37. Luka

1069 Words
"Kamu tahu luka yang paling menyakitkan itu apa? Luka yang menyakitkan adalah luka yang susah diutarakan." *** "Separah apa?" Navi mendadak menghentikan mobilnya karena lampu merah yang menala secara tiba-tiba. "Nggak bisa tidur sampe pagi." "Overthingking?" Navi memelankan laju mobilnya. Di luar sana, banyak sekali kendaraan yang semrawut. Lila menyengguk sembari mengucek matanya yang perih. "Masa depan gue, Nav. Gue mau jadi apa nantinya. Papa udah ngggak ada, cuma ada mama di rumah. Guenya juga yang males-malesan. Gimana kalo nanti ... masa depan gue nggak sukses?" Having a deep conversation seperti ini, membuat Navi nyaman. Ternyata, Lila sempat memikirkan hal seperti juga. Sebelumnya Navi pikir, dunia Lila itu hanya penuh dengan kesenangan semata. Nyatanya, dia kini tertampar dengan kenyataan yang ada bahwa Lila juga peduli dengan masa depannya. Ish, namun mengapa gadis itu tidak membuat perubahan untuk masa depannya? "Makanya jangan males. Belajar yang rajin, jadi cewek yang bersih. Semua di dunia ini tuh nggak ada yang instan. Ingin mendapatkan sesuatu yang berharga, tapi nggak mau berusaha. Gimana mau dikasih kemudahan sama Tuhan, kalau kita sendiri maunya langsung menuju hasil tanpa melewati semua proses." Navi melirik pada kaca tengan mobil yang terdapat pantulan Mola yang masih tertidur dengan pulas. "Kalo lo nggak mau masa depan lo sendiri ancur, lo harus berubah mulai sekarang. Lo udah mulai berubah diakademik. Lo udah mau buat belajar, itu adalah langkah awal yang bagus. Tinggal merbaikin attitude sama belajar lebih rajin lagi, buat bekal lo nanti." Senyap. Senyap meskipun Navi tumben sekali mengeluarkan perkataan yang panjang lebar kali tinggi. Lil tak memberi jawaban. Nampaknya dia sedang menyerap semua yang Navi katakan. "Gue udah niatan gitu dari lama. Tapi faktanya, konsisten untuk berubah itu jauh lebih susah. Nggak semua yang tadi lo bilang itu gampang, Nav. Saat gue sedang mencoba berubah, tapi nggak ada seorang yang ndukung gue, gue bisa down nggak jadi buat berubah." Lila saling menggosokan kedua telapak tangannya. Rasa dingin itu mendadak masuk menyelinap dalam syaraf- syarafnya tanpa izin. Tangan hangat Navi meraih tangan Lila. Yang satu menyetir, yang satu menggenggam jemari gadis itu. "Gue bakal dukung lo. Jadi lo harus mulai berubah," ujarnya. Lila merekahkan senyumnya terlampau cantik. Hatinya seketika menjadi tenang, perasaan hangat terus menjalar. Dia bersyukur karena dapat bertemu cowok seperti Navi. Meski di awal begitu kasar terhadapnya, namun semakin lama, Navi begitu peduli dan perhatian. Melihat sekilas Lila yang tersenyum, membuat Navi harus bekerja ekstra menahan bibirnya untuk tidak itu tersenyum. Ada yang tidak biasa terhadap jantungnya. Navi merasa detak jantungnya itu menjadi lebih cepat. "Kurang ajar, kenapa cantik banget, sih?!" "Btw, kenapa nggak langsung ke rumah gue aja? Kalo kayak gini kan, lo jadi bolak-balik." Lila sudah tidak merasakan kedinginan di tangannya. Jemari Navi masih melekat sampai saat ini. Navi berpikir sejenak. Benar juga, mengapa dia tidak langsung ke rumah Lila saja? Padahal kan rumah Lila yang lebih dekat dengan taman bermain tadi. "Em ... kasian sama Mola. Gue refleks aja pengin cepet bawa dia pulang. Sorry, jadi bikin lo nggak pulang-pulang." b**o, keceplosan! "Iya, gue juga kasihan sama Mola," timpal Lila. Saat sampai di rumah yang megah itu, mata Navi melotot tajam ketika melihat sebuah mobil yang peniliknya Navi susah hafal terparkir di depan rumah. Keringatnya menetes di area pelipis. Dia sedang panik sekarang. "Lo tunggu di sini, jagain Mola. Gue masuk dulu," perintahnya pada Lila. Cowok itu keluar dari mobil, tangannya sudah mengepal kuat. Amarahnya bertalu-talu, tatapannya begitu tajam. Dia membanting pintu rumah dengan sekuat tenaga. "Berengsek!" Lagi. Rumahnya menjadi kembali porak-poranda. Navi bergegas memasuki rumah. Emosinya semakin menjadi-jadi. Menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri, Dahlia sedang dicekik oleh papanya sendiri. "Kurang ajar!" Navi meloloskan satu pukulan keras kepada papanya. Dia berhasil membuat Dahlia lepas dari cekikan itu. "Anda tidak perlu datang jika hanya ingin menyakiti," tegas Navi berhadapan langsung dengan papanya. Dia segera membantu Dahlia berdiri. Memapah wanita itu untuk duduk menjauh tepatnya di sofa depan televisi. Setelah itu, Navi menarik kerah papahnya ke luar rumah. "Lancang sekali kamu mengusir papa kandungmu sendiri!" protes Reagen setibanya di teras rumah. Dia melepaskan cekalan Navi pada kerah kemejanya. "Jika memang Anda papa saya, lalu untuk apa Anda menyakiti mama saya? Anda yang sudah lama tidak pulang ke rumah. Memposting di sosial media sedang bersama wanita lain selain mama saya, apa pantas Anda saya sebut sebagai papa?" Bugh! Navi meringis, setelah mendapkan pukulan di pipi kananya. Papanya ini memang sudah di ambang batas. "Satu lagi. Anda tadi mau mencoba membunuh mama saya? Langkahi dulu nyawa saya sekarang!" Navi mulai menyerah, dia tidak bisa menahan amarahnya lagi. Terlebih, ketika tadi dia melihat mamanya dicekik oleh pria biadab yang satu ini. Namun sayang. Reagen bukannya menyadari kesalahannya, justru dia membalas semua pukulan putranya sendiri. Tenaga pria itu lebih kuat daripada Navi. Dan tentunya lebih gesit untuk menghalau pukulan anaknya. Brug! Tubuh Navi terpental, menabrak meja kayu di teras rumahnya. Dia tidak dapat menghindari tendangan dari Reagen di area perut tadi. Wajahnya penuh lebam. Navi tidak dapat lagi melawan papanya. Reagen mendekat, dia mencengkeram kuat wajah Navi. "Kamu itu masih kecil. Nggak usah sok ngelindungin mama kamu!" tukasnya lalu pergi seenak jidat. Navi mencoba bangkit, sembari memegangi petutnya. Dia kembali masuk ke dalam rumah untuk mengecek kondisi mamanya. Untung saja tadi dia tepat waktu. Untung saja Dahlia masih tersadar. "Mama nggak papa?" tanya cowok itu khawatir. Dahlia meletakkan gelas berisi air putih hanya yang baru saja ia teguk ke atas meja. "Navi, Mama sudah ngelarang kamu kemarin. Harusnya kamu jangan bersikap kasar dengan papamu sendiri." Navi menggeleng. Dia tidak setuju dengan mamanya kali ini. "Setelah melihat rumah porak-ponda, melihat Mama yang sering tergeletak pingsan, dan tadi melihat Mama mau dibunuh sama dia, Navi nggak bisa tinggal diam, Ma. Papa selalu saja berlaku semena-mena. Dia punya banyak selingkuhan, Mama juga tau itu." Dahlia memeluk putranya. Dia menangis deras pada Navi. "Apa harus mama pisah sama dia?" tanyanya dalam isakan. "Pisah, Ma. Navi nggak bisa liat Mama disakitin terus. Pria tua itu sudah banyak melakukan kesalahan, Ma." Dahlia melepas pelukan itu. Dia tidak tahu jika tadi Navi tidak datang. Mungkin, nyawanya benar-benar sudah pergi. "Mola mana, Navi? Dia nggak liat semuanya kan, tadi?" "Mola di mobil. Dia sama Lila. Navi bawa dia masuk ke dalam dulu, ya, Ma." Navi keluar menuju mobilnya. Baru saja dia membuka pintu mobil, dia melihat wajah Lila begitu panik. "Nanti. Gue ngurus Mola dulu," ucap Navi mulai menggendong Mola dan membawa anak kecil itu ke dalam rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD