24. Navi Menyebalkan

1012 Words
- "Aku tak mengerti dirimu yang sering berubah sikap. Tapi aku juga tak mengerti diriku yang sering mengubah hati dan perasaan." - *** Lila langsung memeluk box transparan kecil itu. Mendapatkan sesuatu berbau mangga, layaknya mendapatkan harta karun baginya. "Suka! Tapi, ini, sih, kurang kayaknya, Ta!" "Kan, mending dikasih gue aja, Ta. Gue kan juga suka mangga. Kalo lo kasih ke Lila, dia itu nggak tahu diri. Udah mending dikasih, tapi malah minta lebih!" celetuk Diego ikut menoleh ke belakang menghadap Lila dan Ruby. "Lah, yang mango sticky rice tadi malem aja, lo yang habisin, setan!" seru Magenta menimpuk lengan atas sahabatnya. Lila terduduk. Dia menggerakan tangan ruby agar menoleh kepadanya. "Ruby, cara buat nyari kebenaran cowok yang tsundare suka atau enggak sama kita, caranya gimana?" "Siapa? Navi?" Lila mengangguk menjawab pertanyaan Ruby. Ruby menari napas pelan. "Udah deh, La. Gue saranin lo pake susuk aja sekalian. Pasti Navi langsung kesengsem tuh! Kasihan gue liat lo ngejar-ngejar Navi terus. Ntar ujungnya sakit hati, mampus lo, La" Bukannya patah semangat, Lila justru terkekeh geli. "Lo aja yang nggak tahu, Navi udah mulai penasaran sama gue. Dia aja sering ngacak rambut gue. Haduh, segitu gemesinnya ya seorang Lila Rosetta? Apa lagi, dia udah ngajak ke rumahnya terus ngajekin gue jalan tadi malem. Gue yakin, Navi cuma pura-pura dingin tapi aslinya dia udah jatuh cinta sama gue!" ungkap Lila tanpa jeda. Dia mulai mengeluarkan perlengkapan ritualnya sebelum pelajaran dimulai. "Masa? Kok gue nggak yakin, ya, La? Gue nggak yakin kalo Navi suka sama lo." Ruby menyelipkan rambunya ke telinga kirinya. Rambut panjang memang sangat mengganggu. Magenta mengambil lakban yang Lila keluarkan. Lalu, dia memotong lakban itu. Lila sudah terdiam, dia tidak menjawab ucapannya Ruby. Hanya saja, dia harus mempersiapkan diri sebelum Pak Sanip memasuki kelas. Magenta mencodongkan tubuhnya mendekat ke wajah Lila. "Gue pasangin ya, La." Dia memasangkan dengan pelan, lakban hitam untuk membekap mulut Lila. Sungguh, sebetulnya Magenta tidak ingin Lila seperti ini. Dia seperti menyiksa dirinya sendiri. Lila mengambil benda pipih di sakunya. Suara notifikasi pesan masuk membuatnya penasaran diapa yang mengirim pesan. Betapa girangnya Lila karena dia mendapatkan pesan dari seseorang yang ia kejar selama ini. Seseorang yang sudah memblokir kontaknya, tapi orang itu justru mengirim pesan kepada Lila. Kulkas Gulali [Tugasnya gue kasih pulang sekolah] Lila mengerutkan dahinya. Navi mengirim pesan kepadanya? Bukannya waktu itu nomor Lila diblokir? [Lo udah buka blokiran nomor gue?] [Dah] balas Navi singkat. [Terus kapan buka hati buat gue, Nav?] [Sekali lagi lo tanya kek gitu, gue blokir lagi!] [Okeoke. Tapi kapan lo mau nerima gue?] [Gue blokir, bye!] [Loh kan itu bukan pertanyaan yang sama] [Nav?] [Navi?] [Gue diblokir lagi?] [Ya Allah pengin nyantet lo!] Lila sangat geram. Padahal, dia happy overload saat Navi mengirimkan pesan. Tapi cowok itu justru kembali memblokir nomor Lila. Dasar cowok aneh! *** Lila merasa sangat kesal kepada Navi. Cowok itu mengurungnya di laboratorium biologi seorang diri. Sudah gila. Navi memang sudah gila. Bagaimana bisa dia mengunci rapat-rapat pintu itu dan tega meninggalkan Lila? Sudah berkali-kali Lila berupaya menggedor pintu lab, tapi tidak ada jawaban dari luar. Bulu kuduknya mendadak merinding begitu gadis itu memperhatikan setiap sudut di lab. Lila meneguk air liurnya kasar. Sore ini sangat mendung membuat cahaya matahari begitu minim yang masuk dalam lab. Terlebih, lampu lab itu tengah rusak. Bibir Lila gemetar. Dia melihat tengkorak yang biasanya digunakan dalam pembelajaran nampak sedikit mengerikan jika dia melihat tengkorak itu seorang diri. Imajinasi Lila menjelajah ke seluruh dunia fantasinya. "Jangan! Gue pengin masih hidup! Gue mohon jangan jadiin gue tumbal!" teriaknya. Padahal, tengkorak itu tidak bergerak sama sekali. "Apa itu?" Lila mendengar suara tumpukan kursi-kursi rusak dan bergerak sendiri di samping kanannya. Demi apapun, apa ada yang sedang memainkan kursi itu? Seperti hal yang tak kasat mata? Lila ingin menangis, dia sungguh gadis penakut. Terkutuk Navi yang sudah membuat Lila uji nyali seperti ini! Udara di atmosfer sekitar Lila seperi menipis, decitan kursi itu masing terus terngiang-ngiang. Lila menggeser tubuhnya ke kiri secara perlahan, berjaga-jaga jika akan ada sesuatu yang muncul di balik kursi itu. Lila menganga melihat dengan jelas ada sesuatu muncul dari kursi yang berbunyi tadi. "Lah cuma tikus, gue pikir ap--" Ucapan Lila terpotong ketika lehernya merasakan benda dingin menempel. Lila meneguk ludahnya lagi. Jantungnya terpompa sangat cepat. Apalagi, ketika pandangannya mulai turun ke leher dan terdapat jemari seseorang yang kering kerontang menggantung di sana. "Aa!!!" Lila lari kembali ke depan pintu. Dia memegangi jantungnya yang bergerak tak karuan setelah merasakan tengkorak itu di kulitnya. "Mama! Ruby! Genta! Diego! Tolongin gue! Gue nggak mau jadi kayak tengkorak itu!" jeritnya. Lila tidak tahu harus apa, dia terlampau takut. Dia menangis sejadi-jadinya. Navi kurang ajar! Dia yang mengajak untuk bertemu di lab, namun justru Lila diperlakukan seperti ini. Dasar cowok tsundare! Lila menekuk lututnya, dia sudah pasrah. Entah akan ada hal menakutkan apa lagi, yang gadis itu bisa lakukan adalah duduk menelungkupkan kepalanya di atas lutut. Lila terus menangis. Rasa takutnya semakin menjadi-jadi. Biarpun tadi bukan sepenuhnya hal yang horor, namun imajinasinya itu sangat membuat Lila overthingking. "Lo ngapain nangis?" tanya seserang dengan suara dingin tetapi terdengar sedikit panik. Lila mendongak. Cowok kurang ajar itu, telah berdiri di hadapannya dengan muka datar. "b**o! Bisa nggak, sih, lo nggak usah ngelakuin kayak gini ke gue? Lo nggak tau kalo kelakuan lo ini bisa bikin seseorang pingsan ketakutan!" Navi mengangkat sebelah alisnya. Dia bersedekap tangan. "Emang gue ngapain?" Cowok itu sangat bingung terhadap Lila. Dia sungguh tidak tahu apa yang telah terjadi. "Cukup! Cukup buat sok nggak tau! Cukup buat sok lo nanti tiba-tiba jadi peduli sama gue! Ini lo yang asli, kan? Lo yang merlakuin gue seenaknya tanpa mahamin perasaan gue!" Lila bangkit, amarahnya berapi-api. Andai dia punya tenaga banyak, dia akan memukul Navi dengan kuat. Navi mengacak rambutnya tak mengerti dengan apa yang Lila katakan. Ruangan laboratorium yang gelap, membuat dia memilih menarik lengan Lila untuk pergi. "Ayo keluar!" "Makasih lo udah ngurung gue! Makasih lo udah bikin gue benci sama lo!" tukas Lila penuh penekanan. Siapa juga yang akan tetap bertahan kepada seseorang seperti Navi? Sepertinya tidak ada. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD