanya karena aku sepuh di kampung ini itu saja," jawab nenek. Akhirnya rasa penasaranku hilang juga karena sudah dijawab. Aku mengangguk-anggukan kepala persis burung perkutut. "terimakasih ya, Nek dah mau jawab rasa penasaran Genta. Akhirnya Genta bisa belajar dengan tenang, Genta masuk kamar ya Nek mau belajar." Aku menunggu beberapa saat setelah mengatakn itu menunggu jawaban dari nenek atau setidaknya respon berupa anggukan kecil, tapi tidak ada sahutan mau pun respon yang aku inginkan itu. Akhirnya aku ke kamar saja, dan menutup pintu. *** Saat sore menjelang papa dan mama belum ada tanda-tanda akan pulang, bersiap aku menutup jendela karena nyamuk mulai menyerang menjelang malam. Sekelebat bayangan hitam yang begitu cepat berlalu membuat aku merinding. Saat aku berbalik ternyata wanita kerdil yang kemarin itu muncul dihadapanku membuat aku begitu kaget, aku hampir terjatuh ke belakang jika aku tidak bisa menyeimbangkan tubuhku. " Terima kasih telah menolong anakku, walaupun aku harus mengorbankan nyawaku setidaknya anakku selamat," ucapnya dengan lirih. Jujur aku paham yang dia katakan, tapi aku berusaha acuh saja jadi aku hanya mengangguk saja sambil berkata " Jika anakmu mati karena aku dan kesalahpahaman yang menurutku tidak harus merenggut nyawa, aku pasti akan merasa bersalah seumur hidupku." " Sebelum aku pergi ke alamku yang sebenarnya, ingin aku menjelaskan kepadamu tentang satu hal yang kamu alami malam itu, walaupun kamu berkata sudah berjanji pada pada Papa dan Mamamu untuk tidak menanyakan itu tapi aku tahu kalau kamu masih sangat penasaran. Untuk itu anggap saja ini sebagai hadiah ucapan terima kasihku." Dia kemudian duduk tanpa permisi di kursi kecil yang ada di kamar ini. Sebenarnya memang aku masih penasaran tentang apa yang terjadi karena mama dan papa bilang denyut dan napasku tidak ada. Tapi jika sekarang ini ada yang mau menjelaskannya itu artinya aku tidak melanggar janjiku terlebih lagi itu bisa menghilang rasa penasaran, jadi tidak ada salahnya tau apa yang terjadi padaku dari ibu bertubuh kerdil ini. " Baiklah sebenarnya aku masih penasaran, ceritakan padaku," pintaku padanya. Aku duduk di lantai di hadapannya, tapi aku tidak berani melihat ke manik matanya. "Malam itu aku tidak membawa tubuhmu tapi jiwamu jadi kamu tidak merasakan sakit karena kugeret. Itulah kenapa Mama dan Papamu juga bilang bahwa denyut nadimu dan napasmu tidak ada, " jelasnya memulai. "dan kamu tau, Nenekmu berkata menunggu sampai malam dan tidak membawamu ke rumah sakit tidakkah itu aneh menurutmu?" tanyanya. Aku berpikir sejenak, memang kalau dipikir-pikir aneh juga seperti nenek tau apa yang akan terjadi. "Memang aneh, tapi apa kamu tau sesuatu yang aku tidak tau tentang Nenek?" tanyaku tambah penasaran saja. "Tentu aku tau, lagipula jika aku membocorkannya sekarang dia tidak bisa membunuhku lagi, kalau pun dia mau menghancurkan arwahku tidak masalah untukku. Sebenarnya ...." Tidak lama pintu terbuka saat ibu kerdil itu belum memberitahukanku apa yang dia tau. "Kamu bicara dengan siapa?" tanya nenek membuat jantungnya terasa mau copot. "Aku tidak bicara dengan siapa pun hanya latihan dialog untuk ujian sekolah nanti," jawabku berbohong. Nenek kemudian menutup pintu kembali dan aku bisa bernapas lega. Tidak lama terdengar rintihan kesakitan dari luar dan sebuah u*****n yang keras yang jelas terdengar di telingaku "Malam bulan sabit si*lan, aku benci aaa!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD