9. Peringatan dari papa

1245 Words
"Ada apalagi dengan bulan sabit? Rintihan apa itu tadi? Membuat merinding saja!" gumamku dengan kesal. Aku jadi tidak bisa belajar kembali, akhirnya aku makan jajanan saja sambil memikirkan perkataan si ibu kerdil tadi barusan. Jika dia menggantikan anaknya berarti dia sudah mati dan tadi itu adalah arwahnya, banyak sekali pertanyaannya yang berputar di kepalaku tentang apa rahasia nenek membuatku frustrasi. "Ah, masa bodoh asalkan itu tidak membahayakanku!" seruku akhirnya sambil memasukkan satu bungkus jajanan sekaligus ke mulutku yang membuatku kesulitan mengunyahnya dan banyak remahan yang berjatuhan. Tapi tetap saja anatara otak dan rasa kepo terus bertarung sampai akhirnya rasa kepolah yang menang. Aku langsung membuka pintu kamar, duduk dengan tidak sabaran di depan nenek yang sedang memakan kelopak bunga dan ditemani kopi hitam yang aromanya tercium begitu lekat. "Nenenk tidak dengar rintihan sakit tadi? Dia bilang dia benci malam bulan sabit. Nenek punya rahasia apa sebenarnya?" Dengan bodohnya langsung kutodongkan pertanyaan itu ke arah nenek tanpa pikir panjang. Nenek berhenti mengunyah kelopak bunga yang ada di mulutnya. "Kalau kamu mau tau semuanya itu artinya kamu harus siap gantikan aku," jawabnya seketika membuat aku merinding dan tubuhku bergetar hebat. Tidak dapat kucerna kejadian yang begitu cepat saat tiba-tiba aku sudah berada di kamar kembali dan kedua orangtuaku menatapku dengan tatapan cemas. "Genta kamu ngapain Nak sama Nenek?" tanya mama wajahnya antara bercampur marah dan khawatir. "Papa peringatan jangan terlalu dekat dengan Nenekmu dia tidak seperti Kakekmu!" bentak papa. Entah kenapa tiba-tiba air mataku mengalir deras dan aku langsung memeluk mama. "Pa, jangan bentak Genta liat dia jadi nangis," ujar mama yang masih bisa aku dengar. Kemudian hanya sunyi yang ada, tidak ada kudengar suara apa pun lagi. Sedangkan aku masih asyik menangis di pelukan mama sampai beberapa menit barulah aku tenang. "Sudah, kamu sudah tenang, Nak?" tanya mama sambil mengelus rambutku penuh sayang. "ini diminum dulu." Mama menyodorkan segelas ir putih yang papa bawa dan berikan kepada mama tadi. Aku meminumnya hingga tandas. "Maaf ya Ma, Pa maafin Genta kalau buat kalian khawatir," lirihku menyesal. "Iya, Dek. Papa juga minta maaf udah bentak kamu." Papa mengusap pipiku lembut. "Oh, iya Mama sampai lupa. Tadi Mama sama Papa beliin sesuatu yang unik buat Genta," kata mama. Aku tau jika sudah begini mama pasti berusaha mencairkan suasana seperti semula, memang memang jagonya. "Memang Mama dan Papa beliin apa buat Genta?" tanyaku penasaran. "Mama dan Papa beliin pizza tapi topingnya nasi goreng," jawab mama seketika membuatku terbayang. Akhirnya kami bersiap menuju ke ruang tengah, dan benar saja di sana sudah ada kotak pizza tapi tidak ada nenek. Entahlah papa dan mama yang menyuruh nenek pergi atau dia pergi atas kemauannya sendiri. Baru saja aku duduk di kursi aku sudah merinding dengan bau bunga kantil yang tercium indra penciumanku dan juga lagu yang tidak aku pahami tapi seperti bahasa jawa samar-samar terdengar dari arah kuburan kakek. Aku tidak ingin penasaran dan mengabaikan itu semua tidak ingin merusak suasana lagi seperti halnya yang dilakukan papa dan mama karena aku yakin mereka pasti juga mendengar dan mencium sesuatu seperti yang aku rasakan juga. Papa membuka kotak pizza itu dan mama pergi sebentar ke dapur untuk membawa teko berisi air minum dan beberapa gelas, kemudian kami makan dengan nikmat dan dipenuhi canda tawa. Sejak papa dipecat rasanya hal ini jadi jarang aku dapatkan. "Jadi gimana Ma, Pa udah ketemu rumah baru kita?" tanyaku usai kami makan. "Sudah, Sayang," jawab mama dengan mata berbinar aku jadi ikut senang. "Besok rencananya Mama, dan Papa mau ajak kamu lihat rumah baru kita itu," kata papa. "Genta pasti maulah, Pa," jawabku semangat. "tapi Nenek gimana, Pa?" cicitku. "Tidak perlu khawatirkan aku yang sudah tua kalian nikmati saja waktu kalian," jawab nenek yang entah dari kapan tiba-tiba ada di belakangku. Nada suaranya terdengar sedih tapi juga marah, nenek langsung menuju ke kamar dan menutup pintunya dengan rapat. Suasana jadi kembali tidak enak. "Oh, iya. Mama belikan pencuci mulut juga tadi, sebentar Mama ambil dulu di dapur." Mama berdiri dan langsung menuju ke dapur. Aku dan papa hanya diam-diam saja, sesekali aku melirik ke arah papa yang wajahnya begitu terlihat lelah. *** Akhirnya hari yang aku tunggu tiba, pagi-pagi sekali kami sudah bersiap ke kota karena desa ini lumayan jauh untuk ke kota. Tapi dari yang aku tau papa bilang kemarin dia menemukan jalan pintas yang seperti jalan setapak tapi bisa dilalui mobil dan langsung menuju ke kota dengan cepat hanya memerlukan waktu beberapa jam saja. Itu adalah penemuan yang paling luar biasa menurutku, pantas saja papa dan mama tidak perlu seharian untuk pulang pergi sampai harus menginap ke kota, karena seingat awal kami ke sini memerlukan waktu hampir seharian. Semua persiapan sudah selesai tidak lupa aku membawa ponselku agar bisa di isi baterainya di dalam mobil atau tempat yang nanti kami tuju, hatiku begitu merasa gembira akhirnya bisa keluar dari desa. Nenek tidak terlihat sejak pagi entahlah dia ke mana saat ini. Aku melihat kiri-kanan jalan dan hanya ada pohon yang seperti di tengah hutan, jalan potong yang papa bicarakan lurus lagi dari jalan utama desa sampai ke terowongan dan kemudian berbelok saat kami berada di sisi lain terowongan itu di sana ada jalan setapak yang muat untuk mobil yang seperti berada di tengah hutan pohon karet. Tapi perjalanan terasa begitu lama dan tidak terlalu mulus karena ini area hutan bukan jalan beraspal. Tapi mataku berbinar begitu sampai di ujung jalan ini yang langsung mengarah ke arah jalan kecil hanya perlu maju beberapa kilometer lagi sampailah di jalan raya yang sudah dilalui banyak kendaraan mobil dan motor. Papa seperti sudah hapal jalan ini ke arah mana. "Genta, kamu tau gak pas awal kita sampai jalan ini pertama kali Papamu bingung mau ke arah mana, akhirnya nyasar ke pinggir kota," cerita mama sambil tertawa geli. Aku ikut tertawa. "Bukannya ada rambu-rambunya ya Pa kok bisa sih sampai nyasar," ejekku kepada papa. "Nah, itu juga yang Mama heran dia dikasih tau malah bilang gini. Iya, iya aku udah tau kok jalannya tenang aja." Mama berkata sambil mencoba memperagakan gaya papa yang menurut lucu sampai aku tertawa terbahak-bahak. Papa terlihat cemberut. "Kalian tuh ya kalau soal ngejek Papa aja nomor satu, tapi jangan salah berkat nyasar itu kita bisa nemui rumah yang murah lho," sahut papa membela diri. "Iya deh, iya," balas mama mengalah tapi masih saja tertawa bersamaku. "Oh, iya Dek. Papa mau ngomong serius," kata papa membuat tawa mama dan tawaku berhenti seketika. Aku memperhatikan papa, jika sudah begini tidak ada yang boleh bercanda atau papa akan marah. "Papa benar-benar serius melarang kamu buat cari tau soal yang berkaitan dengan Nenek apalagi sampai dekat dengan Nenek," ungkap papa serius. Aku mendengarkan dengan baik-baik. "juga Papa gak mau kalau nanti kita pindah lagi ke kota dan kamu bawa barang yang dikasih Nenek inget itu, Dek." Aku hendak membuka mulutku untuk bertanya tapi sudah disela mama duluan. "Jangan tanyakan apa-apa, Sayang. Ikuti aja kata Papa kamu, ini untuk kebaikan kamu dan kita semua. Lebih baik tidak tau sama sekali tapi selamat daripada harus tau sesuatu tapi terkena masalah, paham kan maksud Mama?" Mama melihat ke kursi belakang tempat aku duduk. "Iya, Ma, Pa. Genta akan ingat dan turuti kata Mama dan Papa," jawabku. "Oh, iya Genta hari ini selesai liat rumah kita ke karnaval yuk yang diadakan di kota pasti seru, kan udah lama juga kita gak jalan-jalan. Bolehkan Pa?" tanya mama pada papa. "Boleh dong, malah ide bagus itu Mah Papa juga udah lama gak main sama anak kesayangan Papa." Papa melihatku dari kaca dasbor. "Asyik, pasti seru," sahutku senang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD