50. Perjuangan Akhir

1219 Words
"Soal raga, hati, siapa yang mengatur kita berbuat buruk? Apakah Tuhan akan menjadi pelarian untuk jawaban kita? Tidak. Apa yang diri kita lakukan adalah keputusan kita sendiri. Jadi, jangan membuat jawaban seakan kamu tak pernah melakukan suatu kesalahan." *** Lila berusaha keras membuka pintu mobil, namun nihil. Jingga sudah menguncinya. "Lo gila! Kalo punya keanehan itu, nggak sepantasnya lo gunain buat kayak gini!" bantah Lila tetapi tidak direspon sama sekali oleh Jingga. Di sisi lain, perkelahian Navi, Magenta, dan dua orang bawahan Jingga masih berlanjut. Mereka saling berhenti sejenak, untuk mendapatkan tenaga. Navi melihat ketika Lila dibawa keluar, dia sangat khawatir. "Genta, gue aja yang lawan mereka, lo kejar Lila," ujar Navi kepada Magenta yang di sebelahnya. Magenta mengangguk, dia langsung bergegas keluar dari gudang. Ada salah satu bawahan yang hendak mengikutinya, namun Navi dapat mencegat dengan cepat. Kini dua lawan satu. Tenaga Navi hanya tinggal separuh, tetapi dia tetap tak mau mengalah. Dengan kekuatan otaknya, dia menyusun strategi secara kilat. Perkelahian dimulai kembali, Navi dapat menghindari semua serangan dari kawannya. Cowok itu menendang pria yang salah satu dari bawahan Jingga dengan sekuat tenaga sampai pria itu menabrak tiang dengan keras dan tergeletak pingsan. Kini tinggal satu lagi. Sang pembawa pisau. Navi melakukan serangan dengan hati-hati, dia berhasil kembali meloloskan tendangan pada perut pria itu, sampai bertekuk tutut di hadapan Nav. Navi mengoles bibirnya yang berdarah, dia tersenyum lemas, akhirnya dia berhasil mengalahkan bawahan Jingga. Jlep! Sial. Pria di hadapannya itu berhasil menikam perut Navi dengan kuat dan terus mendorong pisau ke dalam. Navi mundur, dengan pisau yang masih menancap di perutnya. Lututnya mulai ditekuk, dia terasa begitu lemas. Darah segar mulai mengalir darinya. Pria yang menikam Navi mulai bangkit, dia hendak mendekati cowok itu. Namun, tiba-tiba dia jatuh pingsan karena mendapat timpukan sangat kuat di tengkuknya. "Navi!" Diego berlari menuju Navi yang sudah bersimbah darah. Tubuh Navi sudah tergeletak, dia tidak kuat menahan luka di perutnya. Pandangan cowok itu mulai buram, dia terus merintih kesakitan sembari menyebut nama seseorang. "Lila ... " *** "Turunin gue!" "Nggak akan!" Mobil hitam Jingga melaju dengan kecepatan diatas batas normal. Jalanan yang dilalui begitu sepi. Banyak pepohonan di sekelilingnya. Di samping kanan jalan tak terlewatkan jurang yang penuh pohon. "Gue masih pengin hidup, Jingga. Gue masih pengin bareng orang-orang yang gue sayang. Mama, sahabat gue, Genta, Navi. Apa lo nggak peduli sama orang yang sayang sama lo? Nyokap, bokap, temen-temen lo, apa lo nggak peduli ke mereka?" tanya Lila mencoba bernegosiasi. Jingga tersenyum miring, dia justru terlihat sangat antusias untuk mempercepat laju mobilnya. "Lo lupa kalo gue nggak punya perasaan? Buat apa gue peduli sama mereka. Siap-siap ya, kita mau mati bentar lagi." Lila tak kuasa. Dia tidak mempunyai harapan lagi. Dia meneskan air matanya, memejam pelan, untuk tidak menyaksikan sendiri kematiannya. Dalam hati dia merintih, "untuk orang-orang yang selalu ada buat gue. Mama, maafin Lila yang suka bandel dan ngerepotin mama, makasih mama udah sabar ngadepin Lila." Lila mengambil naos panjang, dia kembali untuk berbicara di dalam hatinya. "Ruby, Diego, Genta, makasih udah jadi Three Musketeers gue selama ini, yang udah nerima gue meski gue selalu ngomong blak-blakan, kalian sahabat terbaik dalam hidup gue. Untuk Navi, cowok yang gue sayang, makasih lo udah beri gue kesempatan buat deket sama lo, sama keluarga lo. Makasih atas semua rasa sakit yang lo kasih buat gue. Makasih lo udah bantu nyadarin gue buat jadi lebih baik lagi. You always my beloved boy, you always the one and only to my heart, Navi. Selamat tinggal semuanya." BRAKK!! Mobil Jingga jatuh ke jurang, menabrak sebuah pohon besar. Magenta lari secepat yang ia bisa begitu mendengar suara itu. Hatinya begitu terpukul, dadanya begitu sesak melihat mobil yang Lila naiki di dalam jurang. Air matanya menetes deras, Magenta tidak bisa berbuat apa-apa. "Lila!!!!" teriaknya penuh rasa kehilangan. *** Apa semua orang mempunyai hal spesial pada diri mereka masing-masing? Jika diizinkan menjawab, aku jawab dengan tegas. Ya. Semua orang memiliki itu. Apapun yang melekat pada setiap orang, adalah kepunyaan mereka. Baik-buruknya, tergantung bagaimana mereka untuk memahami. Sebagian orang menganggap, hal buruk pada dirinya adalah sebuah malapetaka. Maka dari itu hidup mereka tidak tenang dan susah untuk menikmati kehidupan. Namun, sebagian lagi beranggapan bahwa, keburukan yang dimiliki adalah sebagi titik semangat untuk mencoba mengubah dirinya menjadi lebih baik. Aku dan Navi kehilangan semua keistimewaan yang kami miliki, entah dari mana, bagaimana, dan hilang ke mana keistimewaan itu. Yang jelas, kami bisa menjadi manusia normal pada umumnya. Setelah terbangun dari koma, aku tak mengerti apapun yang terjadi. Aku rasa aku seperti di surga. Oh, ternyata tidak. Aku melihat mama, Genta, Ruby, Diego, dan Navi menangis haru ke arahku. Aku lebih terkejut ketika Navi tiba-tiba saja memelukku begitu erat. Saat itu aku berpikir, jadi, aku masih hidup? Aku pikir aku sudah tak ada lagi di dunia ini. Tetapi mereka bilang, aku selamat. Sementara Jingga, dia sudah tak bernyawa. Aku tidak tahu harus mengucap syukur seperti apa ketika aku diberikan kesempatan hidup. Diberikan kesempatan untuk bersama orang-orang yang aku sayangi dan yang menyayangiku. "Lo lagi ngapain?" Lila mendongak, dia mengulas senyum cantiknya pada Navi yang baru datang. "Rahasia, dong." Dia menutup buku diary-nya dengan segera. Udara segar taman rumah sakit membuat Lila merasa nyaman. Meski kepalanya masih terbujur perban, dia tak merasa pusing sedikit pun. Selama satu bulan dia tak terbangun, rasanya begitu berbeda. Gadis itu semakin memperbaiki kepribadian dirinya menjadi lebih baik. Setelah dulu saat mendapat keanehan yang tidak bisa mengucap dalam hati, kali ini dia merasa bersalah kepada orang-orang yang terlanjur dibuat sakit hati oleh Lila. Dalam batin dia bertekad bahwa akan menjaga mulutnya untuk tidak sembarang berbicara. Navi menyodorkan s**u kotak rasa mangga kepada Lila. Dia lantas duduk di hadapan gadis itu. "Udah lama lo nggak sekolah, materi pelajaran makin nambah banyak," ujarnya. "Nggak papa, tinggal tutor sama lo. Boleh, kan?" Perhatian Navi teralihkan pada sebelah kanannya. Seorang cowok sepelantaran dia sedang memaki-maki penuh amarah pada gadis yang sepertinya adalah kekasih dia. Navi berdecak, dia melirik tidak suka. "Nggak usah kasar sama cewek. Lo nggak kasihan dia mau nangis?" celetuknya. Cowok yang memaki-maki t*i mendadak bungkam, lalu mengusap air mata kekasihnya. Lila tersenyum ke arah Navi. Navi sudah berubah. Dengan hilangnya teori warna biru, membuat Navi tersadar dia sudah melakukan hal yang semena-mena kepada orang lain. Dia sekarang menjadi lebih berperasaan dan peduli. "Boleh." Navi meraih jemari Lila dengan lembut. Dia menatap Lila lekat-lekat. "La, gue sayang sama lo. Lo mau jadi pacar gue?" Rona merah di pipi Lila mencuat, dia mengangguk pelan dengan malu-malu. "Gue juga sayang sama lo, Nav." "Ciye jadian!!" Navi dan Lila menoleh ke samping kiri. Astaga, bukan hanya sahabat Lila, namun Aster, Dahlia, juga Mola ada di sana. Mereka menunduk malu, tak hentinya untuk tersenyum. "Kalo baru jadian, harusnya makan-makan, nih!" usul Magenta yang menggenggam kekasihnya. "Yoi, nggak kalau enggak, borong kolor ijo gue terus bagiin satu-satu sama yang lain!" sahut Diego merangkul Ruby dengan lembut. Aster mendekati Lila, dia mengusap pelan kepala putrinya itu. "Tenang, nanti datang aja ke rumah Lila. Tante yang masakin." Lila menatap haru ke orang-orang itu. Dia sangat bahagia. "Terima kasih semuanya, udah ada buat Lila." Sinar mentari sore menyorot semua yang tersenyum bersama. Lila mendong, menatap langit yang tak berawan. Terima kasih Tuhan, terima kasih atas semua yang Engkau berikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD