53. Flashback

1172 Words
- "Aku tak mengerti dirimu yang sering berubah sikap. Tapi aku juga tak mengerti diriku yang sering mengubah hati dan perasaan." - *** Lila merasa sangat geram kepada Navi. Cowok itu mengurungnya di laboratorium biologi seorang diri. Sudah gila. Navi memang sudah gila. Bagaimana bisa dia mengunci rapat-rapat pintu itu dan tega meninggalkan Lila? Sudah berkali-kali Lila berupaya menggedor pintu lab, tapi tidak ada jawaban dari luar. Bulu kuduknya mendadak merinding begitu gadis itu memperhatikan setiap sudut di lab. Lila meneguk air liurnya kasar. Sore ini sangat mendung membuat cahaya matahari begitu minim yang masuk dalam lab. Terlebih, lampu lab itu tengah rusak. Bibir Lila gemetar. Dia melihat tengkorak yang biasanya digunakan dalam pembelajaran nampak sedikit mengerikan jika dia melihat tengkorak itu seorang diri. Imajinasi Lila menjelajah ke seluruh dunia fantasinya. "Jangan! Gue pengin masih hidup! Gue mohon jangan jadiin gue tumbal!" teriaknya. Padahal, tengkorak itu tidak bergerak sama sekali. "Apa itu?" Lila mendengar suara tumpukan kursi-kursi rusak dan bergerak sendiri di samping kanannya. Demi apapun, apa ada yang sedang memainkan kursi itu? Seperti hal yang tak kasat mata? Lila ingin menangis, dia sungguh gadis penakut. Terkutuk Navi yang sudah membuat Lila uji nyali seperti ini! Udara di atmosfer sekitar Lila seperi menipis, decitan kursi itu masing terus terngiang-ngiang. Lila menggeser tubuhnya ke kiri secara perlahan, berjaga-jaga jika akan ada sesuatu yang muncul di balik kursi itu. Lila menganga melihat dengan jelas ada sesuatu muncul dari kursi yang berbunyi tadi. "Lah cuma tikus, gue pikir ap--" Ucapan Lila terpotong ketika lehernya merasakan benda dingin menempel. Lila meneguk ludahnya lagi. Jantungnya terpompa sangat cepat. Apalagi, ketika pandangannya mulai turun ke leher dan terdapat jemari seseorang yang kering kerontang menggantung di sana. "Aa!!!" Lila lari kembali ke depan pintu. Dia memegangi jantungnya yang bergerak tak karuan setelah merasakan tengkorak itu di kulitnya. "Mama! Ruby! Genta! Diego! Tolongin gue! Gue nggak mau jadi kayak tengkorak itu!" jeritnya. Lila tidak tahu harus apa, dia terlampau takut. Dia menangis sejadi-jadinya. Navi kurang ajar! Dia yang mengajak untuk bertemu di lab, namun justru Lila diperlakukan seperti ini. Dasar cowok tsundare! Lila menekuk lututnya, dia sudah pasrah. Entah akan ada hal menakutkan apa lagi, yang gadis itu bisa lakukan adalah duduk menelungkupkan kepalanya di atas lutut. Lila terus menangis. Rasa takutnya semakin menjadi-jadi. Biarpun tadi bukan sepenuhnya hal yang horor, namun imajinasinya itu sangat membuat Lila overthingking. "Lo ngapain nangis?" Lila mendongak. Cowok kurang ajar itu, telah berdiri di hadapannya dengan muka datar. "b**o! Bisa nggak, sih, lo nggak usah ngelakuin kayak gini ke gue? Lo nggak tau kalo kelakuan lo ini bisa bikin seseorang pingsan ketakutan!" Navi mengangkat sebelah alisnya. Dia bersedekap tangan. "Emang gue ngapain?" "Cukup! Cukup buat sok nggak tau! Cukup buat sok lo nanti tiba-tiba jadi peduli sama gue! Ini lo yang asli, kan? Lo yang merlakuin gue seenaknya tanpa mahamin perasaan gue!" Lila bangkit, amarahnya berapi-api. Andai dia punya tenaga banyak, dia akan memukul Navi dengan kuat. Navi mengacak rambutnya tak mengerti dengan apa yang Lila katakan. Ruangan laboratorium yang gelap, membuat dia memilih menarik lengan Lila untuk pergi. "Ayo keluar!" "Makasih lo udah ngurung gue! Makasih lo udah bikin gue benci sama lo!" tukas Lila penuh penekanan. Siapa juga yang akan tetap bertahan kepada seseorang seperti Navi? Sepertinya tidak ada. "Gue mau jelasin. Pertama, gue tadi keluar karena mau ambil kertas ini." Navi mengangkat selembar kertas yang berisi tulisan tangannya. "Kedua. Gue cuma pergi tanpa ngunci pintu lab." Cowok itu menunjuk kunci lab yang masing menggantung di pintu. "Ketiga. Begitu gue sampai, pintunya udah kekunci." Navi menatap tajam manik Lila. Otaknya sedang bekerja sekeras mungkin. Apa, ada yang sengaja untuk menjaili gadis di depannya itu? Lila tak berkomentar lagi. Dia memilih bungkam dengan hati dan pikirannya yang kosong. Gadis itu menunduk, merasa enggan untuk dan tak kuasa dengan tatapan Navi yang berhawa dingin. Navi melepaskan cekalannya pada tangan Lila. Dia sedang mencoba mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Mungkin, orang itu masih di sekitar laboratorium. Otaknya mendapat secercah ide yang sangat brilian. Cowok itu membutuhkan warna biru untuk mempertajam pendengaran kata batin orang lain. Namun, jelas Navi tidak membawa benda yang berwarna s****n itu. Dia memperhatikan Lila dari ujung kaki sampai ujung kepalanya. Nihil. Lila tidak membawa sesuatu yang berwarna biru. Tapi tunggu. Meski sangat kecil dan hampir tidak terlihat, Navi yakin jika di anting yang menggantung di telinga Lila ada sedikit pancaran warna biru. Tanpa ragu, cowok itu menunduk, mensejajarkan dirinya dengan Lila. Dia mendekati telinga Lila untuk melihat jelas warna biru agar fase blue miliknya di mulai. "Eh lo mau ngapain?" Jantung laknat! Tadi katanya mulai benci, namun sekarang berdenyut-denyut gugup karena jaraknya dan Navi yang begitu dekat. "Diem aja ngapa! Nggak usah banyak tanya!"bentak Navi. Satu. Dua. Tiga. Navi memegangi kedua pundak Lila, dia tersenyum begitu manis. "Lila, ikut Navi, yuk? Navi lagi ada misi!" ajaknya terlampau semangat. Lila berdecak. Dia kembali sebal kepada Navi yang sudah bertingkah seperti ini. "Navi, Navi, Navi, sok imut lo! Mulai deh fase kek gininya!" Navi tidak menjawab, dia justru menggenggam jemari Lila dengan erat lalu membawa gadis itu berjalan menyusuri koridor area laboratorium biologi. Dia sesekali memejamkan mata, mencoba memfokuskan indera pendengarannya mencari audio sanubari hati. "Aduh ini itu kotor sekali, macam mana pula aku bersihinnya?" Skip. Itu adalah suara karyawan kebersihan SMA Sky Blue. "Gawat. Tembus lagi ke rok. Malu banget gue kalo keluar." Skip. Itu suara seorang gadis di toilet yang Navi paham apa yang gadis itu maksudkan. "Semoga aja, Lila sampe pingsan. Berani-beraninya dia deketin Navi!" Dapat! Navi menghentikan langkahnya begitu mendengar suara hati itu. "Jingga," gumamnya. Namun, Navi tak ambil pusing dengan itu. Dia tidak ingin menghampiri Jingga lalu menanyakan yang gadis itu lakukan. Cukup tahu saja pelakunya siapa. Sudah sangat cukup untuk Navi. Cowok itu melanjutkan jalannya dan masih menggenggam tangan Lila. Menuju samping sekolah, tepatnya taman SMA Sky Blue. Duduk di gazebo, berhadapan tepat dengan kolam air mancur yang sangat jernih. Waktu semakin menyore, siswa lain tidak ada di tempat itu kecuali Navi dan Lila. Navi menyodorkan kertas yang sedari tadi dia pegang ke depan Lila. Lila menerima kertas, membaca sepintas, lalu mengerutkan dahinya. Dia sama sekali tidak mengerti dengan tulisan Navi yang ada di kertas itu. Tunggu. Bukannya Navi bilang akan memberinya tugas? Tapi kenapa tugas di kertas itu tidak soal apapun. Hanya tulisan kimia yang Lila sama sekali tidak mengerti. "Kok gini? Apa, sih? Ini diapain? Gue suruh garapnya gimana? Nggak usah bertele-tele, deh, gue sibuk. Sibuk buat rebahan tau nggak!" cerocos Lila mengangkat kertas dari Navi. "Cari tahu sendiri. Kalo udah nemu jawabannya, kasih tahu ke Navi, ya, Lila? Navi tunggu, loh." Navi mengacak gemas surai Lila dengan mencuatkan senyuman limited edition. Navi beranjak berdiri. Dia membenarkan posisi ransel di pundaknya. "Navi balik dulu, Lila. Selamat mengerjakan tugas, ya." Seusai itu, dia melangkah pergi, meninggalkan Lila yang masih tidak merasa bingung. Lila membaca tulisan itu kembali. Otaknya tidak sampai dan tidak mengerti dengan apa yang Navi tulis. "Yodium livermorium uranium litium lantanum. Apaan, sih? Mana saya tahu, saya kan ikan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD