52. Kenangan Itu

1234 Words
"Suatu pengharapan itu muncul semakin kuat ketikan apa yang kamu harapkan semakin mendekatimu. Namun, apakah akan baik-baik saja jika kamu terlalu berharap? Sepertinya tidak." - **** Lila menghentikan gerakan menggosok giginya. Dia sedang mondar-mandir sejak tadi. Dari kamar mandi sembari menggosok gigi, rambutnya yang meski dicepol terlihat sedikit berantakan karena ada anak rambut yang keluar. Dia masih mengenakan seragam sekolahnya dengan kemeja putihnya uang sudah dikeluarkan. Lila bahkan tak menyangka sekarang dia melihat Navi dan Mola duduk berdampingan di ruang keluarganya. Namun ini Lila, bukan gadis lain. Dia melanjutkan gosok giginya, menghampiri Navi dan Mola. Navi begitu terlihat cool meski hanya balutan kemeja hitam pendek dan celana jeans putih. Sementara Mola, anak itu sangat menggemaskan kali ini karena memakai celana jeans dengan kaos merah dan topi kecil. Navi menggelengkan kepala. Salah dia sendiri tidak mengabari Lila jika hendak ke rumah gadis itu. Oh iya, kan dia masih memblokir kontak Lila. "Sikat gigian itu di kamar mandi, dasar jorok!" celetuknya. Lila mengangkat bahunya merasa masa bodoh dengan omelan Navi. Dia memberi jeda di sela gosokkan giginya. "Kalau bisa sambil jalan dan keliling, kenapa enggak?" bantah Lia. "Mola, kamu jangan tiru Permen Karet kek gini, jorok." Navi berbisik kepada adiknya, jika ada orang seperti Lila menghuni di rumahnya, Navi pasti akan mengomel sepanjang hari. Mola tertawa kecil. Dia menatap penuh binar kepada Lila. "Kak Yiya yucu bangey. Bang Napi kapan ya, bisa pacayan sama Kak Yiya?" "Kalo Kak Lila sih, nunggu abang kamu aja. Kakak siap kapan pun buat nerima abang kamu jadi pacar." Lila mencubit hidung Mola dengan lembut. Mola sungguh terlihat lucu di matanya. Navi melirik tajam. Apa-apaan malah membahas seperti itu. "Mola, kamu masih kecil jangan mikirin kayak gitu," sarannya pada Mola. "Lo juga Permen Karet, udah tau Mola baru umur berapa malah ditanggepin aja!" omelnya kepada Lila dengan menaikkan nada. Lila menyudahi gosok giginya. Dia bersiap untuk mencerocos panjang. "Biarin. Btw, lo ganteng banget astaga, jantung gue deg-degan mulu nih. Lo harus tanggung jawab kalo ada apa-apa sama jantung gue ntar!" "Gampang, tinggal dijual aja jantungnya. Beres, kan?" jawab Navi enteng. Dia menyenderkan kepalanya pada sofa ruang keluarga Lila. Lila mendesis kesal. Enak saja jantungnya akan dijual. "Oh, lo ke sini mau jual jantung gue? Nggak bisa. Gue masih pengin hidup! Lo ke sini mau nagih utang? Gue nggak punya utang sama lo! Mau ngemis makanan? Lo aja buka segudang! Mau nyuruh gue belajar? Lo ana tadi di sekolah bilang hari ini libur. Lo mau apa? Mau ap--" Lila memotong ucapannya sendiri karena mendapat jeweran di telinga kanannya. "Aa, Mama, jangan jewer Lila!" protesnya kepada Aster. Aster berdecak, tak kuasa untuk melakukan Lila seperti apa lagi agar gadis itu menjadi gadis rajin. "Ini Navi mau ngajak kamu main, sana mandi. Ini lagi, sikat gigian kok nyampe sini, kamu itu anak gadis, ayo rubah sikap kamu, Lila. Nanti nggak ada yang mau sama kamu karena kamu jorok, gimana?" Lila menganga mendengar ujaran mamanya. Navi ngajak main? Serius? Gadis itu lantar bergegas menuju kamar mandi tanpa pamit. Aster meletakkan teh hangat dan beberapa potongan brownies ke atas meja di hadapan Navi. "Maaf ya, Navi, bikin kamu nggak nyaman. Lila memang seperti itu, jadi Tante harus marahin dia. Bandel soalnya." Navi mengangguk sopan, dia sedikit meneguk teh hangat buatan Aster. Ah, tenggorokannya terasa kering sejak tadi. "Nggak masalah, Tante. Navi sama sekali nggak risih." Navi meletakan kembali gelas berisi teh hangat itu. "Syukurlah, kalau begitu." Aster mencubit pipi Mola. Dia penasaran dengan anak kecil itu. "Kamu adiknya Navi? Nama kamu siapa, hem?" Mola menyengir, memperlihatkan giginya yang bolong di tengah. "Iya Tante, Moya adiknya Bang Napi," balas Mola sembari mengambil brownis. "Kamu tampan sekali, sama seperti kakak kamu." Aster saja merasa demikian, apalagi dengan Lila yang sangat jatuh hati dengan Navi? Ah, pantas saja Lila tergila-gila kepada cowok itu. "Brownies-nya dihabisin ya, Tante mau ngurusin cucian piring dulu," pamit Aster dengan dibalas senyuman oleh Navi dan Mola. Senyum Navi merekah ketika pandangan matanya menjelajah ke seluruh penjuru arah rumah Lila. Pandangannya kini fokus kepada foto gadis kecil yang memegangi lolipop. Baju dan pipi samping gadis itu terlihat begitu belepotan. Lila memang seperti itu dari kecil ternyata. Cowok berkemeja hitam itu, lantas beralih pada foto Lila yang mengenakan seragam biru putih sedang memegangi piala. Navi bangkit, dia penasaran sebenarnya piala apa yang pernah Lila dapatkan. Begitu mendekat, ternyata itu adalah piala juara 1 lomba cipta dan baca puisi tingkat nasional. Padahal dulu Navi dan Lila satu SMP, namun mengapa Navi baru tahu akan prestasi Lila ini? "Nav, ayo pergi." Navi menoleh ke arah tangga yang ada di seberangnya. Tatapannya tak bisa teralihkan sedikit pun kepada seorang gadis cantik berbalut rok plisket putih dengan kemeja hitam lengan pendek yang dimasukkan ke dalam rok. Rambutnya diikat rapi, dengan hiasan pita kecil berwarna merah. Lila tak menggunakan riasan, dia hanya memoleskan liptint merah untuk bibirnya yang pucat. Namun, justru seperti itulah, Lila terlihat begitu cantik. Tunggu. Navi mengercitkan dahinya setelah melihat Lila. Terlebih melihat pakaian Lila malam ini. "Lo niru outfit gue?!" Navi berjalan mendekati Lila dengan cepat. Lengkungan manis Lila mencuat. "Iya beda lah, lo pake celana, gue pake rok!" bantahnya. "Udah, sekali-kali kita couple-an biar kayak yang lain. Biar kelihatan deket. Kan mau main bareng." Navi menyentil dahi Lila. Dia tidak habis pikir dengan pemikiran Lila. "Gue ngajak main lo itu buat Mola, bukan kemauan gue. Jadi jangan gede rasa!" Navi mengucapkan itu dengan lirih namun penuh penekanan. Dia hanya tidak ingin Mola dengar. Cowok itu lalu menggenggam jemari mungil Lila, membawa gadis itu ke dapur untuk menemui Aster. "Tante Aster, Navi izin bawa Lila main. Janji nggak bakal pulang malem, Tante," pamitnya begitu sampai di dapur. "Iya, hati-hati. Tante nitip Lila ya, Navi." Aster mencuci tangannya lalu dikeringkan menggunakan tisu. Navi dan Lila mencium punggung tangan wanita itu. Dan tiba-tiba Mola datang serta ikut mencium tangan Aster. Mereka bertiga bergegas keluar rumah Lila lalu memasuki mobil Navi. Lila tak masalah ketika dia duduk di belakang seorang diri. Bagaimana pun, itu mobil milik Navi, masa iya dia tidak mau mengalah dengan Mola yang tadi merengek meminta duduk di depan. Lila tak tahu Navi akan membawanya ke mana. Yang jelas, gadis itu terasa begitu berbunga-bunga malam ini. Dia bahkan merasa seperti pacar Navi. Ish, itu hanya halusinasinya. Mobil Navi berhenti tepat pada parkiran sebuah tempat dengan lampu sorot yang memecah awan malam. Taman bermain. Ya, Navi membawa Lila ke sana seperti hari lalu. Gemerlap cahaya dan suara musik yang menggema begitu terasa menarik. Orang-orang berkerumun, ada yang menikmati permainan, makan jajanan, dan juga ada yang hanya berkeliling santai. "Jangan nyampe lepas." Lila mengeratkan genggaman tangannya pada jari kiri Mola. Mendapat peringatan dsri Navi, membuat dia was-was. Padahal, Navi juga menggandeng tangan Mola yang sebelah kanan. Ah, lucu sekali kedua remaja itu sama-sama menggandeng Mola. "Bang Napi, Moya mau peymen kapas!" ungkap Mola menggerakan tangan Navi yang menggenggamnya. "Ya udah, kita beli sekarang." Navi melangkah mendahului. Untungnya, dia tadi melihat pedangan permen kapas yang dekat dengannya tadi. Dibeli 2 permen kapas. 1 warna ungu untuk Mola, satu warna merah muda untuk Lila. "Bang Napi kok cuma beyi 2? Abang nggak mau?" tanya Mola menggenggam erat gagang permen kapasnya. "Enggak. Abang maunya Permen Karet bukan permen kapas." Posisi mereka sekarang. Navi berdampingan dengan Lila. Sementara Mola berhadapan dengan mereka berdua. Pipi Lila merah padam karena perkataan Navi. Dinding tembok anti bapernya gagal dibangun saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD