38. Just a Gift?

1072 Words
"Demi apapun, aku sudah jatuh hati padamu berkali-kali lipat. aku harap, kamu tak hanya memberiku sebuah pengharapan. Aku harap kamu tak hanya bisa membuatku jatuh cinta, namun juga bisa membuat sebuah hubungan yang pasti denganku." *** Dahlia melepas pelukan itu. Dia tidak tahu jika tadi Navi tidak datang. Mungkin, nyawanya benar-benar sudah pergi. "Mola mana, Navi? Dia nggak liat semuanya kan, tadi?" "Mola di mobil. Dia sama Lila. Navi bawa dia masuk ke dalam dulu, ya, Ma." Navi keluar menuju mobilnya. Baru saja dia membuka pintu mobil, dia melihat wajah Lila begitu panik. "Nanti. Gue ngurus Mola dulu," ucap Navi mulai menggendong Mola dan membawa anak kecil itu ke dalam rumah. Di samping itu. Lila masih syok dengan apa yang ia tonton. Seorang anak dan ayah saling memukul satu sama lain tanpa ampun. Dia tidak tahu apa yang terjadi di keluarga Navi. Tetapi yang jelas, itu bukan suatu hal yang dapat disebut baik-baik saja. Navi kembali, dia siap untuk mengantar Lila pulang. Tidak ada percakapan selama perjalanan. Lila yang terus memperhatikan Navi. Sementara Navi terus memikirkan persoalan keluarganya yang semakin rumit. Sesampainya di halaman rumah Lila, gadis itu turun dari mobil, begitu juga Navi. Lila sangat khawatir. Dia terus menatap luka lebam Navi. "Nav, diobatin dulu, ya?" Navi menunduk. Air matanya tumpah di hadapan Lila. Dia langsung merengkuh Lila dalam peluknya. "Sebentar aja, La. Gue butuh lo." Lila mengusap punggung Navi pelan. Dia ingin menangkan cowok itu. "Udah Nav, jangan nangis. Gue di sini. Semua bakal baik-baik aja. Lo tenang aja." "Sakit, La. Bokap sendiri mau butuh nyokap. Gue nggak tau lagi harus gimana ... " rintih Navi. Tangisnya mulai mereda. Tapi dia enggan melepaskan pelukan. "Semua masalah ada jalan keluarnya. Kalo masalah itu nggak selese-selese, artinya lo udah mengambil jalan yang salah. Kuncinya, lo harus cari terus jalan yang benar. Jalan yang nuntun lo buat nyelesain semua masalah." Navi membeku. Dia tertampar oleh ucapan Lila. Pantas saja semua masalah di keluarganya tidak terselesaikan. Dia saja tidak mengambil jalan untuk menemukan titik penyelesaian. Navi melepaskan pelukannya. Dia menatap Lila penuh sendu. Itu adalah tatapan pertama Navi yang lembut. Berbeda dari yang biasanya menatap sengit dan penuh kebencian. "Makasih, makasih lo udah jadi pundak gue, La. Maaf, udah bikin lo khawatir." Lila mengembangkan senyum di bibirnya. Dia berjinjit, mengusap puncak kepala Navi secara halus. "Jangan bersikap kasar sama bokap lo sendiri. Sejahat apapun dia. Karena bagaimana pun, lo nggak akan pernah ada jika bukan karena dia." Navi mengiyakan nasihat Lila. "Gue bakal ingat itu." "Ya udah, sekarang lukanya diobatin, ya?" "Nggak perlu, Lila, kasian mama di rumah masih ketakutan. Gue obatin di rumah aja," tolak Navi secara lembut yang hanya dibalas Lila dengan ber-oh ria. Navi mengambil satu langkah untuk semakin dekat dengan Lila. Perbedaan tinggi mereka, membuat cowok itu membungkuk. Dia memberikan kecupan singkat di kening Lila. "Just a gift. Istirahat ya, La. Gue pulang dulu." Lila bungkam. Dia tidak bisa berkata-kata. Saat Navi bersiap melajukan mobil saja, Lila masih tidak bersuara. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Kupu-kupu di perutnya mulai beterbangan. Gadis itu mendadak berteriak histeris. "Aaa! Mampus gue baper kuadrat!" *** "Lo kok bisa apal, La? Ngedukun di mana?" Lila tak berhenti menari mengikuti alunan musik lagu Hela Rotan. Ah, sekarang dia merasa candu akan setiap gerakan Tari Cha Cha. Dia dan ketiga sahabatnya tengah berada di aula mini sekarang. Melarang setiap siswa yang akan menggunakan ruangan itu. Mereka latihan menari pasalnya siang nanti adalah waktu penilaian. Tentu saja mereka tidak ingin mempermalukan diri mereka sendiri di hadapan teman kelasnya. Bahkan Lila yang malas-malasan, tumben sekali merasa antusias terhadap sebuah penilaian. Ketiga sahabatnya juga tercengang merasa bingung atas perubahan Lila. "Gue tadi malem nggak tidur buat latihan tari ini. Gimana bagus, kan?" Balas Lila pada pertanyaan Magenta. Memang benar, semalam setelah dia diberi motivasi dari Navi untuk merubah dirinya menjadi lebih baik, Lila benar-benar berusaha sekeras mungkin. Tadi malam dia mencoba mengerjakan soal matematika lalu latihan Tari Cha Cha. "Gila, nggak nyangka nih gue. Kita bisa dapet nilai paling tinggi kalo kayak gini." Lila mengangguk pasti. Dia juga meyakini akan seperti itu. Gerakan dia dan Magenta begitu kompak. Magenta maju, Lila mundur, dengan tangan Lila memegang pundak Genta dan Genta memegang pinggang Lila. Gerakan seperti itu dilakukan berulah beberapa kali. Kemudian untuk gerakan selanjutnya adalah berganti tempat. Keduanya melangkah maju diimbangi dengan sedikit loncatan. Pola lantai yang di buat pada tarian ini memang mengesankan. Tarian seperti dansa namun dengan tempo yang lebih cepat. Musik berhenti. Gerakan penutup yang Lila dan Magenta buat sangat indah ditambah dengan keduanya berhadapan lalu saling membungkuk ringan. "Kuy lah, kita ke kelas!" ajak Diego mematikan speaker di ruangan itu. Lila menekuk mukanya. Cacing-cacing di perut dia berteriak meronta-ronta meminta makanan. "Kantin dulu, dong. Laper banget buset," pintanya dengan memelas dan terus memegangi perutnya. "Bentar lagi jamnya Bu Roro. Masa iya kita nari abis makan. Nggak sanggup perut gue, La." Ruby memerhatikan Lila yang berekspresi menyedihkan. Haduh, ratu drama. "Ya udah, cuma nemenin lo doang." Lila menyengir bahagia. Dia segera menarik Ruby untuk keluar. Magenta dan Diego hanya mengekori tanpa ada komentar apapun. Jika Lila yang sedang lapar dilawan, bisa-bisa dia menjadi liar. Bisa menjambak rambut, mencakar, mencubit. Sangat bar-bar. Kantin SMA Blue sangat penuh siang ini. Lihat saja, tidak ada meja yang tersisa. Dengan terpaksa, Lila hanya membeli 3 bungkus roti rasa cokelat dan satu cup jus mangga. Sementara ketiga sahabatnya tidak membeli apapun. Mereka memenag sudah ke kantin sebelum latihan menari. Hanya saja, perut Lila itu perut karet. Yang meski sudah di isi banyak, maunya diisi lagi dan lagi. Padahal dia tadi juga sudah melahap 2 piring nasi padang nyatanya itu tidak cukup. Setelah membeli roti, mereka bergegas menuju kelas. Bel masuk sudah berbunyi dengan nyaring. Bu Roro pasti sebentar lagi masuk kelas. Begitu pintu kelas dibuka, ternyata meja kursi sudah disingkirkan ke samping. Penilaian terpaksa menggunakan ruang kelas karena memang ruang ketiga auditorium SMA Sky Blue sedang dipakai. Jika mau menggunakan lapangan basket indoor, itu juga sedang dipakai. Bu Roro memasuki kelas. Seperti biasa, dia dan siswanya saling bertegur sapa. Lantas, para siswa menyiapkan speaker kecil untuk memutar lagunya. Dimulai dari kelompok 1, 2, 3, dan seterusnya. Lila memainkan jemarinya sendiri. Ditekuk ke luar, ditekuk ke dalam, sampai tulang-tulang dia berbunyi. Berdiri di samping Magenta pada barisan depan. Mereka berdua akan tampil setelah ini. "Santuy aja, Mbak. Lo tuh nari mau penilaian bukan mau nikahan," goda Magenta menyikut lengan Lila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD