49. Ternyata Dia

1181 Words
"Soal raga, hati, siapa yang mengatur kita berbuat buruk? Apakah Tuhan akan menjadi pelarian untuk jawaban kita? Tidak. Apa yang diri kita lakukan adalah keputusan kita sendiri. Jadi, jangan membuat jawaban seakan kamu tak pernah melakukan suatu kesalahan." *** Suara notifikasi di handphone Lila, menginterupsi Lila dan Magenta. Magenta melepaskan pelukannya, dia mengambil ponsel Lila yang ada di saku seragam sekolah. Anonymous You get a punishment! Kamu dapat 70 poin untuk aku tangkap. Total poin hukuman : 100 See you tonight. "Nggak. Gue nggak mau pergi!" "Lo tenang aja, La. Biar gue yang--" "Mau pergi atau sembunyi, dia bakal neror lo terus. Kita harus selesein malam ini. Lo bukan cewek penakut, jadi nggak usah takut. Gue bakal bantu," pungkas Navi memotong ucapan Magenta. Lila diam, Navi benar tentang Anonymous itu. Lila saja mendapati sticky notes di kamarnya. Bisa-bisa, dia didatangi di kamarnya juga malam ini. "Lo berdua yakin mau bantuin gue? Tapi gue nggak mau orang lain terluka gara-gara gue." Gadis itu memperhatikan dua cowok di hadapannya yang mengangguk yakin. "Kita susun strategi dulu. Keselamatan Lila nomor satu," usul Navi bersedekap tangan. "Ya, gue setuju," jawab Magenta dengan yakin. "Tapi gue yang lebih nomor satu buat Lila." "Ya, gue se-- Enak aja! Gue yang nomor satu!" "Gue!" "Gue!" Lila memutar bola matanya dengan malas. Perdebatan Navi dan Magenta membuat kepalanya pening. Dia memilih berjalan meninggalkan kedua cowok itu. *** Lila menelan ludahnya ketika sampai di tempat yang Anonymous kirimkan tadi. Sebuah gudang bekas yang gelap gulita. Hawa dingin dan suasana di sana membuat Lila merinding. Gadis berjaket putih s**u itu dengan berani melangkahkan kakinya memasuki gudang. Dia tak hentinya merapalkan doa. Jika saja tidak ada Navi dan Magenta, dia tidak akan mengikuti aturan permainan terkutuk itu. Namun, Lila begitu penasaran dengan siapa Anonymous dan apa motifnya untuk meneror Lila? Lila tersentak hebat ketika dua lengan tangannya masing-masing di cengkeram oleh tangan-tangan kekar. "Lepasin! Lo berdua jangan macem-macem ke gue!" Percuma. Kedua orang itu menarik paksa Lila untuk duduk di kursi, lalu mengikatnya dengan tali. Lampu gudang menyala, menampilkan seorang yang bertubuh langsing dan menyibakkan rambut. "Welcome to this hell, Lila Rosetta." Suara nyaring yang Lila sangat kenal itu, membuat dia terperangah tidak percaya. "Jadi, lo yang kirim? Mau lo apa, Jingga?" Jingga berjalan pelan mendekati mangsanya. "Well, gue nggak mau apa-apa. Gue cuma butuh kesenangan. Gimana? Lo nikmatin semua jebakan yang gue buat?" Gadis itu tersenyum miring, membuat Lila bergidik ngeri. "Apa motif lo? Gue nggak punya salah ya, sama lo!" "Navi. Lo udah ngerebutnya dari gue." "Hah? Emang situ siapa? Yang ngerebut juga siapa? Gue nggak ngerebut, yah. Lebay lo, perkara Navi aja mau bikin nyawa gue melayang. Kalo lo pengin sama dia, ya usaha lah, bukan malah mainan kayak gini!" "Gue mau bunuh lo. Mau lenyapin lo dari muka bumi." "Buat apa? Lo nggak usah-- " "Pukul dia." Bugh! Lila mendesis setelah mendapatkan pukulan keras mengenai wajah cantiknya. "Lagi!" perintah Jingga pada bawahannya, dan langsung dia turuti. "Lagi!" Gadis itu teal bersemangat untuk menyiksa Lila. "Perut!" Lila terbatuk mendapat beberapa pukulan keras di perutnya. Dia merintih kesakitan, bibirnya suda robek, wajahnya penuh lebam. Tunggu. Jingga tidak berhenti begitu saja. Dia memainkan cutter di tangannya. "Let's play with me. Lo mau kena bagian mana dulu? Lengan atas, lengan bawah, wajah, atau mau leher? Em ... ke yang level mudah dulu kali, ya? Biar lo mati pelan." Salah satu dari bawahan Jingga, melepas paksa jaket yang Lila kenakan. Gadis itu sekarang hanya berlapis kaos putih polos. Lila tidak mengerti, mengapa Jingga melakukan hal gila seperti ini. "Lo udah gila. Cuma gara-gara Navi, lo berani menyakiti orang lain? Apa lo nggak ngerasa bersalah dan sebagainya?" "Kenapa? Toh gue nggak punya perasaan." "Maksud lo?" "Kalo gue manusia normal, mungkin gue nggak akan seperti ini. Tapi sayangnya, gue terlahir tanpa perasaan. Itu adalah keanehan dalam diri gue. Kayak lo yang nggak bisa ngomong dalam hati, kayak Navi yang bisa denger suara hati, sementara gue adalah orang yang nggak punya hati." "Tapi lo bilang, lo suka sama Navi. Itu tandanya lo punya perasaan." "You are totaly wrong! Gue mau sama Navi karena gue ingin famous, dan cuma pengin punya-punya aja. Any question, Sis?" Hening. Lila tidak mengeluarkan suaranya lagi. Dia tidak habis pikir dapat bertemu orang yang memiliki keanehan juga. Namun, bukankah terlalu berbahaya jika seseorang tidak memiliki sebuah perasaan? "Kayaknya nggak ada. Oke lah gue langsung mulai." Jingga mendekatkan cutter-nya pada lengan atas Lila. Gadis itu tersenyum penuh kemenangan begitu berhasil menggores lengan Lila itu. Brak!! Pintu gudang terbanting dengan keras. Seorang cowok yang tinggi, memasuki area gudang dengan berjalan tegap. Dia berjalan tanpa ragu, tatapannya tak berjeda menuju ke arah Lila. "Biadab! Hentiin semua perbuatan lo itu, Jingga!" sergah Navi dengan lantang. Jingga menarik cutter-nya yang sudah terdapat darah Lila. "Nav? Lo nggak seharusnya ada di sini!" "Lo yang seharusnya nggak ngelakuin ini!" "Gue nggak peduli. Kalo lo mau nyegah gue, lo bakal kena juga nanti," ancam Jingga. Gadis itu melihat Navi yang mendekat dan akan mengganggu aksinya. Lantas, Jingga memberik instruksi kepada dua bawahannya untuk menyerang Navi. Magenta berlari cepat, setelah masuk melalui jendela belakang. Melihat Jingga yang sedang fokus menonton perkelahian Navi dan bawahannya, membuat Magenta diam-diam melepaskan ikatan yang ada di tubuh Lila. Berhasil. Lila sudah bebas dari ikatan kuat itu. Dia menengok ke belakangan, melihat Magenta yang tersenyum manis ke arahnya. "Magenta awas!" pekik Lila mendapati seorang anak buah Jingga hendak menimpuk Magenta. "Kurang ajar!" Magenta dengan sigap langsung mengambil ancang-ancang untuk berkelahi. "Lo diem. Lo nggak bakal bisa kabur dari sini. Kita nonton dulu, mereka berantem. Abis ini, giliran gue buat nyiksa lo!" seru Jingga terlihat senang menyaksikan perkelahian di gudang itu. Lila menggeleng pelan, dia melihat Navi dan Magenta banyak terkena pukulan. Gadis itu mulai meneteskan air mata, melihat Navi hampir tertusuk pisau, dan Magenta terbanting kuat ke lantai. Dia terkejut ketika Jingga mencekal kuat lengannya dan menarik paksa untuk keluar dari gudang. Lila dilempar dalam mobil Jingga. Entah ke mana gadis itu akan dibawa. "Gue bosen hidup. Mending ikut lo mati aja gimana? Gue udah punya perasaan belum? Baik, kan, gue temenin lo mati?" Jingga mulai melajukan mobilnya, dia benar-benar sudah gila! Lila berusaha keras membuka pintu mobil, namun nihil. Jingga sudah menguncinya. "Lo gila! Kalo punya keanehan itu, nggak sepantasnya lo gunain buat kayak gini!" bantah Lila tetapi tidak direspon sama sekali oleh Jingga. Di sisi lain, perkelahian Navi, Magenta, dan dua orang bawahan Jingga masih berlanjut. Mereka saling berhenti sejenak, untuk mendapatkan tenaga. Navi melihat ketika Lila dibawa keluar, dia sangat khawatir. "Genta, gue aja yang lawan mereka, lo kejar Lila," ujar Navi kepada Magenta yang di sebelahnya. Magenta mengangguk, dia langsung bergegas keluar dari gudang. Ada salah satu bawahan yang hendak mengikutinya, namun Navi dapat mencegat dengan cepat. Kini dua lawan satu. Tenaga Navi hanya tinggal separuh, tetapi dia tetap tak mau mengalah. Dengan kekuatan otaknya, dia menyusun strategi secara kilat. Perkelahian dimulai kembali, Navi dapat menghindari semua serangan dari kawannya. Cowok itu menendang pria yang salah satu dari bawahan Jingga dengan sekuat tenaga sampai pria itu menabrak tiang dengan keras dan tergeletak pingsan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD